Mbah Shodiq Kiai Sat-set (4): Pintu untuk Umat

Persaudaraan dan persahabatan saya dengan Mbah Shodiq rasanya sudah lama. Sejak awal tahun 90an. Yang pertama kali saya senang kepada beliau adalah sikapnya dan perilakunya yang egaliter. Semua dilayani dengan sama, semua disapa dengan sama. Jadi saya kok rasanya tidak pernah melihat beliau itu ketemu warga dengan wajah yang muram atau dengan sikap yang tidak suka. Ketemu siapa saja, menunjukkan wajah yang semangat.

Yang saya rasakan, ketika beliau mendapatkan sesuatu yang menyenangkan itu dibagikan kepada orang lain juga. Dulu awal 90an itu, kalau yai kundur dari umroh, biasanya ke rumah saya, kemudian meninggalkan kurma dari tanah suci. Ya, hanya meninggalkan oleh-oleh dan bilang ‘saya habis dari Makkah’, gitu. Oleh karena itu, bagi saya ini orang yang sangat egaliter, kemudian memelihara persaudaraan dan perkawanan itu.

Dan saya mendengar banyak cerita, betapa yai itu memberikan perhatian yang besar selama beliau membimbing haji dan umroh di tanah suci. Hampir tidak pernah istirahat. Kalau misalnya ada dari mereka yang kepengen umroh tidak ada yang mengantar, itu yai berangkat sendiri mendampingi jamaahnya itu. Tidak pagi, siang, atau malam.

Bagi saya suasana perkawanan itu tidak lekang oleh waktu dan tempat. Suatu ketika saya dan beliau sama-sama umroh, saya berangkat sendiri, beliau dengan jamaahnya, saya ketemu di suatu tempat di sana, kita saling sapa dan merasakan keakraban meski di sana. Beliau juga menawari apa yang bisa dibantu. Jadi persaudaraan itu tidak lekang oleh waktu dan tempat. Makanya saya menilai beliau orang yang sangat egaliter dan memperhatikan kebutuhan orang lain.

Baca juga:  Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (2)

Saya melihat dalam konteks kegiatan dakwah dan pengajian, saya kira Mbah Shodiq adalah orang yang paling istiqamah. Misalnya di MAJT ketika saya menjadi ketua takmir, beliau baik di bulan puasa atau tidak, jadwal beliau selama sehat itu selalu terpenuhi dan tepat pada waktunya. Jamaah juga suka karena cara penyampaiannya persis seperti di pondok pesantren. Dimaknai makna gandul, kemudian diuraikan kepada jamaah. Itu memudahkan jamaah memahami. Kemudian kalau ada yang bertanya, pertanyaan itu juga bisa dijawab dengan enak. Saya lihat kebiasaan yang sangat bagus sebagai seorang pendakwah itu ada pada beliau.

Kemudian, Mbah Shodiq ini juga menarik. Kapan saja saya ke sana diterima. Saya sendiri kan tidak tahu aturan waktu ya, kadang-kadang keperluan mendesak, ketika jam istirahat saya ke sana ya diterima. Dan itu yang saya sangat suka adalah diterima dengan rasa gembira. Wajahnya ceria. Artinya, yai itu menjaga relasi sosialnya sangat bagus. Beliau guyup dan gayeng.

Selain itu, yai itu betul-betul seorang penulis yang produktif. Itu suatu hal yang sangat penting, karena khazanah keislaman itu kalau gak ada buku dan kitab bisa habis. Saya kira banyak kitab yang yai tulis itu. Dan kesibukan beliau ini, tidak mengganggu hubungan persaudaraan dan perkawanan dengan siapapun juga. Oleh karena itu, menurut saya kita harusnya bersyukur Allah memberi karunia di bumi ini dengan hadirnya Kiai Shodiq itu.

Baca juga:  Juni dan Penggubah Puisi (1): Abdul Hadi WM; Penggubah, Penerjemah, Penafsir

https://alif.id/read/amf/mbah-shodiq-kiai-sat-set-4-pintu-untuk-umat-b246328p/