Mbah Marzuqi dan Kenikmatan Beribadah

Bagi sebagian kita menjadikan kewajiban ibadah sebagai sebuah kenikmatan tentu bukan perkara yang mudah. Jangankan menjadikannya sebagai kenikmatan, menjalankannya saja kadang terasa berat. Tapi, bagi sebagian hamba pilihan ibadah merupakan kenikmatan dan kesenangan sekaligus oase untuk meneguk rahmat Allah di tengah dahaga spiritual.

Al-Maghfurlah KH Ahmad Marzuqi Romly (Mbah Marzuqi), ulama masyhur asal kampung Giriloyo, Bantul, Yogyakarta yang terkenal dengan kewaliannya pernah memberikan resep dan penanda. Suatu kali Al-Maghfurlah Kyai Asyhari Marzuqi, putra Mbah Marzuqi dan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede, pernah bercerita. Tatkala melaksanakan ibadah haji di akhir tahun 80-an bersama sang ayahanda, Mbah Marzuqi, Kyai Asyhari mendapatkan piwulang luhur tentang ibadah.

Saat itu usia Mbah Marzuqi sudah uzur. Hampir mendekati usia 90 tahun. Berjalannya pun tertatih. Di saat melaksanakan rangkaian ibadah haji, yakni sa’i, Mbah Marzuqi tampak berjalan dan berlari kecil dengan penuh kesulitan dan terseok. Selain fisiknya yang sudah melemah juga karena faktor usia yang memang sudah sepuh.

Melihat kondisi orang tuanya tersebut, Kyai Asyhari yang berada di sampingnya merasa iba dan menawarkan diri untuk membantu. “Pak, saya bantu nggih. Bapak saya gendong. kata Kyai Asyhari kepada Mbah Marzuqi.

Apa jawaban Mbah Marzuqi?

Baca juga:  Menimbang Tiga Prinsip Ekonomi Al-Ghazali (2): Ekonomi Legal (Islam)

“Tidak usah. Saya berjalan sendiri saja. Aku senang kok. Inilah nikmatnya ibadah.” kata Mbah Marzuqi.

Lha wong sedang menikmati ibadah kok malah mau dibantu digendong.” lanjut Mbah Marzuqi. Mendengar jawaban Mbah Marzuqi, Kyai Asyhari merasa musykil. Sebab, di saat fisik Mbah Marzuqi yang terlihat kepayahan, tetapi justru yang terlontar dari beliau adalah rasa nikmat.

“Kok bisa, Pak?” kata Kyai Asyhari.

Mbah Marzuqi lalu menjelaskan, “Inilah kenikmatan taat. Di saat kita sulit dan susah payah melaksanakan ibadah, tetapi masih mampu menjalankannya, maka itulah kenikmatan ibadah yang sesungguhnya.”

Dari sini Kyai Asyhari paham apa yang sedang dialami oleh sang ayahanda, Mbah Marzuqi. Meski secara lahir terlihat kepayahan, tetapi sesungguhnya ada kegembiraan batin dan kenikmatan beribadah yang sedang dialami Mbah Marzuqi. Sehingga, kesulitan dan beratnya fisik tak akan terasa manakala batin sudah sampai pada puncak derajat menikmati ibadah.

Ini selaras dengan dawuhnya Kanjeng Nabi. “Ada tiga perkara yang jika tiga perkara tersebut ada pada seseorang, maka akan merasakan manisnya iman.” Sabda Nabi.

Salah satu yang didawuhkan Kanjeng Nabi adalah, “Barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.”

Jadi, salah satu penanda seorang hamba mampu merasakan manisnya iman dan nikmatnya beribadah dan bermunajat kepada Allah adalah kemampuan mengelola rasa cinta kepada Allah dan Kanjeng Nabi di atas segalanya. Jika ini yang dilakukan, maka apa yang pernah dialami dan dituturkan Mbah Marzuqi bukanlah sesuatu yang mustahil: fisik terlihat lelah, tapi sesungguhnya ada kenikmatan dan kebahagiaan batin dalam beribadah.

Baca juga:  Hikayat Walisongo (8): Kanjeng Sunan Drajat, Catur Piwulang dan Teladan Kenabian

https://alif.id/read/ahmad-munir/mbah-marzuqi-dan-kenikmatan-beribadah-b246785p/