Joko Tingkir, Dangdut Koplo, dan Kebudayaan Jawa

Sedang ngetren lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet. Tetapi, bukan itu yang sedang penulis ingin berikan ulasan. Bukan karena sedang viral atau ngetren. Namun mengenai pro dan kontra terkait nama Joko Tingkir yang Ngombe Dawet dalam lagu berbahasa Jawa tersebut. Benarkah  lagu tersebut salah?

Menurut penulis setiap karya mempunyai pasar dan peminatnya sendiri. Termasuk sebuah musik. Ada musik rock, pop, jazz, keroncong, reliji, dangdut, campursari dan lain sebagiannya. Tentu tujuan dari bermusik ada bermacam-macam. Ada karya musik yang sengaja dibuat hanya sekadar untuk hiburan, tanpa memedulikan nilai moral. Ada yang menciptakan karya (dalam hal ini musik) untuk berdakwah. Bahkan ada yang dua-duanya.

Kita tentu banyak menemukan contoh-contoh karya seni (dalam hal ini musik) untuk hiburan semata. Karena sekarang medsos benar-benar membuat kita terhubung dengan banyak orang dan mudah mengaksesnya. Termasuk sebuah karya musik dapat dengan mudah viral karena adanya youtube, tiktok, instagram, facebook, twitter dan lain sebagainya. Begitupun karya musik yang diciptakan dalam rangka berdakwah, banyak juga.

Di era kebebasan informasi seperti ini, memang kita perlu mengatur kembali mana yang harus kita konsumsi (nikmati) dan mana yang perlu kita abaikan. Kita harus memfilternya.

Balik lagi ke lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet. Penulis tidak akan menghakimi lagu tersebut dengan benar atau salah. Namun penulis akan mengacu pada perspektif budaya dan moral.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (15): Kantata Takwa dan Santri

Banyak yang pro terhadap lagu tersebut. Bukankah Joko Tingkir Ngombe Dawet biasa aja? Padahalkan dawet minuman halal bahkan minuman khazanah Indonesia? Lantas di mana salahnya? Sedangkan yang kontra, seperti KH Ahmad Muwafiq dan KH Anwar Zahid, mengatakan bila Joko Tingkir itu Raja Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijawa dan seorang waliyullah bahkan keturunannya melahirkan kyai dan ulama Jawa.

Baiklah, lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet itu kan pantun tapi berisi satu sampiran dan baris kedua isi. Atau dalam istilah jawanya itu parikan. Bedanya parikan dan pantun hanya dalam jumlah bait. Tetapi substansinya sama. Pantun pada zaman sekarang banyak digunakan untuk asyik-asyikan atau hiburan.

Lalu, kurang tepat atau tidak pantas pada lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet di mana? Pertama, kata Joko Tingkir dalam lagu tersebut konteksnya kurang pantas. Joko Tingkir merupakan sosok orang terhormat, yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW dan ulama atau kyai jawa banyak yang bernasab dari beliau. Pada lagu tersebut seolah-olah berisi candaan terhadap beliau (meskipun pengarang lagunya sudah meminta maaf dan mengatakan lagu tersebut tidak untuk meredahkan dan membercandai Joko Tingkir).

Bukan berniat mengkotak-kotakan jenis musik yang baik dan buruk, akan tetapi memang kata Joko Tingkir tidak pantas bila diletakkan pada sampiran pada pantun atau parikan lagu tersebut. Misal saja kata Joko Tingkir kita ganti dengan kata (nama) Presiden atau para pejabat, atau nama orang tua pasti kita semua mengatakan itu tidak pantas atau kurang tepat. Jadi konteks (tidak hanya makna rentetan kalimat per kalimatnya, akan tetapi sesuai konteksnya lagu yang juga berpantun atau berparikan).

Baca juga:  Musik dalam Islam: Sebuah Tanggapan untuk Uki Eks NOAH

Permasalahannaya apakah berpantun dan berparikan berarti kesalahan? Tentu tidak. Bahkan pantun merupakan karya sastra dan parikan merupakan khazanah sastra kebudayaan Jawa. Namun, kebetulan kata Joko Tingkir tidak pas bila diletakkan pada lagu dan pantun atau parikan tersebut. Selain itu juga, hal tersebut tidak sesuai kedudayaan dan tradisi di Jawa yang menjunjung tinggi etika atau norma kesopanan. Kalau istilah orang Jawa ora elok atau tidak sopan.

Kedua, lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet tersebut juga dibuat koplo. Pertanyaannya apa salahnya dengan koplo? Salahnya bukan terletak pada dangdut koplonya. Toh, Bang Haji Roma Irama membuat lagu-lagu yang indah sekali dan bernilai dakwah lewat dangdut. Irama dangdut koplo lebih mengundang berjoget ria dan bahkan tidak jarang tawuran (bukan bermaksud menyudutkan dangdut koplo). Sehingga kiranya orang semulia Joko Tingkir, namanya disematkan pada pada lagu koplo tidak pantas pada konteks tersebut (baik secara teks dan pantun atau parikan).

Banyak kiranya contoh-contoh yang serupa perihal kesopanan atau tidak elok jika tidak sesuai porsi dan tempatnya. Seperti membuat versi remix atau jedag-jedug lagu kebangsaan atau mengganti kata Joko Tingkir pada lagu tersebut dengan nama orang-orang yang dipandang terhormat, seperti Presiden atau pejabat, pemuka agama, orang tua dan orang lain yang dipandang mulia. Bukan lagu atau musiknya yang jelek namun kita hidup itu tidak bebas nilai. Selalu ada norma agama, sosial, budaya dan negara yang meliputi kita.

Baca juga:  Pesan Dakwah dalam Lagu-Lagu Nasida Ria

Oleh sebab itu ketika berkarya kita harus mempertimbangkan masak-masak terkait konten tersebut. Apakah nanti menimbulkan masalah atau tidak. Namun yang perlu digaris bawahi, benarkah yang dimaksud dalam lagu tersebut Joko Tingkir Raja kerajaan Pajang? Atau Joko Tingkir yang lain?

https://alif.id/read/ahmad-solkan/joko-tingkir-dangdut-koplo-dan-kebudayaan-jawa-b245157p/