Sebuah Proses Menjadi Guru Inspiratif (Bagian 2)

Oleh Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Kencong Jember

RumahBaca.id – Ketika disodori naskah ini oleh Masyhari, M.H.I, editor buku “Menjadi Guru Inspiratuf di Era Digital” ini, dan sekaligus diminta memberi Kata Pengantar, tanpa pikir panjang, saya mengangguk. Ada beberapa alasan mendasar saya ikut menyumbang tulisan dan sekaligus mengiyakan permintaan Masyhari untuk menulis sekapur sirih.

Walaupun diberi tajuk guru inspiratif, tulisan di buku ini bukan melulu tentang sosok berpakaian rapi bersepatu yang mengajar di kelas. Guru di sini lebih luas cakupan maknanya. Termasuk bagaimana orangtua “terpaksa” menjadi guru bagi anak-anaknya saat pandemi melanda akibat aturan sekolah daring. Beberapa orangtua menuliskan pengalaman beserta tips menyiasati tantangan gres ini dengan beragam cara yang inovatif dan mengasyikkan.

Untuk pemesanan buku DI SINI.

Jika ditelaah lebih dalam, alur dalam buku ini bisa diskemakan menjadi beberapa aspek. Pertama, kegelisahan terhadap arah pendidikan di tanah air. Resah karena ada gap menganga antara teori dan praktik. Antara ajaran dan realisasi yang jomplang. Juga kendala dan tantangan berikut solusi yang ditawarkan. Hal ini bisa kita cermati dalam tulisan Yadi Suryadi dan M. Mufti AW Pulungan. Termasuk tulisan Ari Yoseva yang mengulas kemajuan pendidikan di Finlandia yang asyik.

Kedua, serpihan ilmu parenting yang kita dapatkan melalui tulisan Evy Aldiyah, Rijal Mumazziq Z, Siti Duriyah, Masyhari, Yayuk Kurniawati, dan Yudha Kusumawati. Jika anak berprestasi, orangtua biasanya menepuk dada dengan bangga bahwa itu adalah hasil didikannya. Kalau anak bandel, orangtua menyalahkan para guru. Menuduhnya tidak becus dalam mendidik anak. Ortu lupa kalau pendidikan itu bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah. Karena itu, melalui tulisan bertema parenting yang disisipkan dalam buku ini, kita bisa mematut diri, bahwa fondasi terpenting pendidikan ada di rumah, sedangkan sekolah merupakan pilarnya. Tidak bisa dipisahkan. Keduanya berkorelasi erat. Kondisi rumah merupakan pembentuk awal karakter siswa. Sedangkan sekolah menjadi pemahat jiwanya. Keduanya manunggal, tidak bisa dipisahkan.

Ketiga, tema dalam buku ini segar. Revolusi Pendidikan yang terjadi karena Corona-19, yang mengubah metodologi pengajaran, pola relasi orangtua-anak atau orangtua-guru, atau bahkan guru-siswa, juga pada polarisasi yang timbul akibat pembelajaran daring, turut menjadi tema asyik yang diperbincangkan dalam buku ini.

Semenjak orangtua lebih aktif mendampingi proses pembelajaran buah hatinya di era pandemi ini, mereka lebih paham permasalahan yang ada pada diri anaknya. Juga pada komitmen menjadi teman yang baik bagi buah hatinya. Di buku ini, tidak kita jumpai paparan teori yang melangit. Ada banyak orangtua yang membagi tips remeh temeh tapi sangat, sekali lagi sangat, penting bagi pembentukan karakteristik anak-anaknya. Misalnya, artikel yang ditulis oleh Mualim, “Siapkah Orangtua Menjadi Guru dan Teman Bagi Anak?”, juga “Strategi bagi Orangtua agar Belajar Daring di Rumah Tidak Garing” yang ditulis Eni Ratnawati, dan beberapa kolom lain seperti karya Jadiaman Sipayung. Relevan dan “menggigit” banget. Tema ini segar, mengandung kebaruan, karena ini pola pembelajaran baru yang dihadapi orangtua, guru, dan siswa di era pandemi. Jika sebelumnya banyak orangtua hanya pasrah kepada guru, maka semenjak Covid-19 melanda, banyak hal yang harus dipelajari agar pembelajaran terasa menyenangkan dan tidak membosankan di rumah.

Keempat, buku ini juga menyajikan tips menjadi guru yang inovatif. Hal ini bisa kita jumpai dalam tulisan Setioningsih, Yayuk Kurniawati, Susiana, Asih Widiastuti, dan Sri Fazaroh, Ari Yoseva, dan Ati Latifah. Mereka berangkat dari data, disandingkan dengan teori, lantas disodorkan dengan beragam pengalaman pribadi. Jadi memang disajikan berdasarkan kenyataan, bukan pada teori yang muluk-muluk.

Kelima, tips singkat menjadi pribadi tahan banting dalam musim pandemi. Tidak perlu menyesali kondisi, atau bahkan memaki takdir, sebab yang dibutuhkan hanyalah pilihan sikap; menjadi sosok lemah yang hanya mengeluh dan menggerutu, atau menjadi pribadi tangguh dengan ragam inovasi yang ada. Keduanya pilihan. Tinggal ambil salah satunya. Kalau bermental lemah, maka hanya bisa mengeluh, mencari kambing hitam lantas mengurutkannya menggunakan teori konspirasi yang seringkali tidak terbukti; atau terus bergerak, berkreasi dengan berbagai inoivasi yang ada. Yang terakhir ini bisa kita jumpai dalam tulisan Ari Yoseva dan Layya Azzahwa, tips pembelajaran daring dengan nyaman seperti yang ditulis Ayi Bachtiar Maksum, Jamroh, Syaukah, Alfiyah Faizah Dwiyanti, Siti Qowiyah Jamil Qomala, Anisa Suhada Putri, dan Heru Prasetyo.

Akhirnya, kita paham, menjadi Menjadi Guru Inspiratif Era Digital, sebagaimana judul buku ini, merupakan sebuah pilihan. Dan, sebagai konsekuensi memilih, maka harus siap menjadi sosok yang tahan banting, inovatif dan kreatif, hingga pada akhirnya berlabuh pada identitas “inspiratif”!
Wallahu A’lam Bisshawab

* Ditulis sebagai Kata Pengantar buku “Menjadi Guru Inspiratif di Era Digital”