Terbentur, Terbentur, dan Terbentuk: Sebuah Proses Menjadi Guru Inspiratif (Bagian 1)

RumahBaca.id – Saya tidak begitu paham wayang. Tapi saya suka beberapa ceritanya, baik carangan maupun pakem. Di antaranya, carangan berjudul Bimasuci alias Dewaruci, kisah pencarian hakikat jati diri yang dilakoni Bima; serta tentang Ekalaya, salah satu pakem Mahabarata.

Baik Bima maupun Ekalaya adalah tipikal murid yang taat kepada gurunya. Apesnya, keduanya sama-sama punya guru yang kharismatik namun culas. Namanya Guru Durna alias Resi Drona. Dengan licik, menjelang Baratayudha, Resi Durna meminta agar Bima mencari air kehidupan, baik di gunung maupun menyelam ke dasar samudera.

Perintah ini hanya akal-akalan Resi Durna agar Bima tewas dalam melaksanakan titahnya. Sebuah konspirasi jahat, tentu saja. Tujuannya, agar kekuatan Pandawa susut karena Bima telah berkalang tanah. Sayang, siasat licik ini gagal. Bima selamat. Bahkan Sang Werkudara ini berjumpa dengan dewa kerdil, Dewaruci, seukuran telapak tangannya. Liliput yang berwajah dirinya, dan sebenarnya merupakan hakikat dari jati diri Bima yang sebenarnya. Dialog antara Bima dengan Dewaruci ini yang menjadi titik tumpu cerita. Silahkan cari di YouTube, saya suka sekali bakti Bima sebagai murid, maupun dialog “berat”nya bersama Dewaruci.

Murid lain, Ekalaya, adalah jagoan yang punya kemampuan memanah yang baik. Dia bersaing dengan Arjuna. Sayang, Resi Durna lebih memilih Arjuna, yang berasal dari kaum priyayi, dibanding dengan Ekalaya, yang berasal dari kasta rendahan. Ekalaya terusir, tapi dia tetap berlatih memanah. Dia membuat patung serupa Resi Durna. Setiap kali berlatih memanah, dia menyembah patung itu. Ekalaya juga meminta restu kepada patung yang dia buat dari jejak tanah Resi Durna itu. Baginya, ini adalah wujud ketakziman seorang murid kepada guru.

Di kemudian hari, Resi Durna terkejut mengetahui kemampuan memanah Ekalaya yang semakin baik. Khawatir bakal menyaingi kemampuan murid kesayangannya, Arjuna, Guru Durna kembali bersiasat licik. Dia tahu jika Ekalaya senantiasa menghormatinya sebagai guru, walaupun dia pernah mengusirnya. Karena itu, Resi Durna meminta bukti loyalitas Ekalaya sebagai murid. Caranya, harus memotong ibu jari tangannya. Bukti kepatuhan murid kepada guru. Ekalaya taat. Dia memotong jemarinya. Hilang sudah kemampuan memanahnya, sebab mustahil dia melesatkan anak panah tanpa ibu jarinya. Talenta Ekalaya hancur, karier Arjuna semakin melesat. Semua gara-gara kelicikan Resi Durna.

Untuk pemesanan buku, klik PESAN.

***

Bima dan Ekalaya adalah para murid yang ingin membuktikan cintanya. Sehormat-hormatnya. Namun sang guru, Resi Durna, malah berniat mencelakakannya. Sebagaimana Bima dan Ekalaya, banyak murid bertalenta harus “patah” karena ulah gurunya. Banyak dari mereka yang minder akibat ucapan pesimistik dari gurunya. Ucapan yang merendahkan martabatnya dan menghancurkan kepercayaan dirinya. Kalimat-kalimat teror yang mengguncang psikisnya.

Siswa yang tidak bisa matematika, misalnya, diteror sedemikian rupa karena gagal mengerjakan tugas. Ada pula siswa yang tidak mahir sains disebut tidak punya masa depan (padahal bakatnya di bidang musik). Ada juga yang tidak bisa ilmu nahwu, misalnya, kepercayaan dirinya jatuh karena gurunya bilang, “Madesu” alias Masa Depan Suram. Kutukan-kutukan yang disadari atau tidak bekerja di alam bawah sadar para siswa. Mereka lulus dari sebuah institusi pendidikan sembari membawa beban “kegagalan”, maupun memendam kesumat.

Menjadi murid itu sulit. Apalagi menjadi guru. Karena itu, di dalam Adabul Alim wal Muta’allim, KH. Hasyim Asy’ari memberi beberapa poin petunjuk: tips menjadi santri yang baik, juga tatacara menjadi guru yang baik. Ada 7 poin yang beliau sampaikan. Di antara hal yang paling penting bagi seorang guru, kata Kiai Hasyim, menata niat sebelum mengajar semata-mata hanya untuk mendapatkan rida Allah. Ini sulit, tentu saja. Tapi harus dilakukan, perlahan-lahan. Saran lain, guru harus bisa bersabar terhadap murid yang niatnya melenceng. Berat nian, gaes!

Okelah, jadi guru itu berat. Sulit. Tapi cerita Mahabharata di atas mengajarkan, kalau jadi guru harus bisa bersikap adil. Kepada diri sendiri maupun kepada murid. Jangan hanya karena tidak suka, maka murid dicueki. Jangan karena terlalu sayang, murid dimanja. Jangan karena terlalu menganggap diri kita pandai, lantas enggan belajar. Jangan sampai karena merasa telah pintar, akhirnya malah enggan menjawab “saya tidak tahu”. Jika tahu, jawablah. Jika tidak tahu, bilang apa adanya. Toh kalimat ini tidak akan meruntuhkan derajat dan kemuliaan seorang guru.

Menjadi murid juga tidak kalah berat. Sebagaimana Bima dan Ekalaya, mula-mula harus menata hati. Merendah, sebab, sebagaimana watak air, ilmu tidak akan pernah mengalir ke tempat yang lebih tinggi. Bima dan Ekalaya adalah murid yang menundukkan jiwanya di hadapan guru, menata etika terlebih dulu sebelum belajar hal baru, dan senantiasa menata lelaku penghormatan kepada resinya. Karena itu, Bima memperoleh kekuatannya justru ketika hendak dijerumuskan oleh gurunya, dan Ekalanya mengembangkan potensinya justru setelah diremehkan dan diusir oleh gurunya. Menjadi murid yang baik itu sesulit menjadi guru yang baik. Yang mudah itu menjadi papan tulis. Hehehe.

Mengapa saya kutip cerita pewayangan di atas di Kata Pengantar buku ini? Sebab, sebagaimana judul buku yang ada di tangan pembaca, Menjadi Guru Inspiratif Era Digital, proses menahbiskan diri menjadi guru yang baik itu tidak mudah, apalagi menjadi guru inspiratif, yang bisa menggerakkan orang lain, khususnya murid, di dalam menjalani kehidupan. Jangan sampai kita menjadi Resi Drona yang licik, yang menghambat pertumbuhan potensi muridnya, karena tujuan jangka pendek.

Menjadi guru inspiratif memang tidak mudah, namun proses jangka panjang bisa menjadikan diri kita pendidik yang baik bagi para siswa. Guru yang bukan saja mengajar, melainkan mendidik, memahat jiwa dan mengukir akhlak muridnya, sekaligus memahami karakter murid dan melejitkan potensinya.

Kita berutang contoh pada karakter H.O.S. Tjokroaminto. Dia mendidik para remaja di kos-kosan miliknya. Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso, Kartosoewirjo, adalah para remaja yang dia tempa di sudut rumahnya di Surabaya. Kelak, kita tahu, para muridnya ini menjadi bagian dari para pejuang yang, walaupun berbeda ideologi, ikut mewarnai perjalanan bangsa ini. Jadi, nasionalisme Indonesia bisa dikatakan tumbuh di kos-kosan sempit di Peneleh, Surabaya, tempat kakek buyut Maia Estianti itu menempa para kadernya.

Di sudut lain, ada Syaikhona Kholil Bangkalan. Seorang ulama yang terkenal keramat dan menjadi guru banyak ulama. Sebagian besar jaringan murid yang beliau bina menjadi ulama pejuang bangsa, bahkan menjadi pahlawan nasional: KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahab Chasbullah, KH. As’ad Syamsul Arifin, dan sebagainya.

Baiklah, kita memang bukan para raksasa ilmu yang secara ideal berhasil menempa kader-kadernya sesuai dengan potensinya masing-masing, tapi minimal dengan berkaca pada sosok-sosok inspiratif seperti Butet Manurung di komunitas Suku Anak Dalam di Jambi yang tergambar melalui Sokola Rimba (2013), matematikawan Anand Kumar dalam Super 30 (2019), maupun Erin Gruwel dalam Freedom Writers (2007), atau para tokoh rekaan seperti Ram Shankar Nikumbh dalam film Taare Zamen Par (2007), Naina Mathur dalam Hichki (2018), Gita Rani dalam Raatchasi (2019), maupun John Keating dalam film klasik Dead Poet Society (1989).

Dengan berbagai tokoh di atas, nyata maupun rekaan, kita memerlukan inspirasi menjadi guru yang baik. Karena ada unsur “menjadi”, maka dibutuhkan proses, tidak instan, bukan sim salabim, tidak kun fayakun. Ada proses di dalamnya, baik internal, melalui peningkatan kualitas diri; maupun eksternal, melalui interaksi dengan orang lain. Dengan cara —meminjam istilah Tan Malaka—terbentur, terbentur, lalu terbentuk.

*Ditulis untuk Pengantar Buku “Menjadi Guru Inspiratif di Era Digital” (2021)