Di antara Perempuan Urban dan Lelaki Bersurban: Menulis Novel di Indonesia Awal 2000an

Mungkin gambar hitam putih Mahfud Ikhwan dan janggut
Oleh Mahfud Ikhwan, Penulis Tinggal di Yogyakarta

RumahBaca.id – Bagi kebanyakan pengarang Indonesia, tak ada tempat di Indonesia yang lebih baik untuk memulai menulis melebihi tempat saya mulai menulis novel pertama. Saya pikir juga demikian. Sayangnya, terutama untuk novel seperti yang hendak saya tulis, saya memulai di waktu yang tidak tepat.

Utan Kayu, Jakarta, 2004. Di situ, di kompleks perkantoran kecil dan sesak–yang di dalamnya terdapat gedung teater, galeri seni, kantor berita, perpustakaan, toko buku kecil yang menyenangkan, juga kantor jurnal sastra paling dihormati di Indonesia–tempat saya bekerja selama tak kurang dari delapan bulan, di sanalah saya mulai proyek itu. Di sana saya bisa melihat orang-orang hebat di sastra Indonesia dalam sekali pandang saja. Dari penyair terbesar, kritikus terhebat, redaktur sastra paling disegani, para prosais paling dibicarakan, semua ada di sana.

Saman-nya Ayu Utami (terbit 1998) menang Sayembara Novel DKJ beberapa bulan sebelum Reformasi ’98, namun gemanya terus membesar hingga tahun-tahun itu. Ia dibicarakan di kelas-kelas prosa saat saya kuliah Sastra, dibedah di seminar-seminar, dipuji di diskusi-diskusi kecil, sementara beberapa teman berusaha menyelesaikan tesisnya tentang novel itu. Dan penulis itu seringkali hanya berselisih satu meja dengan saya di kantin kantor, atau bahkan beradu siku di antrean perpustakaan. Di meja yang sama, atau di meja lain, saya juga sering melihat Linda Christanty. Tahun itu ia jadi yang terbaik di Khusala Sastra Khatulistiwa lewat Kuda Terbang Maria Pinto (2004), sebelum kemudian mendominasi berbagai penghargaan sastra di Indonesia sedekade ke depan.

Utan Kayu, dengan Jurnal Kalam-nya, adalah kiblat sastra Indonesia saat itu. Identik dan didominasi para penyair laki-laki, bagaimana pun, di awal 2000an para prosais perempuanlah yang jadi representasi mereka. Dan, dari segi apa pun, para prosais perempuan memang sedang mendominasi sastra Indonesia. Selain Ayu dan Linda, orang juga ramai membicarakan Nukila Amal dan Dinar Rahayu, keduanya novelis, juga dikaitkan dengan Utan Kayu. Di luar mereka, ada Djenar Maesa Ayu, Dee Lestari, Fira Basuki yang sedang merajai toko-toko buku. Juga Dewi Sartika, Abidah El-Khalieqy, Ratih Kumala, nama-nama yang mendominasi penghargan Sayembara Novel DKJ 2003.

Mereka semua perempuan dan secara umum bisa dianggap urban—beberapa kritikus koran dengan sedikit melecehkan menyebut mereka sebagai sastra wangi. Dan bagi seorang aspiran novelis laki-laki dengan latar belakang rural macam saya, mereka semua terlihat mengancam. Karakter bocah desa yang ada di kepala saya, yang tumbuh bersama desanya yang berubah akibat gelombang migrasi ke luar negeri karena gagalnya program pemerataan ekonomi Orde Baru, tampak tak memiliki masa depan. Baik di toko-toko buku maupun di diskusi-diskusi sastra.
*
Selama bekerja di Utan Kayu, saya tinggal di sebuah kamar sewa di Gang Mede, berjarak kurang dari 300 meter dari kantor. Saya agak terlambat tahu bahwa di ujung gang, tak sampai 200 meter dari saya tinggal, terdapat kantor Ummi Grup.

Para snob sastra Indonesia mungkin tak mengenal Gang Mede sebaik mereka tahu Utan Kayu, tapi ini adalah situs penting bagi generasi Islam baru perkotaan yang tumbuh di masa-masa akhir Orde Baru, generasi yang beberapa tahun setelah Reformasi diidentikkan dan mengidentikkan diri dengan kebangkitan kembali Islam politik di Indonesia. Di kantor itu, diproduksi dua majalah islami yang laris luar biasa, Ummi dan Annida, dan menjadi titik pusat bagi kelompok penulis yang keanggotannya menyebar dan membesar sangat cepat, Forum Lingkar Pena (FLP). FLP tumbuh bersama penulis-penulis yang dengan bangga melekatkan label Islam pada diri dan karyanya, seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Afifah Afra (ketiganya perempuan dan punya kaitan dengan Annida). Tapi, saya rasa, momentum terbesar kelompok ini adalah munculnya nama penulis laki-laki bernama Habiburrahman El Shirazy, anggota FLP cabang Mesir, yang menerbitkan Ayat-ayat Cinta (2004), novel yang diklaim terlaris se-Asia Tenggara.

Secara personal saya punya sedikit kisah sentimentil dengan Annida. Mereka memuat dua cerpen saya di masa awal belajar menulis, ketika tak ada koran yang mau terima. Itu memberi saya kepercayaan bahwa saya bisa menulis. Tapi setelah dua cerpen itu saya putuskan berhenti mengirim cerpen kepada mereka. Sejak itu sepertinya jembatan yang menghubungkan kami sama sekali putus.

Tahu tempat saya tinggal hanya berjarak lima menit jalan kaki dari kantor Ummi/Annida, sempat terpikir untuk membangun kembali jembatan itu. Masalahnya, sejak memutuskan menulis novel, saya tak lagi becus menulis cerpen. Ketika terlintas ide untuk menulis cerita bersambung untuk mereka (yang 11 tahun kemudian terbit sebagai Kambing dan Hujan), saya sudah menghancurkan ide itu sendiri bahkan sejak dari judul.

Dengan atau tanpa sadar, sejak memutuskan berhenti mengirim cerpen ke Annida dan menolak ajakan menjadi anggota FLP, saya rasa saya sudah mengambil jarak dari sastra berlabel agama. Meski pernah di pesantren dan dibesarkan dengan norma agama ketat, sepertinya tak mungkin saya bisa menulis karakter sesempurna malaikat seperti tokoh-tokoh di Ayat-Ayat Cinta. Tokoh saya beragama Islam sebagaimana saya, namun, seperti saya juga, dan seperti kebanyakan orang Islam Indonesia, ia punya cacat-cela, ia tak sempurna.
*
Di sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang berjarak 45 menit dengan bus dari Yogyakarta, saya meneruskan penulisan novel itu. Setahun sejak pindah dari Jakarta, saya menjadi buruh yang bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore, enam hari dalam seminggu. Dalam suasana kantor penerbitan buku sekolah yang mekanik dan industrial, dengan mesin-mesin percetakan raksasa yang selama 24 jam menyala tepat di bawah kaki saya, berjarak dari dinamika sastra Indonesia di Jakarta maupun Yogyakarta, novel itu mengalami progres penting. Di kamar sewa yang dipenuhi oleh para buruh cetak, penata letak, penggambar ilustrasi majalah anak-anak, saya melampau bagian-bagian tersulit dari novel itu.

Bagaimana pun, tempat itu bukannya tak bisa diintrusi oleh perkembangan fiksi/sastra Indonesia. Beberapa teman kerja yang sehari-hari tak terlihat tertarik novel, lebih-lebih sastra, tiba-tiba berisik tentang “novel best seller” berjudul Laskar Pelangi (terbit 2005). Beberapa orang yang tahu saya sarjana sastra dan sedang menulis novel memaksa saya untuk membacanya; mereka ingin tahu pendapat saya.

Saya pun terpaksa membacanya. Tapi belum lagi dua bab, saya putuskan untuk berhenti. Bukan saja novel itu ditulis dengan sangat buruk, tapi terutama ia segera terlihat terlalu optimistik. Dan jelas karena alasan pasar, novel itu diiringi rumor bahwa ia ditulis berdasar kisah nyata. Itu jenis fiksi yang paling saya hindari. Dan novel yang sedang saya tulis sangat berkebalikan dengan semangat novel itu.

Tapi, tak seperti saya, pembaca Indonesia tampaknya sangat menyukainya.
*
Sekitar 2008, sebagai bagian dari pekerjaan, saya banyak berkeliling toko-toko buku di sekitar Yogyakarta dan terlibat beberapa penyelenggaraan pameran buku. Itu membuat saya tak bisa mengabaikan perkembangan perbukuan secara umum.

Tahun itu Ayu Utami menerbitkan novel barunya, Bilangan Fu, dan mendapat sambutan yang ramai, juga Kusala Sastra tahun itu. Tapi, bagaimanapun, itu adalah tahunnya Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi. Kedua fiksi laris itu difilmkan tahun itu, dan menciptakan fenomena industri buku (dan industri film) yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia mencipta tren fiksi (baik bentuk, isi, ideologi, bahkan kemasan), ratusan epigon, dan terutama generasi pembaca dan penulis baru. Dan karena itu, hingga beberapa tahun sesudahnya, novel-novel itu sangat mempengaruhi gerak industri buku di Indonesia—juga, kalau mau diakui, kesusastraan Indonesia secara umum.

Pada satu kesempatan, saya mendapati cetakan kesekian novel In The Name of The Rose dari Umberto Eco edisi Indonesia, dan menemukan gambar perempuan berkerudung pada sampulnya. Sebuah novel thriller berseting Gereja Abad Tengah dengan gambar sampul perempuan berkerudung? Saya teringat dengan sampul Ayat-ayat Cinta dan novel-novel el-Shirazy yang menyusul kemudian, dan novel-novel epigonnya, juga Maryamah Karpov, sekuel terakhir Laskar Pelangi yang terbit tahun itu juga. Lalu, saya teringat dengan novel saya sendiri, yang belum selesai. Dan tiba-tiba saya bergidik ngeri.

Pertengahan 2009, lima tahun sejak ditulis, novel pertama saya selesai. Sebulan kemudian, sebuah penerbit yang dikenal karena menerbitkan buku-buku prosais Seno Gumira Ajidarma menyetujui untuk menerbitkan novel itu. Saya sangat gembira. Namun, kegembiraan saya hanya sampai di situ. Ketika buku itu terbit di bulan November, mimpi buruk saya jadi nyata.

Novel saya, berjudul Ulid Tak Ingin ke Malaysia, sebuah bildungsroman tentang bocah lelaki yang menyaksikan desanya berubah seiring naik dan ambruknya Orde Baru, terbit dengan sampul bergambar perempuan berwajah murung, berkerudung, dengan tipografi judul menyerupai Laskar Pelangi, dan stempel “Based on true story” (dalam bahasa Inggris) yang terang-terangan. Semua keluhan dan masukan saya tak dipertimbangkan penerbit.
Selama dua tahun beredar, tak seorang pun membeli novel itu. Dan, saya kira, tak seorang pun juga membacanya.

Pada tahun 2012, ketika penerbit menyatakan memutus ikatan dengan novel pertama saya yang malang, dua tahun lebih cepat dari seharusnya, Leila Chudori menerbitkan Pulang, Laksmi Pamuntjak menerbitkan Amba, Okky Madasari memenangkan Kusala Sastra, dan Andina Dwifatma memenangkan Sayembara Novel DKJ. Habiburrahman El Shirazy akhirnya menyutradarai sendiri film dari novelnya yang kesekian, sementara Andrea Hirata menerbitkan Laskar Pelangi Book Song.

*Makalah untuk Konferensi Internasional Thai and Indonesian Writing in an Era of Conservative Redux, 6-7 Agustus 2021, di School of Political and Laws, Walailak University.

Bagikan tulisan ke: