Gus Dur dan Trah Darah Biru

Tulisan ini lahir dari perbicangan hangat sore hari dengan seorang kawan, pemuda Probolinggo yang berdomisili di Malang, seorang (calon) pemikir yang sangat getoh bicara Filsafat Perancis, ia Derridian.

Setiap kali berkunjung, istana sederhananya dipenuhi dengan lautan buku-ilmu genre filsafat hingga sastra. Saya senang singgah ke gubuk kecilnya, karena setiap kali bincang-bincang santai seketika itu pula disodorkan beberapa buku yang perlu al-Haqir baca. Gubuk kecilnya bernuansa ilmu, wajar saja dia dan sang istri menjadi kutu buku, namun sang suami lebih ekstrem. Kalo saya menyebut ia seorang gila buku yang menempuh jalan ekstrem.

Di sela-sela perbicangan, penulis biasanya bertanya perihal rumah tangga yang ia jalani sekalipun masih seumur jagung. Derridian satu ini selalu menyebut rumah tangga Gus Dur. Dia terinspirasi dengan perjalanan rumah tangga sang bapak Pluralisme dan Guru Bangsa itu.

Pertanyaannya sekarang, apa yang menarik dengan rumah tangga Gus Dur?

Siapa yang tak kenal Gus Dur? Tentu semua kalangan mengenalinya dari kalangan Islam hingga non Islam, dari kancah Nasional hingga mancanegara. Penulis tidak perlu menjelaskan panjang lebar akan hal ini, namun lebih fokus terhadap perjalanan rumah tangga Gus Dur dengan Nyai Sinta yang penuh dengan jalan terjal dan ngarai sianok, khususnya di ranah ekonomi pada awal-awal pernikahan.

Baca juga:  Ulama Banjar (178): KH. Mukeri Yunus

Ada kisah menarik dari awal mula perjalanan rumah tangga Gus Dur dengan sang istri, tepatnya pada september 1971 rumah tangga itu mulai dibangun yang sebelumnya hanya menjalin hubungan jarak jauh selama tiga tahun tidak seperti pasutri pada umumnya, tak ubahnya hanya sekedar tunangan; secara teknis menikah namun tak bisa bersua.

Layaknya rumah tangga pada umumnya, cobaan ekonomi rumah tangga merupakan salah satu kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh pasangan suami istri khususnya di awal pernikahan, honorarium yang tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga, rumah hanya ngontrak dan sebagainya. Hal ini pula yang sempat dirasakan Gus Dur di masa awal pernikahannya.

Sekitar tahun 1973 ketika Ning Alissa baru lahir, honorarium Gus Dur dari ceramah dan menulis artikel-artikel bernasnya tak cukup untuk menopang kebutuhan keluarga sederhananya itu. Gus Dur tak kehabisan akal. Presiden keempat ini akhirnya memutar otak sekiranya ada sebuah penghasilan yang bisa membantu kebutuhan rumah tangga sekalipun sedikit. Akhirnya ia beserta sang istri memilih untuk berjualan, khususnya menjual “kacang tayammum”.

Dari nama produknya sudah menarik. Ini tak lain agar para pembeli tertarik terhadap jualannya dan akhirnya membeli. Namun siapa yang menyangka nama “kacang tayammum” itu bukan sebagai manajemen marketing untuk melariskan sebuah dagangan melainkan proses penggorengan kacang tersebut bukan seperti lazimnya; proses penggorengan menggunakan pasir. Ini saking sulitnya ekonomi Gus Dur pada waktu itu sampai tak bisa membeli minyak untuk dijadikan bahan menggoreng.

Baca juga:  Mengenal Teologi Negatif Ibn ‘Arabi (2)

Setiap hari pekerjaan ini Gus Dur tekuni dengan Nyai Sinta, Gus Dur bertugas sebagai penggoreng sedangkan istrinya menempelkan lidah api ke plastik bening yang berisi 25 butir kacang.

Apakah Gus Dur malu dengan pekerjaan ini? tidak. Sekali lagi tidak. Dengan trah darah birunya tak menghalangi guru bangsa itu untuk mengais pundi-pundi rupiah dari pekerjaan apapun, selama itu halal. Bahkan menurut pengakuan Nyai Sinta dan Ning Yenny di sebuah acara zoom “Hari Lahir Gus Dur”, presiden ke-4 itu beberapa kali pindah kontrakan dari rumah kontrakan satu ke kontrakan yang lain, terhitung sebanyak tiga kali beliau mengontrak sebuah rumah di daerah Ciganjur, sampai Ning Yenny menyebut sang bapak sebagai “kontraktor”, berpindah-pindah kontrakan.

Gus Dur tak membangga-banggakan trah darah birunya itu, ia berusaha menemukan keistimewaan dalam dirinya sendiri tanpa bayang-bayang kehebatan sang ayah dan kakeknya.

Syahdan penulis teringat sebuah maqalah ulama’ yang berbunyi:

فشر العالمين ذوو الخمول إذا فاخرتهم ذكروا الجدود

وخير الناس ذو حسب قديم أقام لنفسه حسبا جديدا

Buruknya sebuah generasi ketika ia tidak memiliki sebuah keistimewaan, ketika engkau menyebutkan kehebatan-kehebatan orang lain ia malah terbuai dengan kehebatan-kehebatan nenek moyangnya.

Dan paling bagusnya generasi ia memiliki nasab mulia, namun ia berusaha untuk menemukan keistimewaan dirinya sendiri tanpa terbuai dengan kehebatan nenek moyangnya.

Bukankah seharusnya demikian? Para keturunan darah biru tak terbuai dengan kehebatan para nenek moyangnya, harus ada usaha pribadi yang bisa menjadikannya pribadi yang baik dan memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan kemuliaan itu tidak akan diperoleh (hanya) karena memiliki nasab mulia, namun harus ada etika yang baik dalam dirinya. Sebagaimana dawuhnya ulama’:

Baca juga:  Ulama Banjar (45): KH. Ahmad Hasan

الشرف بالأدب لا بالنسب

Kemuliaan diperoleh karena kemuliaan akhlak bukan karena (hanya) kemuliaan nasab

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mro/gus-dur-dan-trah-darah-biru-b246788p/