Adil Terhadap Perempuan (5): Kampus Darurat Kekerasan Seksual

Beberapa waktu lalu, kita mendapatkam kabar baik dari Kemendikbudristek! Setelah sekian lama mendambakan hukum yang jelas bagi korban kekerasan seksual di kampus, akhirnya Kemendikbud mengeluarkan kebijakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi di Indonesia.

Alasan kebijakan ini diterapkan di Pendidikan Tinggi (DIKTI) karena permen PPKS ini hadir untuk memastikan terpenuhinya hak warga negara dalam mengakses pendidikan. Peraturan ini bertujuan memfasilitasi perlindungan warga negara berusia di atas 18 tahun, belum atau tidak menikah dan tidak terjerat sindikan perdagangan manusia, yang menjadi korban kekerasan seksual. Dan identitas tersebut banyak dimiliki oleh mahasiswa.

Namun, keberadaan Pemendikbud ini menuai pro kontra dikalangan masyarakat. Salah satunya Cholil Nafis ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam iNewsTV beliau mengatakan “semangatnya tidak ada yang salah, tapi muatan ini bisa kebablasan. Maksudnya tetap mau dipahami bulak balik juga makna kekerasan seksual disana ada jika dilakukan tanpa persetujuan salah satu pihak dan itu menyalahi norma pendidikan nasional kita, bahwa kita ingin menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa”.

Statementnya juga diperjelas dalam caption unggahan videonya di akun Instagram, yaitu “Norma kita bukan suka sama suka, tapi menjadi manusia yang beriman dan bertakwa” tegasnya! Unggahan tersebut banyak menuai komentar dukungan, seperti “kami dukung pak kyai, kawal terus”, “semangat menegakan kebenaran kyai, jangan sampai kemurkaan dilegitimasi” dan lain-lain.

Baca juga:  Ketika Mata Laki-Laki Bernama Imam Syafi’i Membaca Perempuan 

Merespon statemnet ini, Nadiem Makarim selaku Kemdikbud dalam iNewTV meminta agar Permendikbud tersebut tidak ditafsirkan diluar konteks dan parsial. Kemendikbudristek menegaskan bahwa peraturan tersebut fokus pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

Faqihudin Abdul Qodir seorang feminis muslim juga ikut merespon hal ini, dalam tulisannya yang diunggah di Mubadalah.id, menjelaskan bahwa Permendikbud ini secara khusus hanya mengatur tindak kekerasan seksual, bukan tindak asusila apapun. Sesuatu yang hanya mengatur suatu pidana tertentu, seperti kekerasan seksual, tidak bisa disebut menyetujui seks bebas atau zina yang jelas-jelas tidak diatur di dalamnya. Permendikbud ini hanya tentang pencegahan kekerasan seksual dan perlindungan korban.

Clear yah? Jadi Permendikbud ini hanya mengatur “Kekerasan seksual” saja, adapun urusan suka sama suka atau istilahnya “zina” itu urusan lain yang tentunya sudah ada peraturannya. Lagi pula dari pada terus berdebat prihal ini, mending fokus saja pada korban yang setelah sekian lama mendambakan peraturan ini.

Bagi saya, Permendikbud ini sangat dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual, karena sejauh ini belum ada peraturan yang spesifik merespon kasus kekersan seksual di kampus. Sedangan kampus dari sejak lama menjadi gerbong kekerasan seksual, kok bisa? Tentu bisa! Banyaknya relasi kuasa yang terjalin dalam kampus, misalnya relasi dosen dengan mahasiswa atau kakak tingkat dengan adik tingkat, dan lain-lain menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan tersebut.

Baca juga:  Zainab Istri Rasul yang Dermawan Hingga Akhir Hayat

Permendikbud ini sudah tepat keberadaannya, karena ternyata tidak hanya mengatur hukuman bagi pelaku saja, berikut adala spesifik lingkup yang diaturnya yaitu:

Pertama, langkah pencegahan kekerasan seksual di ranah pembelajara, tata kelola, dan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan perguruan tinggi.

Kedua, langkah penanganan laporan kekerasan seksual dari tata cara pembuatan satuan tuga khusus non-ad hoc (satgas) yang melibatkan mahasiswa, pendidik, dan tenagan pendidik, hinggapembuatan keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi untuk memulihkan korban dan menjatuhkan sanksi bagi pelaku yang berstatus mahasiswa, pendiidk, terdidik, atau warga kampus.

Ketiga, langkah peningkata keamanan kampus untuk mencegah berulangnya kasus kekerasan seksual dengan aturan pemantauan dan evaluasi berkala oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dan Kemendikbudristek.

Selain itu, Permen PPKS ini sangat perspektif korban, karena dasar keadilannya berbasis pada kepentingan terbaik korban, tentunya cara terbaik untuk mengetahui kepentingan korban dengan cara mengidentifikasi segala bentuk kebutuhan korban dan selalu meminta persetujuan korban atas langkah penanganan yang akan diambil.

Keberadaan Permendikbud ini mendapatkan respon yang baik dari Kementerian Pemberdaya Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Bintang Puspayoga selaku menteri PPPA menyatakan “saya mengapresiasi terbitnya Permedikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggia, kita melihat fakta bahwa kekerasa seksual di lingkup perguruan tinggi  nyata adanya dan kerap tidak tertangani dengan semestinya. Kekeran seksual merupakan bentuk kejahatan yang sangat keji dapat berdampak terhadap mental, fisik dan merusak masa depan korban”.

Baca juga:  Perbedaan Seks dan Gender

Jika terjadi tindak kekerasan seksual, kemana kita harus melapor? Berikut adalah caranya: (1) Mengunjungi portal Lapor http://kemdikbud.lapor.go.d/. (2) Mengirim suler ke pengaduan@kemdikbud.go.id. (3) Mengontak Pusat Panggilan di nomor 117. (4) Datang langsung ke kemendikbudristek Gedung C, Lantai Dasar, Jl. Jenderal Sudirman, Senayan – Jakarta, 10270.

Semoga dengan upaya terbentuknya Permendikbudristek ini menjadi pelantara bagi terciptanya kampus bebas dari kekerasan seksual.

https://alif.id/read/hnn/adil-terhadap-perempuan-5-kampus-darurat-kekerasan-seksual-b241244p/