Salat Tarawih di Masjid al-Aqmar, Peninggalan Dinasti Bermazhab Syi’ah di Mesir

Hari ini tanggal 25 Maret 2024, cuaca Kairo sangat sejuk. Terlihat anak Mesir sedang bermain sepak bola di jalanan, satu orang menjadi penjaga gawang dan satu lagi menjadi penendang. Meski sedang puasa, mereka tetap menikmati permainan sore ini dengan gembira. Selain bermain sepak bola, biasanya saat Ramadan seperti ini banyak anak kecil yang akan beradu memainkan petasan.

Suasana ini mengingatkan saya pada kehidupan masa kecil dulu di Indonesia, saya menghabiskan waktu sore hingga menjelang maghrib dengan kegiatan semacam ini. Permainan yang menyenangkan hingga lupa akan waktu, jam seolah tidak berfungsi, penanda waktu satu-satunya adalah suara salawat menjelang azan maghrib dikumandangkan.

Malam ini saya hendak melaksanakan salat tarawih di salah satu masjid peninggalan dinasti Fathimiyyah. Masjid ini tidak terlalu terkenal, namun menjadi salah satu ikon di jalanan Syari’ Muiz, namanya masjid al-Aqmar. Saya berangkat dari rumah pukul 19.00, sengaja saya segerakan, karena perjalanan menuju masjid ini cukup jauh dan melalui jalanan Syari’ Muiz yang sangat padat dengan warga lokal dan asing.

Selama di perjalanan, kondisinya cukup ramai dan lancar bagi pejalan kaki. Pedagang “Zalabiyya”-kue donat- menjajakan dagangannya pada pengunjung, dengan toping gula pasir halus, cukup menarik utamanya di waktu awal maghrib seperti ini.

Karena Kawasan ini adalah salah satu tempat wisata, beberapa kali saya didatangi oleh orang Mesir untuk menawarkan jasa foto. Memang tempat ini adalah salah satu spot foto yang bagus di setiap waktunya, kita bisa mengambil background jalanan yang khas abad pertengahan atau di malam hari dengan cahaya lampu yang gemerlapan.

Setelah berjalan sekitar 10 menit, akhirnya saya sampai di masjid saat azan isya selesai dikumandangkan. Saya berdiri sejenak memandangi sekeliling masjid ini. Bentuknya indah dan rapi, interiornya mirip dengan masjid pada umumnya di Mesir. Ada shahnun -sisi masjid tanpa atap-, ada lentera atau al-misykah, serta mihrab yang nampak sangat tinggi. Ukuran masjid ini relatif kecil dibanding masjid-masjid lain, seperti masjid Hakim bi Amrillah, masjid Al-Azhar, ataupun masjid Husein.

Masjid al-Aqmar yang jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia adalah Masjid Cahaya Bulan dibangun di Kairo pada tahun 1125 pada masa dinasti Fathimiyyah. Wazir saat itu al-Ma’mun al-Bata’ihi berperan penting dalam pembangunannya, yang berlangsung pada masa kekhalifahan al-Āmir (1101-1130).

Dinasti Fathimiyyah adalah salah satu dinasti islam yang menganut paham Islam Syi’ah, hal itu berdampak pada konstruksi masjid. Nampak di sisi depan masjid tertulis nama Muhammad SAW dan bersanding dengannya nama menantunya, yaitu Sayyidna Ali—sebagaimana diketahui, Sayyidna Ali adalah salah satu Imam dalam keyakinan orang Syi’ah.

Meski begitu, saat ini masjid difungsikan dengan ritual peribadatan ala mazhab Sunni sebagaimana mazhab mayoritas di Mesir. Jika masih mengggunakan mazhab Syi’ah, sudah tentu ibadah tarawih secara berjamaah tidak akan dilaksanakan di masjid ini, karena umumnya orang Syi’ah menganggap salat tarawih berjamaah adalah peribadatan yang baru dikenal -bid’ah- di masa Sayyidina Umar ibn Khattab.

Akhirnya saya mengikuti salat tarawih malam itu di barisan kedua, laki-laki dengan usia yang sepuh mengimami salat kita malam ini. Suaranya merdu, makharijal hurufnya jelas, meski kadang ada suara nafas yang nampak terlihat ngos-ngosan. Salat tarawih selesai dilaksanakan pada pukul 20.20, pelaksanaannya 11 rakaat + witir.

Pembacaan qunut oleh imam di rakaat terakhir witir menjadi hal pamungkas suasana spiritual malam ini. Saat membaca qunut, umumnya orang Indonesia akan membaca dalam jangka waktu yang singkat satu atau dua menit sudah selesai. Namun, di Mesir pembacaan qunut butuh waktu yang cukup lama, salah satunya tarawih malam ini. Jika saya perkirakan, ada waktu 10 menit buat imam membacakan qunut, waktu yang jika di Indonesia bisa digunakan salat tarawih empat rakaat.

Dengan kondisi yang mulai pegal, saya melihat semangat yang luar biasa dari imam salat ini, meski ia sudah sepuh namun masih bisa berdiri selama itu untuk membacakan qunut. Kekuatan fisik ternyata tidak selamanya menjadi penopang orang untuk melaksanakan ibadah dengan baik, namun ke dalam iman dan kuatnya tauhid adalah kunci utama dalam menjalankan peribadatan.

Selesai salat tarawih, saya masih sempatkan untuk berzikir di masjid ini, nampak para jamaah mulai bergantian berjalan menuju pintu keluar. Jamaah malam ini banyak diiisi oleh kalangan sepuh, kalaupun ada anak muda, itupun anak muda yang sudah beranjak dewasa dan hanya beberapa saja jumlahnya.

Melihat ini, saya merenung tentang fungsi agama yang mulai terpinggirkan di kalangan muda. Seolah ibadah formal hanya dipraktikkan disaat-saat menjelang tutup usia, agama seolah hanya menjadi institusi temporal, jika butuh kita pakai jika tidak butuh ditanggalkan, hingga posisi agama yang demikian berjarak bagi anak muda.

Keluar masjid saya mengabadikan salat tarawih malam ini melalui handphone saya, setelah melewati perenungan tadi, saya kembali bertanya-tanya, atau jangan-jangan ini bukan karena agama yang ketinggalan zaman? Justru ini karena pemuka agama yang terlalu nyaman di menara gading dan telah lama abai terhadap kondisi sosial yang menjangkiti anak muda, hingga kondisi seperti ini terjadi. Entahlah!

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/myr/salat-tarawih-di-masjid-al-aqmar-peninggalan-dinasti-bermazhab-syiah-di-mesir-b249142p/