Seni Mendongeng: 19 Cerita Anak Indonesia di Tengah Era Gawai

Saya selalu terngiang dengan sosok Sukab yang diimajinasikan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam cerita-ceritanya. Di dalam satu cerita pendeknya, Sepotong Senja untuk Pacarku, pembaca mengerti betul kutipan: “Sudah terlalu banyak kata di dunia ini Alina, dan kata-kata, ternyata, tidak merubah apa-apa. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain.”

Tentu saja, para pembaca tak sedikit kemudian mengada-ada dalam mengontekstualisasikan di kehidupan nyata. Kita tak berhak menyalahkannya, toh jalan bacaan dari keberadaan sastra bisa jadi bekal bahan refleksi dunia yang fana ini. Hanya saja, kita akan sedikit menampik seiring berkata tegas bahwa kata di dunia ini tetap perlu dan penting. Lebih-lebih adalah bagi anak-anak.

Pembuka itu sengaja saya sajikan untuk mengantarkan bahasan sebuah buku berjudul 19 Cerita Anak Indonesia (Diomedia, 2022) garapan Murti Bunanta, Mudji Sutrisno, Iksaka Banu, dkk. Saya membaca di tengah beberapa hari orang-orang bersiap untuk menyemarakkan peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Saya membaca buku sembari mengobrol dengan seorang bapak berumur kisaran 60 tahun.

Mumpung bulan Agustus, saya iseng membuka obrolan akan ingatannya tentang peringatan kemerdekaan. Ia teringat masa kecilnya bahwa lomba-lomba dengan diikuti anak-anak pada zamannya sangat berkesan ketimbang katakanlah ia refleksikan di zaman ini. Ia merasa banyak menemukan hal bebeda. “Sekarang boro-boro anak tertarik, Mas. Mereka lebih asyik bermain dengan gawainya,” ucapnya.

Baca juga:  Mengenang Masa Kecil: Ngaji Turutan

Kata “gawai” dalam perkataan itu membawa perdebatan panjang akan bagaimana zaman harusnya maju dalam memakna, malah mundur. Alih-alih terperhatikan orang tua dengan pola asuhnya, konon kondisi permintaan anak yang harus dipenuhi semua kemudian terturuti oleh orang tua. Maka, tak mengherankan guyonan di zaman sekarang ini bermunculan, bahwa yang terkadang mengasuh anak itu teknologi dengan kedigdayaannya. Bukan orang tua.

Situasi itu mengingatkan keberadaan cerita maupun dongeng yang pernah ada masanya menjadi kesadaran kolektif dalam pola asuh orang tua terhadap anak. Situasi serba tanya justru terus menjadi-jadi sampai hari ini. Saya teringat salah satu edisi buku kumpulan artikel psikologi yang pernah termuat di Majalah Intisari. Kumpulan artikel itu diterbitkan menjadi sebuah buku Kumpulan Artikel Psikologi Anak (1999). Kecemasan akan masa doneng juga tersampaikan.

Penjelasan di dalam buku di artikel Mendongeng Itu Perlu: “Pada zaman serba canggih dan praktis sekarang ini, tradisi mendongeng untuk anak-anak sudah tergusur, termasuk oleh membanjirnya informasi dalam dunia komunikasi yang berkembang cepat. Sepanjang hari mereka dihadapkan pada beragam acara TV, mereka bisa beralih ke permainan yang tak kalah mengasyikkan, video game, misalnya. Padahal, kegiatan mendongeng sebenarnya bisa tetap memikat dan banyak manfaatnya bagi anak-anak.”

Beralih ke buku 19 Cerita Anak, pembaca dibawa masuk dengan pengantar dari Kurnia Efendi. Ia membuka dengan lagu Taman Kanak-Kanak gubahan A. T. Mahmud, meski kemudian dirinya terlalu cepat mengatakan kalau belum tentu lagu itu kendati ternyanyikan, belum tentu imajinasi taman sebagaimana dalam lagu termiliki anak Indonesia. Kurnia kemudian mengetengahkan faktor sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada pertumbuhan anak.

Baca juga:  Mengenal Buku Pendidikan NU Terbitan Tahun 1979

Kita kemudian tergerak melihat asal mula hadirnya buku. Rupa-rupanya buku adalah proyek bersama setelah buku pertama berjudul Berkelanan Lewat Buku. Kita hutang rasa kepada semua penulis akan pamrihnya dalam memberi perhatian pada cerita anak. “Ada cerita dengan tokoh hewan, kisah realis berbumbu mimpi, keceriaan anak-anak dalam dunia persahabatan dan pendidikan, juga upaya memberikan pelajaran melalui peristiwa” (hlm. ix).

Halaman demi halaman terbaca dengan seksama dan selalu mengajak untuk masuk ke dalam cerita. Kita menemukan kisah pentingnya empati dan saling menolong antara satu dengan lainnya. Cerita berjudul Krisna Si Anak Baru yang mengisahkan seorang Krisna barup pindah di sekolah baru namun selama dua minggu belum ada teman sekelas yang mendekatinya. Ia merasa kesepian. Suatu kali ketika menuju ke sekolah menjumpai teman sekelasnya bernama Toto.

Lantas, ia kemudian menanyakan kejadiannya dan kemudian memberi pertolongan. “Sesampainya mereka diklinik sekolah, petugas kesehatan merawat Toto dengan baik. Krisna tak mau beranjak pergi sampai tahu bahwa Toto dalam keadaan baik” (hlm. 35). Perbuatan baik Krisna bersambut baik ketika sebelumnya teman-teman sekelasnya menganggap aneh akan keberadaannya. Namun, satu kebaikan mengubah segalanya. Semuanya saling mengerti dan menaruh penghormatan dalam kehidupan bersekolah.

Kisah lain tak kalah menarik adalah cerita berjudul Beragam Teman, Beragam Festival garapan Danny I. Yatim. Lewat cerita itu kita akan mengerti bahwa perbedaan yang ada pada tiap diri baik itu suku, agama, hingga ras tak menjadikan perpecahan. Justru, itu malah menjadi kesadaran untuk berbagai peran dalam mewujudkan persatuan. Selama kita memahami orang lain dengan kebaikan yang bisa dilakukan, kenapa harus memandang dengan hal yang negatif, bukan?

Baca juga:  Namaku Asher Lev: Pergolakan Iman Pelukis Besar Yahudi

Arkian, kita tanpa pandang umur karena buku itu tidak ada batas umurnya sebagaimana tersebut memiliki hutang rasa. Kita perlu bahagia dan menyambut dengan hadirnya buku yang mengangkat cerita anak tersebut. Cerita demi cerita tak sebatas membawa diri pada ingatan demi ingatan, namun juga bekal dalam menjalankan hari demi hari di perubahan zaman. Buku itu juga sebagai pemandu, bahwa bukan zaman yang perlu disalahkan, tetapi bagaimana kita semua menyesuaikan.[]

Judul              : 19 Cerita Anak Indonesia

Penulis            : Murti Bunanta, Mudji Sutrisno, Iksaka Banu, dkk.

Penerbit         : Diomedia

Ukuran           : 14,5 cm x 20,5 cm; xiv + 134 Halaman

Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Juni, 2022

https://alif.id/read/joko-priyono/seni-mendongeng-19-cerita-anak-indonesia-di-tengah-era-gawai-b245039p/