Sadio Mane dan Auman Nianthio

Istilah “terpencil”, bagi jurnalis Oliver Kay (2019), tampaknya tak cukup untuk menggambarkan sebuah desa kecil dengan populasi 2000-an jiwa yang terletak di tepi sungai Casamance, bernama Bambali.

Koordinat Bambali berada di sisi barat daya kota Dakar, dengan jarak tempuh 7 jam perjalanan darat dari ibukota Senegal itu. Bila beruntung, rute dapat dipangkas dengan penerbangan menuju bandara kecil di Ziguinchor. Meski dari situ masih diperlukan waktu tempuh sekitar 2,5 jam berkendara guna mencapai Bambali.

Sebagaimana dicatat oleh Oliver Kay dalam artikel panjang Sadio Mane, The Pride of Bambali, dari Ziguinchor ada dua jalur potensial. Rute pertama, jalan berdebu dengan jebakan lubang-lubang tak terduga melintasi hutan sebelum naik feri dari Ndieba ke Marsassou, lalu melanjutkan perjalanan melalui lebih banyak lagi area hutan. Setiap beberapa mil, laju kendaraan akan diperlambat oleh kambing atau keledai yang lepas liar.

Rute kedua lebih cepat, bertolak ke arah timur laut di Jalan Raya Trans-Gambia sebelum turun ke selatan. Di sepanjang jalan, akan tampak kios-kios yang menjual buah atau arang, pakaian atau alat-alat listrik listrik, atau pot bunga dari logam. Rute ini akan melintasi kota kecil Sedhiou, tanah kelahiran mantan penyerang Newcastle United, Papiss Cisse.

Rute manapun yang diambil, setengah jam sebelum tiba di Bambali, medan tempuh akan berubah menjadi jalan tanah yang di kiri-kanannya terhampar ladang jagung atau pisang, dan satu-satunya moda transportasi yang terlihat hanya gerobak petani yang dihela keledai. Sesekali akan tampak rumah warga yang sebenarnya lebih tepat disebut gubuk. Tapi di sebagian besar gubuk-gubuk pinggir jalan itu terpampang poster besar berisi foto bintang sepakbola dunia, Sadio Mane. l’enfant de Bambali, le fier de toute une nation (Anak Bambali, Kebanggaan Seluruh Bangsa), begitu kalimat yang tertera di bawah foto penyerang prolifik Liverpool FC itu.

Orang-orang Bambali menghormati Sadio dengan sebutan Nianthio. “Dalam dialek Senegal selatan, nama itu berarti singa dan pejuang,” kata salah satu saudara sepupu Sadio. “Ketika kami mengingat Sadio Mane, kami mengatakan Nianthio. Dia adalah singa. Dia pejuang. Seperti singa, seperti pejuang. Dia akan berhasil, tak peduli apa yang menghalangi jalannya.”

Hari itu, Ibrahim Toure, salah satu paman Sadio, memandu Oliver Kay untuk dapat menyaksikan jejak masa kecil sang megabintang. Dari properti utama yang terasa masih baru (tempat keluarga besar Sadio menerima tamu-tamu dari jauh), Ibrahim menunjuk sebuah gubuk reyot di sebelahnya.

Pada saat yang bersamaan, kawanan sapi tampak sedang merumput di ladang yang tak jauh dari gubuk itu, begitu juga kawanan kambing yang berseliweran di jalan tanah sekitar gubuk. Properti reyot yang diperlihatkan Ibrahim itu hanyalah replika dari rumah masa kecil Sadio, sebagai monumentasi dari masa-masa sulit saat Sadio tumbuh hingga remaja. Sementara properti aslinya sudah berubah menjadi bangunan permanen berlantai dua. Dapat diduga pembangunan itu berlangsung setelah Sadio berhasil menggapai impian sebagai pesepakbola kelas dunia.

“Sadio berasal dari keluarga sangat-sangat miskin,” tegas Ibrahim. “Ayahnya meninggal ketika ia masih muda dan keluarganya tidak punya uang. Ia dibesarkan di rumah seperti itu, bersama ibu dan saudara perempuannya.” Ibrahim kemudian menunjukkan ladang tempat Sadio muda bekerja di pertanian keluarga. “Setiap hari sepulang sekolah, ia harus pergi ke ladang untuk bekerja. Kami berharap ia menjadi petani, mengolah tanah,” katanya. Sebagai yatim dari ayah yang selama hidupnya berkhidmat sebagai imam masjid di Bambali, selain bekerja di ladang, Sadio tentu tidak mungkin lalai dari shalat dan pelajaran mengaji.

Namun, jika mengikuti ingatan Ibrahim Toure tentang masa kecil Sadio, tegas ia mengatakan bahwa Sadio tidak sungguh ingin menjadi petani. Sebab, ia telah menendang bola di sepanjang jalur berdebu desa miskin Bambali. Ia lebih cepat, lebih terampil, lebih baik dari siapa pun di desa itu. Ketika timnya bermain melawan orang-orang dari desa lain, bakatnya sangat menonjol. “Ia lebih baik dari semua orang,” kata teman masa kecil Sadio, Bacary Diatta, “bahkan dari mereka yang lebih tua darinya. Masih terngiang-ngiang di kuping Ibrahim, ketika Sadio kecil berkata; Saya tidak akan menjadi petani. Saya akan menjadi pesepakbola profesional.

“Paman saya tidak ingin saya bermain bola karena menurutnya sekolah lebih penting. Segalanya menjadi rumit karena dia tidak menyukainya,” kisah Sadio dalam film dokumenter Sadio Mane; Made in Senegal (2020) karya Mehdi Benhadj Djilali, Peta Jenkin dan Jermain Raffington. Film itu menggambarkan Sadio kecil bermain bola di jalanan dengan benda-benda apa saja, termasuk jeruk bali dan batu karena bola tidak tersedia. Di Bambali, julukan Sadio adalah Ballonbuwa atau si penyihir bola. Ketika Senegal mencapai perempat final Piala Dunia 2002, usia Sadio baru 10 tahun. Bintang-bintang timnas Senegal seperti Aliou Cisse, Khalilou Fadiga dan El Hadji Diouf menjadi idolanya. “Itu era sepakbola Senegal yang paling epik,” kata Sadio.

Baca juga:  Siti Badilah Zubair, Feminis Awal di Muhammadiyah

Pencapaian anak-anak Senegal masa itu terus mendorong kemauan keras Sadio untuk terus menggiring bola di lapangan berlumpur desa Bambali. Menurut penuturan Luc, sahabat sesama anak Bambali, Sadio mengidolakan Ronaldinho, tetapi juga menyuka Elhadji Diouf, dan itulah yang mendorong mereka untuk terus bermain bola. Kepada Luc, Sadio pernah bilang: Suatu hari, saya akan berada di level mereka, sebagaimana dikutip Ciaran Varley (2020) dalam Sadio Mane: Made in Senegal-five things we learned from the documentary.

Kepada Ibrahim Toure, Oliver Kay menyuguhkan dua versi cerita tentang awal mula keberangkatan Sadio ke Dakar guna mengadu peruntungan di akademi sepakbola pada usia 15 tahun. Versi pertama, kepergian yang disertai restu ibu dan pamannya. Sementara versi kedua lebih dramatik sebagaimana yang banyak dikutip media, bahwa Sadio pergi diam-diam alias melarikan diri dari Bambali, berjalan kaki sangat jauh, lalu naik bus untuk waktu tempuh 7 jam perjalanan menuju ibukota Senegal itu.

“Ia melarikan diri dari Bambali,” tegas Ibrahim sambil tertawa. “Sadio pergi diam-diam, tanpa memberi tahu siapa pun. Berjalan sangat jauh, kemudian naik bus ke Dakar.” Kejadian itu membuat ibunya sangat khawatir.

Dua bulan kemudian, paman dan ibunya pergi ke Dakar dan membawa Sadio pulang. Bagi ibu dan keluarga besar Sadio, keinginan keras untuk menjadi pesepakbola itu sulit. Bagaimana mungkin seorang bocah dari desa miskin Bambali menjadi pesepakbola? Itu tanda tanya besar yang menjadi sumber kecemasan Ibu dan paman Sadio.

Namun beberapa bulan kemudian, dalam situasi yang serba meragukan kemauan keras itu sekali lagi Sadio menegaskan; “Saya ingin menjadi pesepakbola. Saya percaya, saya bisa menjadi bintang. Saya ingin menunjukkan kepada kalian bahwa saya bisa melakukannya.” Dari situlah bermulanya perjalanan si Ballonbuwa yang sesungguhnya. Ibu, paman dan saudara-saudaranya merasa tidak bisa lagi menghalangi jalan Sadio muda. Setidaknya mereka telah memberi Sadio kesempatan untuk mencoba. Sadio benar-benar pergi dan tidak lagi benar-benar melihat ke belakang.

“Ada banyak pemain muda berbakat di seluruh Senegal, di seluruh Afrika,” kata Ibrahima Diarra, mantan pelatih klub papan atas Senegal, Casa Sport. “Mereka bermimpi pergi ke Eropa dan menjadi profesional.” Di Bambali, sepakbola tidak terorganisir. Bahkan di Ziguinchor, begitu minim sumber daya. Kami mungkin memiliki 50 anak laki-laki, tapi hanya ada dua atau tiga pelatih. Bola itu mahal. Ada lapangan sintetis di stadion, tapi sebagian besar lapangan adalah pasir. Itu sebabnya banyak anak-anak Bambali yang ingin mengadu peruntungan di dunia sepakbola harus pergi ke Dakar. “Dalam dirinya (Sadio), saya melihat kualitas pemain tingkat atas. Kecepatan, dribbling, dan kemampuan menembus pertahanan lawan,” kenang Jules Boucher, mantan gelandang Senegal, yang saat itu menjadi pelatih Génération Foot.

Di Dakar ada beberapa akademi sepakbola yang menonjol, seperti Sacre Coeur, Diambars, dan Generation Foot. Sacre Coeur memiliki kemitraan dengan Lyon, sementara Generation Foot bermitra dengan FC Metz. Anak-anak yang bergabung di akademi itu bukan hanya dari Dakar tapi dari seluruh Senegal, juga dari Gambia dan Guinea-Bissau. Hanya dua-tiga anak setiap tahun yang berkesempatan untuk pergi ke klub-klub di Prancis. Sebagian besar kembali lagi ke daerah masing-masing. Sadio salah satu dari sedikit anak muda yang terpilih untuk bermain di Metz.

Bagi remaja Afrika mana pun, pindah ke kota di Prancis utara akan menjadi kejutan budaya yang besar. Pun bagi Sadio. Teman-teman di Bambali mendengar kabar bahwa karena begitu senangnya Sadio bisa berada di tempat latihan sepanjang sore bahkan kadang-kadang hingga larut malam. Bukan hanya karena keinginan untuk meningkatkan kemampuannya, tapi karena ia menyukai para staf di sana.

“Saya ingat satu pertandingan melawan Jura Sud pada November 2011. Cuaca sangat dingin dan berkabut sehingga Anda tidak dapat melihat 20 meter di depan. Pertandingan itu hampir dibatalkan,” kenang Gaetan Bussmann, mantan bek Metz sebagaimana dikutip Alison Ratcliffe (2022) dalam He’s building a hospital, a school and a mosque–Sadio Mané’s incredible journey. “Mane yang sebelumnya duduk di bangku cadangan masuk ke lapangan. Kami tidak bisa melihat lawan dengan benar, kami hanya berkata, berikan bola ke Sadio. Kami ingin ia menggiring bola melewati lawan dan mencetak gol.” Sadio tidak mencetak gol pada akhirnya, tapi ia telah menyebabkan kekacauan, hingga akhirnya Metz menang dengan skor 2-1.

Baca juga:  Belajar Memuliakan Tamu dari Kiai Maimoen Zubair

Setengah musim di Metz tidak meninggalkan catatan yang gemilang bagi Sadio. Ia hanya mencetak satu gol dan satu asis dalam 19 pertandingan, Metz pun terdegradasi ke kasta tiga Liga Prancis di ujung musim. Meski begitu, Sadio dipanggil pulang ke Senegal untuk bergabung dengan timnas U-23 yang akan berkompetisi di Olimpiade London 2012.

Ketika itu, Mane berhasil membawa Senegal U-23 lolos fase penyisihan grup, sebelum tersingkir lewat babak tambahan waktu di perempat final melawan Meksiko. Sadio ngeri sendiri ketika presiden klub memberitahu bahwa mereka telah menerima tawaran dari Red Bull Salzburg untuk dirinya. “Presiden mengatakan kepada saya, lihat, mereka menawarkan € 4 juta,” kenang Sadio. “Jadi saya tidak punya pilihan.” Sebagai anak baru di klub profesional Eropa, Sadio merasa Metz adalah rumah barunya dan ia tidak ingin pergi. “Hari itu, saya menangis seperti anak kecil,” kata Sadio

Bagi Roger Schmidt, pelatih RB Salzburg waktu itu, Sadio adalah pemain impian. Ia bukan saja memiliki kemampuan teknik yang mumpuni, tapi juga etos kerja tinggi dan mau berkorban demi tim. Pada musim perdananya bersama RB Salzburg, ia mencetak 19 gol dan 10 asis dalam 29 pertandingan. Sepanjang kariernya bersama RB Salzburg, Sadio telah melesatkan 45 gol dan 32 asis dalam 87 laga. Ia sukses mengawinkan trofi Liga Austria dan Piala Austria. Kegemilangan itulah yang membuat ia beroleh tempat di hati fans Salzburg. Pergi kemanapun ia di kota itu, orang-orang akan menyapa dan memeluknya. Ia telah menjadi bagian dari keluarga besar klub elit Austria itu dengan pencapaian yang membanggakan.

Di kancah kompetisi paling panas sejagat, English Premier League (EPL), setelah resmi mengenakan jersey Southampton dengan nilai transfer £11,8 juta, Sadio mencetak rekor hat-trick tercepat (176 detik) dalam kemenangan 6-1 atas Aston Villa pada 2015. Sadio menandatangani kontrak dengan Liverpool FC pada tahun 2016, dengan bandrol £34 juta. Ia berperan besar dalam mencapai final UEFA Champions League (UCL) berturut-turut pada 2018 dan 2019, dan memenangkan yang terakhir. Ia juga finish sebagai pencetak gol terbanyak di EPL musim 2018-19, dan memenangkan Premier League Golden Boot. Sadio dan kawan-kawan mengakhiri puasa gelar Liverpool selama 30 tahun dengan menjuarai EPL 2019–20. Pada Oktober 2021, Sadio mencetak golnya yang ke-100 di EPL dan ternobat sebagai pemain asal Afrika ketiga yang mencapai tonggak sejarah tersebut.

Di level internasional, Sadio telah mencatatkan 33 gol dalam 91 penampilan untuk Senegal sejak debutnya pada 2012, dan kini menduduki peringkat sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa negaranya, dan ketiga dalam penampilan sepanjang masa. Dia mewakili Senegal di Olimpiade 2012, serta Piala Afrika edisi 2015, 2017, 2019 dan 2021. Di turnamen 2019, Sadio membawa Senegal menjadi runner-up, dan ia dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Afrika tahun itu.

Di final 2021, Sadio mencetak gol kemenangan dalam adu penalti untuk memberi Senegal gelar Piala Afrika pertama mereka. Dan, yang paling mutakhir, Sadio dan kawan-kawan membawa timnas Senegal ke piala dunia Qatar 2022, setelah drama adu pinalti yang akhirnya menyingkirkan Mesir, tim yang dibela oleh teman seiringnya di Anfield; Mohamed Salah.

Simon Brundish, seorang ilmuwan olahraga, telah mempelajari alasan dominasi Liverpool dalam enam tahun terakhir, dan ia menempatkan Sadio Mane di antara lima finisher teratas dunia. “Ia bisa berhenti dan memulai lebih cepat dari siapa pun yang pernah saya lihat,” kata Brundish kepada CNN Sport. “Tingkat konversinya 28%, itu bahkan lebih baik dari Lionel Messi dalam performa terbaiknya,” tambah Brundish. Direktur StrengthLab itu juga mengatakan, Mane dapat disejajarkan dengan legenda sepak bola Inggris Gary Lineker dan Alan Shearer dan juga pemain Bayern Munich, Robert Lewandowski.

Baca juga:  Soekarno, Tan Kiem Liong, dan Makan Siang Kiai-Kiai

Data dan statistika yang memetakan kegemilangan Sadio sebagai bintang sepakbola dunia tak sekadar meringkas kejayaannya dalam angka-angka di atas kertas. Apalagi kalau hanya sekadar nominal gaji yang biasa dibanding-bandingkan netizen dengan angka gaji superstar lain. Adapun yang sudah cukup lama menjadi perhatian adalah kesahajaan hidup untuk ukuran pesepakbola dengan pendapatan miliaran per minggu. Sekali waktu seseorang secara tak sengaja melihat telpon pintar di tangan Sadio. Layarnya retak, cashing-nya tampak sudah lusuh. Setelah kabar tentang layar ponsel yang retak itu tersebar, seorang sahabat sesama pemain Liverpool menghadiahi Sadio sebuah ponsel seri terbaru buatan Amerika.

Tak hanya itu, pernah pula beredar video amatir yang merekam aktivitas Sadio sedang membantu seorang teman membersihkan toilet di masjid Al Rahma di Toxteth, Liverpool. Tentang viralitas video itu, Abu Usamah Al-Tahabi, imam setempat, sampai membuat pernyataan yang disampaikan pada BBC, bahwa “Sadio meminta agar tidak ada video yang dikirim.” Menurut keterangan Abu Usamah, sadio melakukan itu tidak untuk publisitas.”Dia bukan orang yang mencari keriuhan. Tak ada kesombongan,” tambahnya.

Lebih kurang lima menit berjalan kaki dari rumah masa kecil Sadio, ada sebuah bangunan bernama Lycee Moderne Bambali. Gedung sekolah dua lantai dengan ruang kelas besar dan fasilitas pengajaran modern. Gedung itu dibangun pada 2018 dengan biaya 152 juta Franc Afrika Tengah (sekitar £200.000), yang seluruhnya berasal dari kocek pribadi Sadio. “Ia membangun ini,” kata Ibrahim Diatta sebagaimana dikutip Oliver Kay. “Bukan dengan tangannya, tapi dengan kakinya. Ia ingin membangun sesuatu untuk masyarakat Bambali.” Di sebuah tikungan desa Bambali, berdiri pula sebuah rumah sakit, yang dilengkapi dengan bagian perawatan bersalin. Banyak media melaporkan bahwa rumah sakit yang diresmikan pada Juni 2021 itu telah menghabiskan biaya sebesar €530.000, berasal dari kantong pribadi Sadio yang disumbangkan pada otoritas kesehatan daerah setempat.

“Adik saya melahirkan di rumah karena tidak ada rumah sakit di desa kami. Itu situasi yang sangat menyedihkan bagi semua orang. Saya ingin membangunnya untuk memberi harapan kepada orang-orang,” kata Sadio seperti dikutip Taiwo Alimi (2022) dalam Sadio Man: My dream is to win all the trophies.

Hari-hari menjelang deal antara Liverpool dan FC Bayern Munchen untuk transfer Sadio, sebuah akun twitter @africafactzone menggunggah daftar sumbangan kemanusiaan Sadio di tanah kelahirannya dengan judul yang fantastis; Sadio Mane is transforming his village to a town, mulai dari rumah sakit, gedung sekolah, bantuan rutin bagi keluarga miskin, layanan internet 4G, hingga stasiun pengisian bahan bakar, dengan nilai ratusan milyar.

“Saya sudah pernah merasakan kelaparan, saya juga pernah bekerja di ladang. Saya bermain sepak bola tanpa alas kaki. Tapi kini, dengan apa yang saya peroleh melalui sepakbola, saya dapat membantu orang-orang saya. Saya tidak perlu memajang mobil mewah, rumah mewah, apalagi pesawat terbang. Saya lebih suka orang-orang saya menerima sedikit dari apa yang telah diberikan kehidupan kepada saya,” kata Sadio.

Begitulah Nianthio, singa Afrika itu, yang sejauh-jauhnya mengembara melintasi benua, ke tanah asal juga ia bakal berpulang. Ketika superstar bola melakukan perjalanan liburan akhir musim ke pulau-pulau jauh dengan jet pribadi dan segala keberlimpahan dan kemewahan yang jadi makanan empuk media-media global, Sadio malah mudik ke Bambali, bermain bola bersama anak-anak desanya di lapangan tanah, dan tentu tak lupa memeriksa apa lagi kira-kira yang belum terjamah oleh tangan dinginnya di Bambali dan sekitarnya. Dalam hiruk pikuk selebrasi kemenangan, Sadio tidak banyak berbicara, dan kesannya ia ingin menghindar dari kejaran media.

Ia juga sangat jauh dari gosip-gosip tentang mobil mewah, helikopter pribadi, istri dari kalangan model tersohor sebagaimana gaya hidup superstar bola lainnya. Sadio bebar-benar menempuh laku Nianthio, singa yang diam. Tapi sekali mengaum di Eropa, gaungnya terdengar sampai ke Bambali, Senegal. Auman Singa itu bagai menjaga saudara-saudara dan orang-orang di tanah kelahirannya, dari ancaman kepayahan hidup dan kemiskinan akut.

Layar retak ponsel Sadio bagai terus menampilkan notifikasi tentang orang-orang yang kesusahan di Bambali, hingga ia akan kembali bekerja keras untuk menyelamatkan mereka. Di FC Bayern Munich kelak, Sadio Mane mungkin akan semakin diam. Sebab, perkakas bahasanya bukanlah mulut, tapi sepasang kaki tangguh yang terus berkelebat di mulut gawang…

https://alif.id/read/damhuri-muhammad/sadio-mane-dan-auman-nianthio-b244217p/