Sejarah dan Filosofi Lebaran Ketupat dari Sunan Kalijaga

LADUNI.ID, Jakarta – Masyarakat di Indonesia khususnya di Pulau Jawa mengenal dua kali lebaran, yakni Lebaran Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Jika Idul Fitri diperingati pada tanggal 1 Syawal setiap tahunnya, Lebaran Ketupat diperingati pada tanggal 8 Syawal atau satu minggu setelah Idul Fitri.

Jika dilihat dari sejarahnya, beberapa sumber menyebutkan tradisi Lebaran Ketupat sudah ada sejak jaman Wali Sanga. Sunan Kalijaga, salah satu bagian dari Wali Sanga saat menyiarkan Agama Islam di tanah Jawa memperkenalkan dua kali lebaran yakni Idul Fitri dan Bakda Kupat.

Sunan Kalijaga saat itu membawa ajaran puasa enam hari di bulan syawal yang memang diajarkan untuk umat muslim.
Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkan enam hari di bulan Syawal maka baginya pahala puasa selama setahun penuh.” ( Hadis Imam Muslim )

Atas dasar itulah, Sunan Kalijaga memperkenalkan Puasa Syawal mulai tanggal 2 – 7 Syawal atau selama enam hari berturut-turut. Kemudian pada 8 Syawal orang-orang kembali merayakan lebaran yang disebut sebagai Lebaran Ketupat.

Ba’da yang dimaksud Sunan Kalijaga adalah ba’da Lebaran dan ba’da Kupat. Ba’da Lebaran dipahami dengan prosesi Shalat Idul Fitri 1 Syawal lalu dilanjutkan dengan tradisi silaturrahim saling berkunjung dan memaafkan kepada sesama muslim.

Sedangkan ba’da Kupat dimulai setelah seminggu Lebaran Idul Fitri. Sebagai penanda, masyarakat muslim Jawa biasanya membuat ketupat yakni sejenis makanan yang dibuat dari beras dimasukkan dalam anyaman daun kelapa muda (Janur) berbentuk kantong persegi empat, kemudian dimasak.

Setelah ketupat masak dan diberi lauk pauk ikan, telor dan daging serta diberi kuah bersantan, masyarakat kemudian membagi-bagikan kepada tetangga, kerabat keluarga terdekat serta orang yang lebih tua sebagai perlambang kasih sayang dan mempererat tali silaturrahim.

Filosofi dan Makna Ketupat

Dalam tradisi Jawa sebuah nama itu pasti mengandung arti yang dalam, termasuk kata Ketupat atau Kupat itu singkatan dari Ngaku Lepat (Mengakui Kesalahan) dan Laku Papat (Empat Tindakan).

Prosesi Ngaku Lepat diimplemantasikan dengan tradisi sungkeman yaitu seorang anak bersimpun memohon maaf dihadapan orang tuanya. Dari tradisi itu kita diajarkan supaya menghormati orang yang lebih tua dan memohon maaf serta meminta bimbingan serta ridhonya karena yang tua dianggap lebih berpengalaman dalam menjalani kehidupan. Begitupun sebaliknya yang tua akan mengasihi dan membimbing yang lebih muda.

Simbol tradisi sungkeman atau meminta maaf itu berupa ketupat. Sebab saat kita berkunjung ke rumah kerabat maka akan diberi suguhan ketupat dan diminta untuk dicicipi atau dimakan. Apabila ketupat itu dimakan maka secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala kesalahan serta kekhilafan yang pernah terjadi antar keduanya akan terhapus.

Kemudian untuk Laku Papat, Sunan Kalijogo menggunakan empat kata atau istilah yakni Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan.

Lebaran berarti akhir atau usainya waktu bulan puasa ramadhan dan bersiap menyongsong hari kemenangan Idul Fitri (kembali suci). Luberan bermakna melebur atau melimpah seperti air yang tumpah karena sudah terisi penuh. Pesan moral Luberan adalah membudayakan mau berbagi kepada orang yang tidak mampu serta membayar zakat karena itu hak orang miskin dan harus diberikan agar harta kita juga menjadi suci.

Sedangkan Leburan bermakna habis atau menyatu. Artinya momen lebaran itu untuk melebur dosa terhadap satu dengan yang lain dengan cara meminta maaf dan memberi maaf, sehingga dosa kita dengan sesama bisa nol kembali.

Terakhir, Laburan dari kata labur atau kapur. Kapur merupakan zat pewarna berwarna putih yang bisa digunakan untuk menjernihkan benda cair. Dari Laburan ini bisa dipahami bahwa hari seorang muslim harus bisa kembali jernih nan putih layaknya kapur yang menjadi simbol supaya manusia bisa menjag kesucian lahir dan batinnya.

Bahan pembuatan Ketupat Lepet juga memiliki makna filosofi tersendiri. Misalnya, kenapa harus dibungkus dengan janur? Janur, diambil dari bahasa Arab “Ja’a Nur” (Telah datang cahaya).

Bentuk fisik kupat yang segi empat ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahannya maka hatinya seperti kupat yang dibelah, pasti isinya putih bersih, hati yang tanpa iri dan dengki karena hatinya sudah dibungkus cahaya (Ja’a nur).

Lepet dari kata silep kang rapet. Monggo dipun silep ingkang rapet (mari kita kubur/tutup yang rapat). Jadi setelah mengakui kesalahan (lepat), kemudian meminta maaf, maka kesalahan yang sudah dimaafkan itu jangan pernah diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.

Betapa besar peran para wali dalam memperkenalkan agama Islam dengan santun. Karena itu umat Islam di Nusantara khususnya Jawa sudah seharusnya memuliakan budaya atau ajaran yang telah disampaikan para wali di Indonesia ini.

Inilah cikal bakal munculnya kalimat Mohon maaf lahir dan bathin, ngaturaken sedoyo kelepatan disaat ‘ldul Fitri di Indonesia dan Pulau Jawa pada khususnya.

 Ada salah satu pepatah jawa yang menyebutkan “Kupat Santen“, yang artinya “Kulo Lepat Nyuwun Ngapunten” (jika saya Saya Salah Mohon Maaf). Oleh karena itu dalam islam kupat  juga dapat diartikan sebagai bentuk permintaan maaf.

Demikian artikel tentang  makna ketupat dalam Islam dan sejarahnya. Jadi sekarang kita paham akan filosofinya juga, tidak hanya makan ketupatnya saja.  

Sumber : Dari Berbagai Sumber Sejarah

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada  Selasa, 10 Mei 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo

https://www.laduni.id/post/read/42922/sejarah-dan-filosofi-lebaran-ketupat-dari-sunan-kalijaga.html