Menyebar Pesan Damai Melalui Media Digital

“Sangat keliru jika ada yang mengatakan bahwa belajar agama jangan di Google,” ujar Heru Prasetia. Ia menilai zaman sudah berubah. Para pelaku dakwah pun harus menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut.

Ia membeberkan hasil risetnya bersama tim Jaringan GUSDURian di mana narasi keagamaan lebih banyak diisi oleh kelompok konservatif.

“Ini ya karena orang-orang moderat enggak mau bersuara,” sambungnya. Menurut Heru kampanye anti Google justru sangat berbahaya karena bisa mengakibatkan konten-konten keagamaan dimonopoli oleh narasi-narasi konservatif tersebut.

Penjelasan Heru merujuk pada beberap konten yang berisikan ajakan untuk tidak belajar agama melalui Google atau internet. Sekilas, seruan itu terkesan tepat. Namun menafikan peran media digital sama dengan membiarkan narasi ekstrem mendominasi. Ujungnya, orang akan melihat agama sebagai sesuatu yang ekstrem sebagaimana mereka pelajari di media penyedia konten keagamaan yang ekstrem.

Oleh karena itulah, sejak tahun 2017 ia bersama tim media Jaringan GUSDURian melakukan kampanye di media sosial. Mereka mengangkat berbagai isu mulai toleransi hingga lingkungan. Isu toleransi dan keberagaman mendominasi mengingat di tahun-tahun itu ada pihak yang membelah masyarakat menggunakan narasi agama.

Misalnya, ada yang mengaitkan bahwa dukungan politik ke kubu tertentu dianggap sebagai cerminan ketakwaan dan bahkan wujud bela agama. Jika mendukung pasangan lain dianggap ingkar pada agama. Hal ini tentu membahayakan dalam konteks negara Indonesia yang multikultural.

Baca juga:  Hubungan Pemerintah dan Pesantren bak Angin Segar

Heru Prasetia dan tim Jaringan GUSDURian tidak sendirian. Ia bersama pegiat media menginisiasi ruang kolaborasi bernama Dapur Narasi untuk membahas berbagai hal di media digital. Pembahasan ini kemudian didorong menjadi sebuah langkah bersama.

Dedik Priyanto, salah seorang inisiator Dapur Narasi mengamini pendapat Heru. Di kalangan moderat masih banyak orang yang belum begitu memahami betapa pentingnya aktif bermedia. Orang-orang justru mempermasalahkan internet karena dianggap sebagai sumber masalah.

“Padahal yang jadi masalah ya kalangan kita sendiri yang enggan bermedia,” tegasnya. Berawal dari kegelisahan itulah Dedik sangat antusias ketika pegiat media toleran mengajaknya untuk membuat ruang kolaborasi.

Apakah langkah ini berdampak? Jawabannya bisa iya atau tidak. Akan tetapi Dedik Priyanto memberikan gambaran bagaimana perkembangan website keislaman sepanjang 2017 hingga 2019. Pada tahun 2017 jumlah website keislaman moderat yang menempati peringkat 10 besar hanya dua saja. Namun pada tahun 2019 jumlahnya semakin bertambah. “Bahkan website kami menjadi salah satu situs keislaman paling populer,” jelasnya, merujuk pada ranking Islami.co di posisi dua besar.

Bagi Dedik, hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat sangat membutuhkan konten-konten keagamaan. Jika alumni pesantren tidak menggunakan media digital sebagai media dakwah, maka konten keagamaan akan didominasi narasi-narasi yang tidak berasal dari pesantren. Banyaknya narasi yang menghakimi dan anti terhadap keberagaman adalah buah pemahaman keagamaan yang sempit.

Baca juga:  Daulat Petani Kopi, Orang Gayo, hingga Kaum Sufi

Dapur Narasi dibentuk pada Maret 2017 oleh para pemuda yang concern pada isu keberagaman dan Islam rahmatan lil’alamin. Berawal dari keprihatinan bersama, gerakan ini justru bertahan hingga hari ini. Meski sudah tidak terlalu intens bergerak bersama, namun para inisatornya terus menyuarakan nilai-nilai yang diperbincangkan di dalam dapur tersebut.

Ada banyak pegiat media sosial yang dilibatkan dalam gerakan tesebut, mulai dari kalangan gerakan sosial hingga artis. Beberapa nama yang menjadi bagian Dapur Narasi antara lain Kalis Mardiasih, Habib Husein Ja’far, Arie Kriting, dan Cameo Project. Gerakan ini terhubung pula dengan sindikasi media keislaman yang berjejaring dengan Islami.co.

“Kami prihatin, mengapa orang-orang mempermasalahkan keberagaman dan membuat seolah-olah agama mengajarkan permusuhan. Padahal agama mana pun pasti mengajarkan perdamaian,” jelas Heru Prasetia.

Untuk itulah Dapur Narasi bergerak melawan narasi-narasi kebencian.

Heru Prasetia memaknai bahwa membuat konten positif saat ini sama dengan berdakwah. Di tengah banyaknya narasi yang mengajarkan pada permusuhan, satu langkah kecil dalam menyebarkan kebaikan merupakan sebuah bentuk jihad. Era digital membuka mata bahwa keahlian apapun bisa menjadi jalur perjuangan dalam menegakkan ajaran agama.

“Seorang programmer saat ini bisa menjadi seorang da’i dengan kemampuannya membuat kanal kebaikan,” ujar Heru.

Baca juga:  Di Sinci Gus Dur Terukir Tulisan ‘Yin Hua Zhi Fu, Fu Ruo Guo Zhi’

Ia mengibaratkan media digital seperti sebuah danau yang dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk. Penduduk menggunakan air tersebut untuk kegiatan sehari-harinya. Jika airnya beracun, maka penduduk akan terkena racun. Sebaliknya, jika air danau ini jernih, maka penduduk akan sehat. Membangun narasi kebaikan sama dengan mengaliri danau dengan air yang jernih.

Bagi Dedik Priyanto, memperbanyak konten di media digital adalah sebuah keharusan. Menurutnya, banyak masyarakat yang sangat membutuhkan konten keagamaan yang ramah agar tidak terbawa arus ekstremisme. Ia juga mengamini Heru bahwa berjuang melalui media digital sama mulianya dengan da’i yang bergerak melalui mimbar masjid.

“Ibaratnya masyarakat tengah mengalami kemarau panjang. Para pembuat konten keagamaan yang ramah sepeti membentuk awan-awan mendung di langit yang menurunkan hujan,” ujar Dedik.

Ia juga mengajak masyarakat untuk terlibat dalam aksi menyebar kebaikan. Ia menganggap sebenarnya sebagian besar masyarakat Indonesia itu moderat. Hanya saja masyarakat menjadi silent majority sehingga memberi ruang bagi narasi ekstrem terdengar lebih lantang.

“Saatnya kita menyebarkan kebaikan walau dengan satu twit,” pungkasnya.

Artikel ini adalah hasil kerja sama Alif.ID dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

https://alif.id/read/sarjoko-wahid/menyebar-pesan-damai-melalui-media-digital-b240912p/