Bahaya Crab Mentality

Oleh Rijal Mumazziq Zionis, Rektor INAIFAS Kencong Jember Jawa Timur

BEBERAPA kepiting diletakkan di sebuah ember. Ketika salah satunya hendak naik keluar dari wadah, alih-alih membantu dan saling bekerjasama, kepiting lain malah mencapit dan menariknya ke bawah lagi. Terus demikian hingga tiada satu pun dari kawanan binatang itu bisa keluar.

Crab Mentality, demikian sebutan bagi mental kepiting ini. Pengidapnya selalu tidak suka pencapaian orang lain. Jika ada sahabat yang sukses, dia menilainya negatif. Iri dengki. Berlanjut ke ghibah, lantas fitnah. Bahaya. Pengidapnya menukarkan pikiran negatifnya ke sesama. Jika berteman dengan model begini ya kudu hati-hati.

Di lingkungan bisnis masih ada kok mental begini. Jika ada warung ramai, nyaris ada isu pesugihan. Kalau kedainya sepi, tanpa mengkoreksi dan instrospeksi kebersihan, manajemen, promosi dan komunikasi, pemilik lebih mudah menuduh kalau ada pesaing yang ingin menjatuhkan usahanya. Sihir begini memang ada, saya tidak menampik. Tapi seringkali asumsi negatif dibangun berdasarkan kesimpulan sembrono.

Di kota, khususnya di organisasi, perusahaan, atau birokrasi, sebaliknya. Asumsi mistik minim, tapi anggapan kalau si “punya orang dalam”, “pintar cari muka”, “nyogok atasan”, dll. kerap muncul.

Pemicu isu begini punya mentalitas kepiting. Dia nggak mau orang lain lebih hebat dari dirinya. Dia merasa tersaingi, terkalahkan, lantas tersingkirkan. Rasa inferior yang ditutupi dengan asumsi negatif yang ditularkan ke jaringan pertemanannya atau lingkungannya. Di lingkungan kuliah, mahasiswa A mengajak temannya membolos agar nilainya sama-sama jeblok. Di wilayah pekerjaan, seseorang menjegal kawannya agar karirnya buntu. Di level lain, ada banyak penyandang mentalitas begini. Sengaja menghalangi kesuksesan orang lain. Kalaupun tidak berhasil, dia selalu menilai negatif terhadap keberhasilan kawannya.

Berkaitan dengan mental busuk ini, saya teringat fabel bikinan Aesop, filsuf Yunani. Ada seekor serigala yang menginginkan anggur ranum. Dia ingin meraihnya, meloncat, gagal. Meloncat gagal lagi. Dia mengelilingi tanaman anggur, duduk istirahat, berusaha kembali. Tapi gagal. Tak cukup tinggi loncatan tubuhnya meraih buah yang dia idamkan. Pada akhirnya, dia menyerah. Dia membangun pendapat dalam benaknya, kalau anggur tersebut tidak matang, tapi masam. Semata-mata menghibur diri atas kegagalannya.

Serigala pulang. Berjumpa dengan kawanannya. Dia bercerita tentang anggur ranum yang dia temui. Tapi, dia bilang, kalau anggur yang gagal diraih tidak manis-masak, tapi asam. Kecut. Sembari memberi peringatan, tak usah berusaha, sebab kalaupun bisa dipetik, rasanya nggak enak.

Serigala berpikir, jika dia gagal, maka kawanannya juga harus gagal. Tiji Tibeh, Mati Siji Mati Kabeh, dalam falsafah perang Jawa. Pikiran negatif dia tularkan dan dipercayai oleh kawanannya. Akibatnya, tidak ada yang berhasil. Pikiran busuknya menjalari mentalnya dan dia tularkan ke sesamanya.

Akhirnya, saya ingat kalimat indah dalam “Unleash Your Inner Power with Zen: 50 Kisah Zen untuk Memaksimalkan Potensi Diri“, kurang lebih: Berhati-hatilah dengan pikiranmu, karena ia akan menjadi ucapanmu; Berhati-hatilah dengan ucapanmu karena ia akan menjadi tindakanmu; Berhati-hatilah dengan tindakanmu karena ia akan menjadi kebiasaanmu; Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu karena ia akan menjadi karaktermu dan; Berhati-hatilah dengan karaktermu karena ia akan menjadi takdirmu.

Wallahu A’lam Bishshawab