Menulis Novel di Indonesia Awal 2000 (Bag. 2)

Mungkin gambar hitam putih Mahfud Ikhwan dan janggut
Oleh Mahfud Ikhwan, Novelis Tinggal di Yogyakarta

RumahBaca.id – Ide tentang Ulid saya pikir sudah menggelendoti saya, meski mungkin dalam bentuknya yang masih sangat samar, ketika saya menulis cerpen-cerpen bertema buruh migran dan Malaysia di kisaran tahun 2002. Dua cerpen di antaranya, “Mufsidin Dimakan Kucing” dan “Jin-Jin Tak lagi Sekolah” (dimuat di Jawa Pos Juli, 2003), saya masukkan dalam kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing (Buku Mojok, 2016). Ide tentang Ulid menjadi lebih mengental ketika saya menulis cerpen “Belajar Mencintai Kambing” pada pertengahan 2003, yang saya hadiahkan kepada seorang karib yang menikah cepat pada tahun yang sama. Di sebuah warung burjo di selatan RS Panti Rapih, beberapa waktu sebelum pernikahannya, teman itu bicara tentang “memilih yang dibutuhkan dibanding yang diinginkan”. Saya rasa, dari premis itulah saya menulis cerita seorang bocah yang akhirnya mencintai kambingnya meskipun pada awalnya menginginkan sepeda.

Tapi, boleh jadi, cerpen-cerpen itu hanya memantik apa yang selama bertahun-tahun berada di dalam kepala saya. Ia semacam rembesan air dari waduk yang penuh dan bergolak yang saya gembol sejak kecil dan tumbuh bersama saya. Pada banyak kesempatan saya mengatakan, saya memulai semuanya dari kegelisahan. Menulis adalah wahana yang bisa menjebolnya dan mengkanalisasinya. Jika saja yang saya bisa adalah menggambar, maka yang saya gambar adalah hal yang kurang lebih sama dengan yang saya tulis. Demikian juga jika saya bisa bermusik, atau menjadi sutradara, atau jenis kemampuan berkesenian lainnya. Jika saya tidak bisa melakukan apa pun untuk menyalurkan kegelisahan itu, hampir pasti saya akan jadi seorang penggerutu—seperti yang terjadi pada bapak saya.Menulis adalah sesuatu yang saya temukan di jalan, bukan yang saya cari sejak awal, apalagi menjadi tujuan dari awal keberangkatan. Kampus Bulaksumur menjadi tempat saya menemukan tanda. Unit pers mahasiswa kemudian memberi saya lebih banyak keterampilan menggalinya. Dan Jogja, sebagai sebuah rumah besar, membuat saya nyaman melakukannya.

“Lalu bagaimana dengan para penulis Jogja?” tanya seorang teman.

Jawabannya sangat pendek. Tapi saya mau mencoba menjelaskannya agak lebih panjang.


Sebagai mahasiswa baru di Kampus Bulaksumur akhir 90an, saya pasti beruntung mendapat dosen pembimbing akademik seperti (saat itu) Drs. Aprinus Salam, yang dikenal sebagai salah satu sastrawan Bulaksumur, dan beberapa cerpennya saya baca. Sayang, interaksi saya dengan Pak Aprinus sangat terbatas di urusan akademik saja, dan itu boleh dibilang hanya sesemester sekali. Kami nyaris tak bertemu di kelas dan perkuliahan. Pak Faruk sedang moncer-moncernya dengan tulisan-tulisan di Kalam, juga di buku-buku kritiknya yang tak berhenti terbit, namun saya tak punya kunci untuk membuka akses kepadanya. Satu-satunya akses yang saya punya, yaitu dengan mengikuti kuliahnya, saya lewati dengan cara sangat buruk. Dan, sebagaimana kebanyakan teman seangkatan, saya gentar dengan nama hebatnya. Prof. Rachmat Djoko Pradopo, lewat buku-buku teori kritiknya, adalah selebritas di fakultas-fakultas sastra di seluruh Indonesia, tapi ia juga seorang penyair Chairil-ian yang masih terus produktif di akhir 90an. Sayang, sejak awal saya sama sekali tak bisa menulis sajak dan tak tertarik menjadi penyair.

Maka, forum kepenulisan, juga interaksi dengan penulis, pertama yang saya alami dan ikuti pastilah saat angkatan kami mendatangkan para kakak angkatan yang jadi penulis untuk berbagi tips dan triknya. Saya lupa-lupa ingat, tapi saya pikir saat itu kami kedatangan Kiswondo, seorang cerpenis sekaligus aktivis, yang oleh para calon sarjana sastra lebih dikenal karena skripsi Gramschiannya atas novel Ajip Rosidi. Yang pasti saya ingat, acara itu juga mendatangkan Among Kurnia Ebo, seorang penulis koran yang produktif sekaligus wartawan aktif saat itu.

Saya mulai menulis cerpen-cerpen pertama saya di awal 1999. Itu bersamaan dengan ketika beberapa teman seangkatan dari berbagai jurusan yang tertarik menulis membuat kelompok menulis Akar Angin. Tapi tak ada penulis senior di sana, jadi kami nyaris belajar satu sama lain. Mungkin karena itu Akar Angin berumur sangat pendek.

Pada pertengahan tahun itu, cerpen saya masuk Sepuluh Besar Peksimida Yogyakarta. Untuk itu saya mendapatkan trofi plastik sangat besar serupa trofi juara bola voli agustusan. Dari sepuluh besar cerpenis, saya mengingat dua nama lain, yaitu Ahmad Syekhu dan Raudal Tanjung Banua. Saya pasti bertemu mereka di penerimaan piala itu, tapi sepertinya kami tak sempat berkenalan. Sampai sekarang.

Ketika pada tahun 2000 dua cerpen saya terbit di Annida, (Alm.) Nurul F. Huda, seorang kakak angkatan dari Sastra Arab sekaligus penulis Islami yang sudah sangat mapan namanya, mengajak saya ikut Forum Lingkar Pena (FLP). Saat itu saya enggan dengan alasan saya sudah tidak mengirim cerpen lagi ke Annida. Tapi bahwa saat itu saya mulai bergiat di pers mahasiswa boleh jadi adalah alasan lain yang tidak bisa diabaikan.

Apalagi, di tahun yang sama, Majalah Balairung, tempat saya berkegiatan sejak semester ketiga, membuat proyek dadakan bernama Kumpulan Cerpen Terpilih Balairung (KCTB), yang akan diterbitkan sebagai newsletter gratis bagi mahasiswa baru angkatan 2000. Saya ikut menyumbang cerpen dari kumpulan yang berjudul Tentang Rendez-vouz, Percakapan dan Mimpi itu. Selain dengan Nurul Aini dan Darmanto, dua teman seumuran yang punya asprirasi menulis fiksi, nama saya (saat itu saya memakai nama Mah-Hwan, nama yang juga saya pakai di salah satu cerpen di Annida) bersanding dengan Ugoran Prasad dan Eka Kurniawan. Saat saya masuk Balairung, Ugo, bersama Dirmawan Hatta (yang kemudian dikenal sebagai sutradara dan penulis naskah film yang sangat bagus) sudah menjadi sosok setengah dongeng, dengan naskah-naskah Garasi-nya dan band Melbi-nya, dan karena itu saya hanya mengenalnya dari kejauhan. Hal yang sama terjadi dengan Eka. Eka adalah senior jauh yang pendiam, yang lebih banyak kami bicarakan berkait karya-karya ilustrasinya di majalah edisi lama dan beberapa novel terjemahannya, meskipun Corat-Coret di Toilet sudah terbit di tahun itu.

Tahun 2001 cerpen saya terbit untuk pertama kalinya di Jawa Pos. Tapi itu adalah tahun jurnalistik alih-alih sastra. Selama setahun saya mengepalai koran kampus yang terbit sepekan sekali dan menulis kolom di situ setiap pekannya (di manakah kolom-kolom itu?). Untuk majalah, setelah terlibat secara intens membuat riset tentang dunia perbukuan Jogja yang membuat marah beberapa penerbit itu, saya kemudian mengerjakan liputan yang agak berat tentang hubungan sastra Indonesia mutakhir dan karakter kemaritiman kita, dan saya menggarapnya sendirian. Liputan ini membawa saya mengunjungi kantor Majalah Sastra Horison, dan sempat dimaki oleh penyair Hamid Jabbar karena menanyakan pendapatnya tentang Arus Balik-nya Pram. Pada edisi yang sama juga, saya menemani (Alm.) Anas AG mewawancarai Zawawi Imron. Tapi dua nama dan dua wawancara ini tak membekas lebih dalam dari sekadar sebagai anekdot saja.

Kira-kira 2002, tapi entah kapan persisnya, saya mendengar ada ramai-ramai tentang munculnya media sastra baru bernama On/Off di Jogja. On/Off muncul bersamaan dengan berdirinya Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY), yang dinaungi INSIST, bersama dengan program Beasiswa Penulisan Sastra. M. Anasrullah, teman dan senior jurusan tempat saya sering menginap dan meminjam buku, seingat saya menjadi salah seorang yang mendapat beasiswa tersebut. Seorang teman lain bernama Thowaf Zuharon, yang saat itu sangat produktif menulis cerpen dan sajak dan namanya sudah malang-melintang di media massa dan lomba-lomba tingkat nasional, juga di buku-buku antologi, terlibat di dalamnya. Lewat Thowaf, saya pernah menerbitkan satu cerpen di On/Off. Lewat Thowaf juga saya banyak mendengar gosip tentang aktivis yang kemudian jadi penulis bernama Puthut EA.

Thowaf mungkin adalah aspiran penulis yang paling terang jalannya di antara kami. Selain produktif, Thowaf juga pandai bergaul, tak seperti saya yang malas bepergian dan tak selalu nyaman ketemu orang. Selain berkawan dengan Puthut EA, ia juga kemudian saya dengar sering mengunjungi kos Eka Kurniawan. Ialah yang kemudian mengeditori novel pertama Eka, yang kita kenal sebagai Cantik Itu Luka.

Di antara kesibukannya bergaul dengan para sastrawan, Thowaf, bersama saya dan dua teman lain, Vero dan Darmanto, sempat membuat kelompok menulis (lagi). Lagi-lagi ini kelompok yang tak bertahan lama. Meski demikian, bagi saya kelompok ini agak punya bekas. Sebab, dari proses di kelompok inilah cerpen-cerpen saya yang sebelumnya ke-Seno-seno-an atau ke-Putu-putu-an menjadi lebih dekat ke apa yang kemudian saya pakai menulis Ulid beberapa tahun kemudian. Cerpen “Belajar Mencintai Kambing” merupakan hasil dari proses ini.

Selama skripsi, saya sering mampir ke sebuah kompleks kos-kosan padat bernama Wisma Bougenville, tempat banyak anak Sastra Indonesia UGM tinggal, baik yang senior maupun yang junior. Di sini tinggal M. Anasrullah (anggota AKY/On/Off, kemudian pendiri penerbit Liliput), Kenon Batubara (Dian Budaya, Teater Terjal, dan belakangan lebih dikenal sebagai cerpenis dan penulis naskah teater dengan nama pena Muram Batu), dan Imam Risdianto (penulis dan penerjemah cerita anak dan editor penerbit Bentang, yang beberapa tahun kemudian menjadi editor tiga sekuel Laskar Pelangi). Sesekali muncul juga Gunawan BS alias Mukri (editor Indonesia Tera dan majalah perbukuan Matabaca). Di kos-kosan ini saya menjadi saksi lahirnya Ben!, media sastra fotokopian dengan layout memanjang seperti buku absen. Saya ikut urunan fotokopian untuk edisi pertamanya sekaligus menyumbang satu tulisan tentang Kuntowijoyo, yang merupakan ringkasan skripsi saya.

Ketika saya menyelesaikan skripsi pada 2003, hanya pernah menerbitkan kurang dari lima cerpen di media massa, dan yang saya kenal hanyalah Thowaf, dan senior-senior Sasindo yang bahkan belum lulus, saya pikir menjadi penulis adalah sesuatu yang masih terlalu kabur untuk saya.


Dengan CV pernah menjadi redaktur pelaksana majalah mahasiswa UGM, dan menulis beberapa laporan panjang, juga punya dua lembar kliping cerpen yang pernah dimuat di media massa, saya berpikir mungkin masa depan saya ada di jurnalistik. Namun tak ada perusahaan media yang tertarik dengan CV itu. Sebuah program pengawasan pemilu di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang akhirnya membawa saya ke Jakarta pada awal 2004.
Saya menyebut banyak sekali nama penulis yang bisa saya temui di Komunitas Utan Kayu pada makalah untuk Walailak University (dan bisa lebih banyak lagi jika saya sebut semua). Tapi apa yang membuat saya memulai menulis novel hampir pasti bukan mereka. Jika ada faktor eksternal yang mendorong saya, itu pasti karena banyaknya komputer tak terpakai di kantor tersebut.

Dengan komputer-komputer itu, saya kembali menulis cerpen. Mungkin karena waktu saya sangat melimpah, saya menghasilkan banyak cerpen dalam waktu singkat. Namun, tak satu pun yang berhasil saya naikkan ke media. Saat itulah kalimat-kalimat pertama untuk Ulid juga saya kerjakan.

Dari Jogja, saya mendengar bahwa Beasiswa Kepenulisan AKY dibuka lagi untuk tahun itu. Saya akan dengan senang hati kembali ke Jogja dan menulis novel bahkan jika beasiswa itu hanya sepertiga dari gaji kecil saya di Jakarta. Maka, ide tentang Ulid saya ubah jadi proposal yang berapi-api. Namun, saat pengumuman tiba, proposal itu tak nyangkut. Kisah Ulid sepertinya memang kurang “transformatif”, sebagaimana yang dicari AKY. Yang ikut masuk adalah proposal Vero, teman Balairung sekaligus teman belajar menulis saya, tentang kisah cinta berlatar perjuangan buruh Indorayon.

Pekerjaan saya di Utan Kayu selesai kurang lebih delapan bulan. Selama itu, selain teman-teman sekerja, saya hanya mengenal tiga orang dari tempat itu, dan kesemuanya bukan penulis. Sempat berpindah-pindah, numpang-lewat di kos teman, saya akhirnya kembali ke Jogja pada pertengahan 2005. Dari Jakarta, saya balik dengan membawa dua kardus buku dan dua draf novel yang masing-masing sepanjang 70an halaman. Dua bulan kemudian saya diterima sebagai karyawan Pustaka Insan Madani, imprint buku pelajaran islami dari Intan Pariwara, Klaten.

Seperti yang saya tulis di bagian sebelumnya, Klaten memberi saya tempat yang reklusif, yang menjauhkan saya dari hiruk-pikuk sastra, dari nama-nama besar menyilaukan seperti di Utan Kayu, juga dari apa-apa yang dibesar-besarkan di Jogja—meski Jogja hanya 45 menit saja dari Klaten, dan hampir setiap akhir pekan saya ke Jogja, menyewa film di rental-rental di sekitar di sekitar Sagan dan Jakal. Entah kenapa hal itu justru saya sukai. Dalam salah satu tulisan di Cerita, Bualan, dan Kebenaran, saya mengglorifikasi Klaten untuk diri saya sendiri sebagai kota kecil yang akan melahirkan karya besar. Dan, ya, Ulid memang tumbuh lebih cepat di Klaten.

Ketika tahun 2007 kantor kami pindah ke Jogja, saya masih bisa bertahan dengan reklusivitas tersebut. Rumah sewa saya di utara Bandara Adisucipto rasanya sangat jauh dari pusat-pusat kebudayaan di Jalan Suroto atau Jalan Mataram, apalagi dari Prawirotaman atau yang lebih jauh lagi. Sampai-sampai saya sangat terlambat tahu bahwa pemenang Sayembara Novel DKJ 2008, Anindita S. Thayf, adalah bekas teman sekantor.

Dalam kondisi seperti itulah, Ulid saya garap dan akhirnya selesai pada 2009. Dan kemudian terbit.


Akhir 2009, sebulan setelah Ulid terbit, Darmanto, yang saat itu masih berada di Siberut menelepon saya. Penggemar Manchester United dan Laskar Pelangi itu ikut senang teman SMA-nya akhirnya jadi novelis. Ia menanyakan apakah sudah ada acara diskusi diskusi untuk Ulid atau belum. Tentu saja jawabannya belum. Darmanto kemudian menyarankan saya menghubungi temannya yang bernama Cipto. Kata Darmanto, Cipto dan beberapa penulis di Jogja membentuk sebuah wadah bernama Parikesit, dan biasa mengadakan acara-acara sastra.
“Cipto siapa?” tanya saya saat itu.

Baru hari itulah saya mendengar ada cerpenis bernama Dwi Cipta.

Beberapa malam kemudian, saya bertemu Dwi Cipta untuk pertama kalinya. Saya memberinya satu eksemplar Ulid yang kuning itu, dan kami bersepakat Parikesit akan mengadakan acara diskusi tentang Ulid dalam waktu dekat.

Diskusi itu baru terlaksana sekitar tiga tahun kemudian, jauh setelah Parikesit bubar.

Bagikan tulisan ke: