Kiai Abdul Wahab Ahmad: Kesalahan Konsep God of The Gaps

Laduni.ID, Jakarta – Salah satu pemikiran ateisme adalah menganggap bahwa konsep Tuhan itu hanya untuk mengisi celah (gaps) yang tidak bisa atau belum bisa dijelaskan oleh sains. Misalnya ketika sains belum bisa menjelaskan tentang petir, pergerakan benda langit, penyakit, dan segala macam hal, maka dimunculkanlah ide bahwa itu semua adalah kehendak Tuhan, ciptaan Tuhan atau bukti kemahahebatan Tuhan. Namun ketika berbagai fenomena alam itu telah diungkap oleh sains, maka secara otomatis ide tentang Tuhan tidak lagi berlaku di sana. Dengan kata lain, semakin sains mampu menjawab misteri alam, maka celah ketidaktahuan itu semakin mengecil dan posisi Tuhan pun semakin tergerus.

Konsep seperti di atas disebut God of The Gaps atau dengan kata lain Tuhan dari celah ketidaktahuan. Intinya, di mana ada ketidaktahuan manusia, maka di situ orang beragama menghadirkan sosok Tuhan, padahal tinggal menunggu waktu ketika sains secara perlahan akan menutup celah itu dengan berbagai penjelasan empiris. Konsep ini secara langsung menganggap orang beragama sebagai orang bodoh yang bisanya menggunakan “Tuhan” sebagai jawaban atas ketidaktahuannya.

Konsep ateisme ini sebenarnya hanya delusi para ateis yang memang tidak memahami nalar agama. Tuhan dalam agama tidak diposisikan dalam gaps sebagaimana yang mereka katakana, tetapi dalam semua hal, baik itu yang sudah diketahui mau pun tidak. Saya ambil contoh paling gampang soal ini, yakni tentang kematian.

Sejak zaman jadulnya jadul, ketika sains modern bahkan belum terpikirkan oleh makhluk di planet ini, semua orang tahu bahwa tusukan belati di jantung seseorang akan menyebabkan kematian. Orang di semua zaman tahu betul bahwa kerusakan jantung itulah yang menyebabkan orang yang ditusuk tadi mati. Namun di saat pengetahuan ini sudah maklum bersama, agama muncul dengan ajaran bahwa yang memberikan kematian adalah Tuhan, dan orang beragama meyakini itu. Artinya, dalam hal yang sudah sangat jelas pun secara sains Tuhan tetaplah diyakini punya peran signifikan.

Dengan demikian, salah besar mereka yang mengira bahwa Tuhan hanya menempati gaps ketidaktahuan manusia. Yang benar adalah Tuhan dalam agama diposisikan sebagai aktor yang ada di balik semua kejadian yang terlihat. Sains hanya membahas wilayah empiris yang terlihat dan terindera, sedangkan agama membahas keyakinan untuk apa yang ada di balik wilayah sains tersebut. Jadi, sampai kiamat pun sains dan agama sebenarnya tidak dapat dipertentangkan sebab keduanya berada di wilayah yang betul-betul berbeda.

Ketika seseorang berjualan atau diberi uang oleh tetangganya, tetaplah diyakini bahwa rezeki yang didapat itu adalah pemberian Tuhan, bukan pemberian pembeli atau pun tetangga tadi. Tokoh yang terlihat dalam proses itu (pembeli atau tetangga) hanya diyakini sebagai perantara sedangkan di balik mereka ada Tuhan yang telah mengatur segala-galanya.

Demikian juga ketika seorang bayi dilahirkan, siapa sih yang tidak tahu bahwa itu adalah akibat pertemuan sperma dan sel telur orang tuanya? Meskipun tahu, tetap saja orang beragama meyakini bahwa bayi tersebut ciptaan Tuhan dan bisa hidup dengen kehendak Tuhan.

Mau sebanyak apa pun sains menjelaskan fenomena alam, agama tetap tidak akan goyah sedikit pun sebab kepercayaan pada Tuhan sama sekali tidak bergantung pada temuan sains. Agama dan sains tidak akan berbenturan dan tidak relevan dibenturkan sebab keduanya mempunyai ranah kajian yang berbeda meskipun beririsan.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/73272/kiai-abdul-wahab-ahmad-kesalahan-konsep-god-of-the-gaps.html