Pesan dari Tepi Danau Poso

Suara azan mengalun samar-samar. Semakin lama suara itu kian jelas terdengar bersama dengan pulihnya kesadaran saya dari tidur yang nyenyak. Benar, ini azan!

Bukan tanpa alasan saya terperanjat. Saya tengah berada di tengah kota Tentena yang mayoritas beragama Kristen. Sebagian penduduk Tentena pun merupakan eksodus dari meletusnya konflik Poso di tahun 2000.

Namun mengapa di kota yang muslim sebagai minoritas ini suara azan begitu bebas disuarakan? Begitulah pertanyaan yang berkelebat di kepala. Pertanyaan itu perlahan berubah menjadi rasa malu karena di sebagian wilayah masih ada kelompok minoritas mendapat perlakuan diskriminatif. Boro-boro membuat acara keagamaan, mendirikan rumah ibadah pun masih begitu sulit.

Tentena merupakan sebuah kota kecil yang terletak di pinggiran danau Poso, Sulawesi Tengah. Kota ini memiliki pemandangan yang eksotis karena kejernihan air danau yang membuatnya berwarna hijau kebiru-biruan, seperti warna air laut. Saya pun sempat terkecoh menyangka bahwa danau purba ini merupakan laut.

Di tengah hamparan keindahan alam dan keramahan penduduknya, Tentena sebenarnya tengah memanas.

Sejak tahun 2018, di pinggir danau Poso terdapat satu gerakan masyarakat bernama “Penjaga Danau Poso”. Gerakan ini diinisiasi oleh para intelektual, aktivis, dan agamawan di sekitar danau Poso yang geram atas perusakan alam di wilayah tersebut. Danau Poso yang menyimpan kekayaan hayati dan sejarah tengah menjadi sasaran pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).

Baca juga:  Menengok Institut Kebudayaan Islam di Paris

“Sebenarnya kami tidak menolak pembangunan. Yang kami tolak adalah perusakan alam yang mengancam hilangnya satwa langka dan warisan sejarah di danau ini,” ungkap Lian Gogali, seorang aktivis yang turut menyuarakan gerakan penyelamatan danau Poso.

Baginya, danau Poso adalah kehidupan itu sendiri yang harus dijaga. Sebagai manusia, ia merasa memiliki kewajiban untuk melestarikan alam yang dititipkan oleh Tuhan kepada makhluk-Nya.

Upaya menggaungkan penolakan perusakan alam dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menggelar Festival Mosintuwu yang dihadiri oleh banyak kalangan, termasuk artis dari kota-kota besar seperti Jakarta dan Bali.

“Kami ingin suara ini didengar oleh masyarakat luas,” ujar Lian.

Festival Mosintuwu membawa konsep yang sederhana. Festival ini ingin menggali dan menghadirkan ulang warisan budaya masyarakat Poso yang telah dilakukan turun menurun. Misalnya, semua makanan dibuat dan disajikan tanpa bahan kimia. Makanan diolah dari model pertanian organik. Untuk membungkus pun menggunakan bahan non-plastik. Selain makanan, festival ini juga menghadirkan kesenian tradisional. Kedua, festival ini ingin membangun kesadaran warga betapa pentingnya membangun hubungan baik pada alam.

“Kerusakan alam akan membawa kerusakan pada kehidupan kita,” kata Lian menjelaskan mengapa hubungan baik itu perlu dijalin.

Dalam kesempatan itu saya diajak keliling danau Poso untuk melihat secara langsung upaya perusakan dan dampaknya. Saya menyusuri danau Poso menggunakan kapal ketengan, kapal tradisional, dengan didampingi oleh seorang pendeta bernama Pendeta Yombu Wuri.

Baca juga:  Kisah Gus Dur Diturunkan dari Bus

Di sebuah titik, pendeta menjelaskan bahwa lokasi itu merupakan situs bersejarah. Ada goa di bawah danau Poso yang merupakan tempat pemakaman para leluhur. Jika pengerukan untuk PLTA dilanjutkan, maka akan merusak situs pemalaman yang disebut sebagai goa Pamona.

“Betapa durhakanya kita pada leluhur jika makam-makam itu dirusak akibat keserakahan,” jelas Pendeta Wuri. Ia juga mengajak saya menemui seorang nelayan tradisional yang mengalami dampak langsung perusakan danau.

Nelayan itu menangkap ikan sidat, salah satu ikan langka, menggunakan cara tradisional. Danau Poso merupakan habitat alami ikan tersebut. Selama ini, nelayan seperti Bapak mendapatkan penghasilan 15-30 juta dalam sebulan. Jika kawasan danau rusak, ekosistem akan terganggu yang berakibat punahnya ikan sidat dari danau Poso.

“Kami pernah diminta untuk berhenti jadi nelayan. Sebagai kompensasi, saya dijanjikan pekerjaan. Jelas saya tolak,” tegas Papa Ge. Ia tidak habis pikir mengapa pembangunan harus membawa dampak buruk bagi lingkungan dan manusianya.

Perusakan itu nyata. Sejak 2020, ada 266 hektar sawah dan perkebunan di 15 desa di sekeliling danau Poso terendam karena uji coba pintu air PLTA Poso Energy sehingga para petani yang biasanya menjual beras sekarang meminjam atau membeli beras. Beberapa anak-anak petani putus sekolah dan berhenti kuliah.

Baca juga:  Berlebaran Rasa Multikultural di Teheran

Ironisnya, kerusakan itu terjadi atas nama pembangunan. Padahal hakikat utama pembangunan semestinya mempermudah kehidupan, bukan sebaliknya.

Setelah bertemu dengan nelayan, saya diajak masuk ke salah satu goa Pamona, situs pemakaman tradisional Poso. Di sana kerangka dan tengkorak manusia yang berusia puluhan atau bahkan ratusan tahun bersemayam. Metode pemakaman itu memang sudah tidak digunakan oleh masyarakat pinggiran danau Poso saat ini. Penduduk kebanyakan menganut Kristen dan Islam yang memiliki tata cara tersendiri dalam melakukan pengurusan jenazah. “Bagaimana pun kita perlu hargai tradisi orang tua kita. Jangan sampai kita jadi anak yang durhaka,” ujar Pendeta.

Kami pun menyudahi perjalanan. Sesampai di dermaga, saya kembali memandangi birunya danau Poso. Lian Gogali, Papa Ge, dan Pendeta Wuri menyadarkan saya pada satu hal, bahwa agama semestinya hadir dalam isu-isu pelestarian alam.

Orang mungkin mengenal Poso sebagai wilayah konflik agama. Namun orang jarang menyadari bahwa konflik atas nama pembangunan jauh lebih nyata dibanding mempertentangkan siapakah yang kelak dijamin masuk surga.

Artikel ini adalah hasil kerja sama Alif.ID dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.

https://alif.id/read/sarjoko-wahid/pesan-dari-tepi-danau-poso-b240909p/