Toxic Friend: Mengapa Harus Dijauhi?

Oleh Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Kencong Jember

RumahBaca.id – Saya berteman dengan tipikal Toxic Friend di dunia nyata dan maya. Saya bersahabat, tapi menjaga jarak, biar tidak teracuni. Misalnya, seorang teman yang selalu menilai kesuksesan dan kebahagiaan berdasarkan materi. Ketika kami bertemu bersama sahabat lain, yang dibicarakan hanya seputar pencapaian materi. Pernah dalam sebuah acara buka puasa bersama, di hadapan para sahabat lain, dia nyelutuk, “Sampeyan itu seharusnya sudah beli mobil, masak kalah sama Mas X. Itu artinya sampeyan ini tidak fokus pada bisnis. Lihat tuh Mas X, sudah punya rumah dan mobil. Masak kalah sama dia.”

Gila. Di hadapan banyak orang dia membandingkan satu sahabat dengan sahabat lain berdasarkan pencapaian materi. Saya dan si Mas X yang jadi obyek perbandingan hanya bisa melongo. Nggak nyangka saja dia secara terbuka bilang begitu. Lantas, apa dia sudah punya mobil? Nggak. Dia punya rumah? Nggak juga, masih ngampung di mertua. Aneh saja mengukur dan mengomentari orang lain berdasarkan ukuran materi yang dia sendiri belum punya.

Orang kayak begini tipikal penebar racun persahabatan. Dia mengkomparasikan pencapaian dua sahabatnya, secara frontal, di hadapan para sahabat lainnya. Dia berusaha menularkan watak materialistisnya berdasarkan sangkaan terburu-buru. Ada obsesi dalam pikirannya, yang tidak mampu dia capai, dan kemudian dipakai menilai kesuksesan para sahabatnya. Padahal, alur kesuksesan dan kebahagiaan pada setiap orang berbeda-beda.

Ada dosen yang belum punya mobil, tapi dia mengejar karier akademiknya yang gemilang. Dia bahagia dengan pilihannya. Ada juga pegawai yang menunda punya mobil karena belum butuh dan dananya dipakai membeli sawah untuk tambahan nafkahnya, yang tentu saja kadang tidak dilihat sahabat lainnya. Ada juga yang menunda kebahagiaan materinya dengan cara mendahulukan biaya pendidikan anak-anaknya. Dia “berpuasa materi” demi buah hatinya. Dan, kelak, ketika dia “berbuka puasa materi”, dia lebih sigap membeli materi, maupun menambah aset pribadi yang dia wariskan kepada para buah hatinya.

Di dunia maya juga ada. Saya putuskan unfriend saja. Nirfaedah. Nggak kenal, tapi sok akrab dengan mengomentari beberapa hal yang bagi saya sensitif, atau menularkan jalan pikiran beracun. Mengapa saya anggap beracun? Saya cek, ketika saya dan para sahabat lain di FB mengunggah barang dagangan, yang dia tulis di kolom komentar, alih-alih mendukung, malah menebar racun. “Barang begini kok dijual. Ecek-ecek”, “Upload terus, nggak laku-laku kayaknya nih”, “Kasihan, nggak ada yang minat”, juga “Up…Up…Up… biar ada yang nengok. Mesakne nggak payu-payu”, dan komentar sengak lain, adalah yang saya ingat dari komentarnya di lapak dagangan para sahabat FB-nya. Bukan hanya satu orang yang dia komentari begini, melainkan hampir semua. Setidaknya ini yang saya jumpai.

Gila, nih! Mungkin maksudnya guyon tapi tetap saja melanggar etika. Dan, setahu saya, dia juga nggak pernah membeli dagangan sobatnya. Lantas, mengapa harus berteman di FB dengan model manusia begini. Unfriend saja.
Saya lebih asyik berteman dengan beberapa orang yang bisa memahami sahabat lainnya, baik dalam pilihan jalan hidupnya, atau dalam hal yang remeh temeh. Saya suka melihat Kakak Tamvan Yunan Anshory yang walaupun seringkali posting lucu-lucu di lapak FB-nya, tetapi ketika ada sahabatnya yang sedang sakit, atau sedang berduka, dia selalu serius–setidaknya ini yang saya cermati–menyampaikan belasungkawa, atau menuliskan kalimat simpatik. Salut sama kakak tamvan!

Satu musuh terlalu banyak, seribu sahabat masih terlalu sedikit, tapi dalam menjalin hubungan persahabatan ada aspek manusiawi yang saling berkorelasi. Ada unsur penghormatan dan saling memahami, juga saling menukarkan dan menularkan energi positif. Jangan sampai teracuni oleh watak negatif, pikiran pesimistik, dan unsur yang bisa merobohkan prinsip kita dan keasyikan kita menjadi sahabat yang baik bagi lainnya.

Dari tulisan di atas, pertanyaan pentingnya adalah: siapakah nama kakek Doraemon?