Kehormatan dan Kritik

Sejak mula, kritik itu “suguhan” untuk “disantap”. Kritik mungkin “kripik”. Garin Nugroho “makan” kritik-kritik berdatangan gara-gara membuat film atau menulis resensi film. Ia tak menghindari kritik tapi meladeni dengan senang. “Kritik itu lekas sekali,” pengakuan Garin Nugroho di majalah Femina, 24-30 Juni 1993. Pada masa 1990-an, ia membuat geger perfilman di Indonesia.

Puluhan tahun, ia menekuni film. Ia membuat film digenapi menulis esai-esai mengenai film dan membuat buku perfilman. Ia sadar belum merampungkan semua misi. Film itu panggilan. Ia mengikuti dan mewujudkan di jalan panjang menemukan lubang, lumpur, genangan air, dan debu. Berjalan dan memberi persembahan tanpa kapok.

Pada 6 Desember 2022, ISI Surakarta memberi gelar doktor kehormatan kepada Garin Nugoro dalam penciptaan film. Pengabdian dihitung sudah mencapai 40 tahun. Pemberian gelar kehormatan itu kebijakan pertama di ISI Surakarta. Garin Nugroho di daftar awal bila kelak ISI terus memberikan gelar doktor kehormatan kepada para tokoh kesenian di Indonesia. Kita menduga Garing Nugroho girang dan merasa terhormat. Ia mungkin tak berlanjut selalu mencantumkan gelar di depan nama agar tak seperti kaum politik memamerkan gelar kehormatan di kerja-kerja kekuasaan.

Dulu, Garin Nugroho memiliki obsesi menjadi penulis dan pembuat film. Perwujudan terjadi mula-mula ia tenar dengan film. Ia pun rajin menulis di koran dan majalah. Buku-buku pun terbit sebagai pembuktian gairah menjadi penulis. Pada 2021, ia malah tampil di hadapan pembaca dengan buku puisi berjudul Adam, Hawa, dan Durian.

Bermula sebagai pembaca buku-buku, ia menerbitkan buku-buku mengenai demokrasi, televisi, film, industri hiburan, dan sastra. Sejak bocah dan remaja, ia menggandrungi bacaan. Di majalah Femina, Garin Nugroho mengungkapkan: “Kalau saya lagi capai, biasanya saya baca puisi, cerpen, atau novel-novel angkatan Balai Pustaka.

Baca juga:  Perspektif Psikologi untuk Masalah Sosial Budaya

Kalau saya ingin mengembangkan wawasan, saya raih buku-buku di luar bidang film, khususnya sosiologi atau masalah-masalah kenegaraan.” Ia membaca berpamrih besar untuk menemukan dan mengolah pelbagai hal. Kita mengandaikan ia menggarap film bersumber novel gubahan Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922). Penggarapan film berdalih peringatan 100 tahun penerbitan Sitti Nurbaya oleh Balai Pustaka.

Pada suatu masa, Garin Nugroho bakal menjadi legenda. Ia tak cuma berada di film dan bacaan. Ia hadir dalam tari, musik, teater, dan seni rupa. Dulu, ia rajin menjadi pendongeng bertema kebangsaan. Ia mahir menggarap iklan-iklan. Kesibukan-kesibukan belum rampung. Garin Nugroho belum selesai untuk menghasilkan film, buku, atau seni pertunjukan. Peran sebagai pengajar mungkin malah memunculkan pemikiran-pemikiran berpengaruh di jalan kesenian dan keintelektualan di Indonesia.

Garin Nugroho tentu kokoh di perfilman. Pada 2002, terbit buku berjudul Membaca Film Garin. Buku berisi tulisan para pengamat di Indonesia dan pelbagai negara. Mereka tampil sebagai penonton dan pembaca film, mengiringi ketenaran dan pengaruh Garin Nugroho di perfilman Indonesia dan Asia.

Krishna Sen menilai Garin Nugroho itu “sineas yang baik menurut ukuran mana pun.” Penilaian menguat dengan latar perfilman masa Orde Baru. Film menjadi perwujudan kemauan-kemauan. Garin Nugroho mahir sodorkan pesan agar film itu “pemikiran”, melampaui pesona-pesona hiburan dan keindahan.

Baca juga:  Interkoneksitas Asia dan Diaspora Arab di Tiongkok Era Mao

Sejak dulu, Garin Nugroho berani dengan menampilkan perbedaan-perbedaan, tak harus membawa kebaruan. Di perfilman, ia memiliki beragam referensi. Pertimbangan-pertimbangan “unik” diajukan menjadi pembeda dari industri film Indonesia. Kesadaran teknologi, etnografi, sastra, religi, dan demokrasi memungkinkan Garin Nugroho bergerak jauh. Ia sadar serbuan kritik dan sangkaan-sangkaan menjatuhkan. Ia makin mengerti film membawa kritik memicu ia mendapat kritik-kritik berkaitan film, politik, estetika, dan pengetahuan.

Film-film terus dibuat meski sadar omelan para penonton dan pengamat. Sekian film garapan Garin Nugroho memang susah dimengerti. Pada situasi berbeda, Garin Nugroho sengaja membuat film enteng dan menghibur. Ia mengelak dari pembakuan atau pengecapan mutlak.

Di kritik film, Seno Gumira Ajidarma termasuk tekun mengamati film-film garapan Garin Nugroho. Ia membuat ulasan di Kompas dan Jakarta Jakarta. Pengamatan biasa bersambung untuk sampai sejenis konklusi: “… sementara film-film Garin Nugroho semakin membahasakan dirinya dalam cara berbicara banyak orang, orang banyak ini pun dunia pemaknaannya bergerak menjauhi monolog-monolog usang tentang dunia yang selesai, mencari dunia-dunia yang belum selesai dan masih bisa ditafsirkan kembali – sehingga kehidupan yang berbudaya masih bisa ditafsirkan kembali – sehingga kehidupan yang berbudaya masih akan terus berlangsung.”

Kini, Garin Nugroho belum terlalu tua untuk membuat sekian film lagi. Ia mungkin jemu atau mengalami lelah dengan menikmati jeda. Kita menduga ia masih bakal sodorkan film-film tanpa janji dimengerti penonton. Garin Nugroho itu mengerti pelbagai hal, mengantar kepada kita dengan tulisan dan film. Ia bukan pemberi pengertian. Ia justru sadar “sulit” dimengerti berakibat diserbu kritik-kritik. Begitu.

Baca juga:  Sebuah Refleksi: Dimensi Mistik Urang Banjar

https://alif.id/read/bandung-mawardi/kehormatan-dan-kritik-b246792p/