Empat Konsep Hijrah Menurut Ulama Sufi

Saat ini, istilah hijrah dikalangan umat Islam digunakan sebagai ungkapan dari fenomena orang yang baru mengenal Islam, atau sebelumnya kurang memperhatikan syariat Islam.

Dan terkadang hijrah direalisasikan atau ditampakkan dengan kesalehan dalam penampilannya saja, contohnya, dari membuka aurat menjadi berhijab, dari tidak berjenggot hingga memanjangkannya.

Sebenarnya konteks hijrah bukan saja dipandang dari sisi zahir atau penampilannya saja, akan tetapi, hijrah harus dikombinasikan dengan membersihkan batin atau hati  dari segala penyakit hati dan segala hal yang dilarang. Rasulullah SAW, bersabda:

وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ.

Artinya, “Hakikat hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hijrah secara hakiki mengandung makna sangat luas dan esensial. Yakni, tarkul manhiyyat, (meninggalkan berbagai larangan agama) Karenanya, hijrah sejatinya tidak terbatas pada perpindahan yang bersifat lahiriah saja, namun juga mencakup perpindahan atau perubahan yang bersifat batiniah.

Al-Imam Abu Nuaim Al-Ashfahani dalam karyanya Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Asyfiya’ (Juz, 1 Hlm. 197) mengutip ungkapan Syekh Sahal Al-Tustari yang berkaitan dengan ruang lingkup hijrah. Adapun kutipannya sebagai berikut:

قال سهل بن عبد الله التستري رحمه الله : الهجرة فرض إلى يوم القيامة، من الجهل إلى العلم، ومن النسيان إلى الذكر، ومن المعصية إلى الطاعة، ومن الإصرار إلى التوبة

Baca juga:  Abu al-Hasan al-Busyanji Dituduh Mencuri Keledai, Tetapi…

Syekh Sahal bin Abddullah Al-Tustari berkata: “Berhijrah itu wajib sampai hari kiamat; dari kebodohan menuju ilmu, dari lupa menuju dzikir atau ingat Allah, dari maksiat menuju tha’at, dari membiasakan berbuat dosa menuju taubat”.

Dari pernyataan Syekh Sahal Al-Tustari di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa arti hijrah itu sangat luas, dan yang paling penting dalam mengimplementasikan hijrah yaitu harus mengamalkan empat perkara. Adapun empat perkara tersebut yaitu:

Pertama, hijrah dari kebodohan kepada ke ilmuan atau pengetahuan. Kebodohan adalah kegelapan dalam menjalani kehidupan, orang yang bodoh sangat mudah melakukan larangan dan mudah digoda oleh setan. Mudah bagi setan untuk menjerumuskan orang yang bodoh kepada jalan kesesatan, berbeda dengan orang yang berilmu, bagi setan sangat sulit untuk menjerumuskannya. Oleh karena itu, untuk menjalani hijrah dari segala larangan kita harus berilmu, tidak cukup hanya hijrah secara zahir saja.

Kedua, hijrah dari lupa mengingat Allah dengan memperbanyak dzikir. Tujuan dzikrullah adalah agar kita dapat menjauhi lalai kepada Allah, karena lalai akan mendorong kita kepada kemaksiatan. dan dengan berdzikir membantu kita untuk meninggalkan kemaksiatan.

Ketiga, hijrah dari kemaksiatan dengan menjalani ketaatan. Berubah menjadi lebih baik itu baik, tidak sedikit orang yang kelam masa lalunya, kini cerah masa depannya, karena segera memutuskan untuk berhijrah (kembali kepada Allah)  Selain harus gigih meninggalkan kemaksiatan, seorang Muslim harus lebih gigih lagi agar dapat istiqamah dalam ketaatan. Tidak berbalik arah kembali pada dosa yang dilakukan sebelumnya.

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (30): Ibrahim al-Qirmisini Melanggar Perintah Gurunya

Keempat, hijrah dari terbiasa berbuat dosa dengan bertaubat. Setiap manusia pasti pernah melakukan dosa. Baik dosa besar atau kecil, dan yang disengaja maupun tidak disengaja. Dosa yang dilakukan di dunia maka akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT kelak di ahirat. Atas dosa yang telah diperbuat, sudah seharusnya kita bertaubat memohon ampun kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Wallahu A’lam Bissawab.

‏‏‎

https://alif.id/read/hosi/empat-konsep-hijrah-menurut-ulama-sufi-b245170p/