Logat Jawa dalam Diskursus Keislaman

Di sebuah pesantren seorang muda terlihat malas-malasan ketika mengikuti kelas Qur’an-Hadist. Beberapa kali ia dibentak oleh ustadznya untuk fasih dalam mengucapkan huruf “dhat.” Dan ia tetap saja mengucapkan istilah-istilah Arab yang mengandung huruf “dhat” itu seperti halnya lidah orang Jawa yang tak lazim sedikit keluar pucuknya dari bibir sembari kedua pipinya menggelembung.

Sampai sekarang ternyata cukup banyak orang yang mengukur keislaman seseorang dari logat dalam mengucapkan istilah-istilah yang dikenal dari Arab. Tak segan-segan bahkan ukuran kefasihan dalam berbahasa Arab itu dikenakan para akademisi yang berlatarbelakang Islam untuk mengukur para pujangga Jawa seperti Ronggawarsita. Kesimpulan mereka, ketakfasihan dalam berbahasa Arab itu menunjukkan ketakmemadaian mereka dalam masalah agama Islam. Seandainya berbicara Arab saja tak fasih, bagaimana mungkin para pujangga Jawa itu berhujah tentang tasawuf yang ndakik-ndakik?

Demikianlah simpul para akademisi yang datang dari latar-belakang keislaman yang kuat terhadap “kelinci” penelitian mereka. Saya sendiri berpikir bagaimana mungkin, seumpamanya, Ronggawarsita yang sejak umur 12 tahun telah nyantri di pesantren sampai dianggap tak memadai pengetahuannya akan agama Islam.

Para pujangga Jawa sejak era Mataram Islam telah mengenyam pendidikan agama di pesantren sebelum menjadi pujangga di keraton. Taruhlah Yasadipura II yang tercatat pernah nyantri di sebuah pesantren di Kedu. Sementara cucunya sendiri, Ronggawarsita, nyantri di Ponorogo. Atau Raden Panji Natarata, yang dalam catatannya sendiri dalam Serat Bayanulah, pernah singgah di pesantren pimpinan Sayyid Oidrus di Betawi dan, yang cukup memengaruhinya, seorang kyai di pesantren Ndresmo, Surabaya.

Baca juga:  Gliyak-Gliyak Tumindak, Sareh Pikoleh

Seorang wiku pendiri aliran Pirukunan Ayu Mardi Utama (PAMU), Ki Ageng Djayapoernomo, dalam catatan Andrew Beatty, tercatat pernah pula nyantri di sebuah pesantren di Surabaya dan kemudian hengkang setelah menjawab cibiran para santri di sana dengan mendatangkan hujan dan badai (Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account, 1999).

Para akademisi, yang umumnya datang dari lingkungan Islam modernis, umumnya berupaya meragukan racikan tasawuf-Jawa yang dibabarkan oleh para pujangga Jawa itu berdasarkan ketakfasihan dalam menjumput istilah-istilah ataupun dalil-dalil yang berbahasa Arab. Taruhlah istilah Jawa kakiki yang semestinya tertulis dan terucap khaqiqi. Ataupun istilah Jawa Mukamad yang semestinya tertulis dan terucap Mukhammad.

Bagi saya, ketika para akademisi itu menyimpulkan bahwa terdapat ketakmemadaian para pujangga Jawa dalam menguasai dan otomatis memahami pengetahuan-pengetahuan keislaman, maka terdapat pula ketakmemadaian para akademisi itu dalam menguasai dan memahami pengetahuan-pengetahuan kejawen.

Dengan keberanian malu yang tinggi para akademisi itu tak pernah bertanya kenapa para pujangga Jawa itu, atau secara umum orang Jawa, mengucapkan qalbu sebagai kalbu atau sifat sebagai sipat. Ada dua alasan yang saya kira menjadi penyebab terdapatnya fenomena medhok, fenomena lidah Jawa atau logat Jawa dalam diskursus keislaman.

Pertama, fakta tentang aksara Jawa yang berjumlah duapuluh menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Aksara Jawa yang terdiri dari aksara Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Ta, Nga, sama sekali tak memungkinkan untuk menulis dan mengucapkan Mukhammad sebagaimana orang Arab menulis dan mengucapkannya. Dalam susunan aksara Jawa yang disebut aksara dentawijanyana itu tak ada aksara Kha’ sehingga ketika pujangga Jawa menulis dan mengucapkan istilah itu dipakailah aksara yang ada, yakni Ka yang kemudian ketika dijawakan akan tertulis dan terucap Mukamad.

Memang benar setelah mesin cetak ada, lazim buku-buku yang masih berbahasa Jawa ditulis dengan aksara-aksara Jawa dan ketika menjumput istilah-istilah Arab sudah memakai aksara rekaan. Seumpamanya istilah Mukhammad tersebut, ketika memakai aksara rekaan akan menggunakan aksara Ka yang di atasnya diberi tanda koma yang berjumlah tiga sehingga pengucapannya akan seperti pengucapan orang Arab.

Baca juga:  Kemerdekaan dan Ukuran Sebuah Kebenaran

Namun sebenarnya, aksara rekaan itu, yang jelas terlihat dari namanya, bukanlah aksara asli Jawa. Dalam hal ini, istilah rekaan adalah bermakna rekayasa. Ia baru ada ketika mesin cetak menggantikan peran tulisan tangan atau carik. Jelaslah di masa Ronggawarsita mesin cetak itu belum ada.

Secara filosofis pun aksara rekaan itu, ketika dimaknai sebagai aksara-aksara asli Jawa akan menggugurkan pengertian aksara dentawiyanjana sebagai aksara nglegena. Sebab, ibarat bayi yang mesti menjadi manusia, maka bayi itu mestilah di-sandhangi dan di-pasangi. Inilah kenapa, di samping aksara dentawiyanjana yang telanjang, terdapat pula sandhangan dan pasangan yang menjadikan aksara-aksara itu dapat nyastra atau terasa patut dan elok. Bagaimana ketika orang itu hidup tanpa berbaju atau sama sekali tanpa predikat, tanpa sandhangan dan pasangan?

Kedua, kelaziman para pujangga Jawa yang menulis dalam bentuk tembang yang terbingkai oleh aturan-aturan baku yang bernama metrum sudah otomatis akan berpotensi, ketika mengutip dalil atau menjumput istilah Arab, tersaji secara tak asli atau terekayasa. Taruhlah ketika menulis dengan memakai metrum Dhandhanggula, maka tulisan itu mestilah berjumlah 10 gatra atau baris. Dan di setiap gatra pertama mesti terdiri dari 10 suku kata yang dinamakan guru wilangan serta mesti berakhiran “i” yang disebut sebagai guru lagu.

Dengan tingkat kerumitan yang tinggi seperti itu, maka para pujangga Jawa, ketika mewedarkan diskursus tasawuf, sama sekali tak dapat dihakimi dengan alasan ketakmemadaian atau kegoblokan dalam masalah pengetahuan-pengetahuan keislaman. Sebab, ketika ukuran ini diterapkan-balik pada kalangan berani malu tersebut, akan juga menampakkan ketakmemadaian atau kegoblokan dalam urusan kesusastraan Jawa ataupun kejawen.

Baca juga:  Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (4): Deradikalisasi dalam Sufisme Nusantara

https://alif.id/read/hs/logat-jawa-dalam-diskursus-keislaman-b245154p/