Tiji Tibeh: Dampak Embargo Amerika terhadap Rusia

Oleh M Kholid Syeirazi, Sekjend PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama

Apa mungkin negara sekutu Amerika setuju dengan gagasan embargo produk energi Rusia? Gara-gara berseteru dengan Ukraina, Rusia sudah dijatuhi sanksi oleh Amerika dan sekutunya sejak 2014. Sejumlah NOC Rusia ditolak di pasar modal AS. AS juga melarang industri mereka mengekspor barang-barang modal untuk pengembangan proyek perairan dalam, lepas pantai Arktik, dan migas non konvensional Rusia. Tetapi, sisa-sisa kejayaan Uni Soviet belum sepenuhnya sirna. Rusia, diuntungkan dengan kekayaan hidrokarbonnya yang melimpah, tetap diperhitungkan. Sejumlah negara Uni Eropa bergantung kepada pasokan fosil Rusia. Sebut saja Jerman, Belanda, Perancis, dan Italia. Jerman mengandalkan 55 persen pasokan gas alam Rusia, 40 persen minyak, dan 50 persen batubara. Jerman tegas menolak seruan AS. Annalena Baerbock, Menlu Jerman, mengatakan, embargo akan membuat listrik-listrik di Jerman padam. Belanda dan Inggris senada. Mereka tidak bisa ujug-ujug memotong rantai pasok energi fosil Rusia, tanpa konsep substitusinya.

Rusia adalah pemilik cadangan minyak terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Arab Saudi. Produksi minyaknya, 10.5 juta bopd, ranking dua setelah Amerika. Untuk cadangan gas, Rusia ranking pertama, diikuti Iran dan Qatar. Produksi gas alamnya, 22.5 tcf, peringkat kedua setelah Amerika. Produksi minyak Rusia mendominasi pangsa ekspor Uni Eropa (48%) dan China (31%) (Grafik 1). Produksi gas Rusia membanjir pasar Uni Eropa (72%), dengan importir terbesarnya Jerman dan Italia (Grafik 2).

Setelah Rusia membombardir Ukraina, AS menggertak dengan sanksi yang lebih keras, yaitu embargo migas Rusia. Apa dampaknya? Pukulan dua arah, jika itu terjadi. Rusia kehilangan 49% pangsa ekspor minyak dan 72% pangsa ekspor gasnya ke Uni Eropa dan Amerika. Sebaliknya, Uni Eropa terancam krisis energi. Sejumlah negara Eropa bisa sekarat. Apa mungkin Amerika minta negara produsen lain menambal bolong suplai itu? Mungkin saja. Yang paling mungkin Arab Saudi. Apa cukup? Spare capacity produksi minyak Arab bisa digenjot di level 13 juta bopd. Berarti tidak cukup. Andaikata cukup, dengan membelokkan jatah alokasi, harga fosil akan melambung. Sebagian besar gas yang disalurkan Rusia ke Eropa melalui pipa. Hargnya efisien. Embargo produk fosil Eropa pasti akan membuat harga crude melambung gila-gilaan. Alexander Novak, Wakil Perdana Menteri Rusia, mengingatkan, harga crude bisa tembus US$ 300 per barel jika mereka serius mengembargo produk energi Rusia. Dunia akan krisis energi dan ekonomi.

Negara-negara importir, yang mengandalkan pasokan fosil impor, akan sekarat. Kita lihat Indonesia. Produksi minyak kita sekitar 700 ribu bopd. Konsumsinya 1.5 juta bopd. Gap produksi-konsumsi ditutup dari impor, dengan acuan harga pasar (WTI/Brent). Pemerintah tidak melepaskan sepenuhnya BBM dengan harga pasar. Ada tiga jenis BBM: JBT (Jenis BBM Tertentu), JBKP (Jenis BBM Khusus Penugasan), dan JBU (Jenis BBM Umum). Di atas kertas, hanya JBT, yaitu solar dan mitan, yang disubsidi. Tetapi, JBKP (Premium Ron 88) dan JBU (Perta series, Ron 92 ke atas) sebenarnya juga disubsidi, meski tidak secara langsung. Siapa yang menyubsidi? Pertamina! Dia tidak boleh menetapkan harga tanpa persetujuan pemerintah. Akhir 2021, melalui Perpres No. 117/2021, Pemerintah menyubsidi separo harga Pertalite. Bagaimana dengan Pertamax? Bonyok! Pertamina tekor habis-habisan.

Dengan liberalisasi bisnis retail BBM, publik punya perbandingan. Dulu, tiap kali menaikkan harga BBM, Pertamina langsung dituding inefisien. Tuntutan audit investigatif menggema di mana-mana. Kini kita punya pomba bensin asing dan swasta yang dimiliki Shell, AKR, Vivo, dan Total. Publik punya alternatif lain sebagai perbandingan. Pertamina membanderol harga jual Pertamax (Ron 92) senilai Rp 9000 per liter. Harga ini tidak pernah lagi disesuaikan sejak Februari 2020. Saat itu harga crude sekitar US$40 per barel. Saat ini harga crude terus merayap naik, dari US$60 per barel ke level US$90-100 per barel. Shell telah beberapa menyesuaikan harga BBM. Shell super (Ron 92), per Maret, dibanderol dengan harga Rp 12.990 per liter. AKR menjual BP 92 seharga Rp 12.500 per liter. Vivo menjual Revvo 92 seharga Rp 11.900 per liter. Berapa harga jual Pertamax? Tidak berubah. Tetap Rp 9.000-9.400 per liter. Pertamina hanya menaikkan harga Pertamax plus ke atas. Hitung saja sendiri akumulasi tekor jual rugi Pertamax. Hampir Rp 4.000 per liter, jika diperbandingkan dengan Shell.

Sekarang kita hitung risiko krisis energi dan ekonomi gara-gara Rusia berhadap-hadapan dengan NATO. Jika crude jebol di angka US$200 per barel, dunia menderita. Harga keekonomian BBM Ron 92 mungkin sekitar Rp 25.000 per liter. Pertamina pasti tidak sanggup menanggung beban subsidi tidak langsung, seperti sekarang. Pemerintah harus mengambil alih subsidi dengan mekanisme APBN. Apa sanggup? Pasti jebol. Kalau tidak sanggup, lepas ke pasar. Apa mungkin? Publik bisa ngamuk di tengah beban ekonomi yang belum pulih akibat pandemi. Maju mundur kena.

Skenario embargo yang dipropagandakan AS tidak akan terlaksana. Itu sama dengan tiji tibeh: mati siji mati kabeh. Mari kita berdoa agar besok bangun tidur dunia masih baik-baik saja.

Selamat Jum’atan.