Pengalaman Salat Tarawih di Masjid Ibnu Thulun, Kairo

Di kala sore hari, 19 Maret 2024, udara Kairo cukup sejuk. Saat melangkah di jalanan Sidi Anbar, nampak orang berlalu-lalang menyelesaikan aktivitasnya, baik transaksi jual beli, memotong kayu mebel, atau menjilid kitab secara manual. Meski di bulan puasa, nampak aktivitas di daerah Darbul Ahmar berjalan seperti hari-hari biasanya. Kali ini saya ada janjian bersama kawan belajar filsafat, kami akan melaksanakan salat tarawih sekaligus buka bersama.

Setengah jam sebelum maghrib, kami mencari tempat “Maidah Rahman” -makan gratis- di sekitar masjid Sayyidah Aisyah. Tempat ini termasuk kawasan yang sangat padat menjadi salah satu pusat perekonomian dan pemberhentian alat transportasi umum seperti bus dan angkot. Setelah berkeliling, kami tidak menemukan tempat buka gratis, dan akhirnya kami sepakat untuk makan di warung sederhana yang menyediakan makan berat untuk buka puasa.

Sambil menunggu azan, saya memandangi suasana sekitar, karena baru kali ini saya berbuka di tempat baru dan jauh dari rumah. Suasana sore hari yang cukup hening dan damai, sangat berbeda degan daerah tempat saya tinggal yang cukup ramai.

Masjid Ibnu Thulun

Malam ini, kami akan melaksanakan tarawih di salah satu masjid bersejarah di Mesir, yaitu masjid Ahmad Ibnu Thulun. Sesuai dengan namanya, masjid ini didirikan oleh Ahmad Ibnu Thulun pada tahun 876 M dan selesai pembangunannya pada tahun 879 M. Masjid ini terletak di kaki bukit bernama Jabal Yashkur, dan arsitektur masjid yang mirip dengan model Masjid Samarra, konstruksi yang lazim dipakai pada masa dinasti Abbasiyyah.

Ahmad Ibnu Tulun lahir pada tahun 220 H (835 M). Dia adalah muslim berkebangsaan Turki. Ibnu Tulun awalnya adalah seorang budak, namun ia mendapat kepercayaan di dinasti Abbasiyah. Saat dewasa, ia diperintah oleh dinasti Abbasiyah di Baghdad untuk meluaskan kekuasaan Abbasiyah hingga ke Mesir. Namun, saat berhasil menguasai Mesir, ia justru membelot dari dinasti Abbasiyah dan mendirikan dinastinya sendiri bernama Thuluniyyah.

Dia berjasa membangun masjid Ahmad Ibnu Tulun, Masjid yang menjadi salah satu pusat pelaksanaan kegiatan keagamaan maupun sosial masyarakat Mesir kala itu. Meski begitu, kekuasaannya hanya berlangsung sekitar satu abad saja, karena dinasti yang ia bangun runtuh dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah.

Terkesima dengan megahnya Masjid Ibnu Thulun

Saya berangkat ke masjid tersebut menggunakan trasnportasi “tuk-tuk” atau bajai. Saat sampai di depan masjid pada pukul 19.10, saya sedikit bingung, karena masjid ini berbeda dengan masjid pada umumnya di Mesir. Akses masuk ke masjid ini dijaga oleh pihak keamanan dan nampak harus menaiki tangga yang cukup tinggi. Masjid ini nampak sangat luas sekali, menurut informasi yang ada disekitar masjid, luasnya sampai 2,8 hektar, lebih luas dari 2 kali lapangan sepak bola.

Saat melewati pos keamanan, kita diperingati oleh petugas bahwa malam ini hanya diperbolehkan untuk salat tarawih saja, kita dilarang untuk melakukan aktivitas wisata seperti mengambil foto atau berkeliling mengitari masjid. Maklum, di hari biasa masjid ini difungsikan sebagai tempat wisata untuk para turis asing maupun lokal, karena masjid ini termasuk masjid tertua kedua di Mesir setelah masjid Amru Ibnu Ash dan menjadi ikon wisata Mesir, bersamaan dengan Pyramida, Spinx, dan Tempel Karnak.

Salat Tarawih di Masjid Ibnu Thulun

Azan isya’ berkumandang, suaranya lirih karena sound masjid yang kurang bagus. Meski begitu, saya merasa khusuk saat salat di masjid ini. Karena bangunannya yang luas, tiang-tiang yang sangat besar dan kokoh, dan jamaahnya yang tak terlalu banyak dan diisi oleh orang-orang sepuh. Pada pukul 19.40 salat isya’ selesai dilaksanakan, lalu berlanjut ke salat tarawih + witir 11 rakaat yang menghabiskan waktu sekitar 45 menit.

Saya berdiri di shaf pertama di belakang imam, saya melihat cara imam salat yang tidak sedekap saat berdiri. Cara salat seperti ini sering diidentikkan  dengan cara salat mazhab Syiah, yang memang terkenal saat salat tidak sedekap. Namun pengalaman melihat cara salat seperti ini telah saya lalui bahkan saat saya baru menetap di Kairo. Kawan saya yang berasal dari Maroko, saat salat di masjid Madinah al-Buuts tidak sedekap saat salat. Setelah saya tanya, ternyata hal ini absah dalam salah satu mazhab ahlus sunnah yang ia ikuti yaitu pendapat Malikiyyah atau pengikut mazhab Imam Malik.

Sesudah salat, saya masih mengitari daerah masjid ini. Menurut informasi yang saya baca di papan informasi masjid, area ini masih dalam pembaruan atau renovasi mulai dari tahun 2000 hingga sekarang. Saat saya melihat sekeliling, nampak banyak sekali dinding tua, bahkan mihrab-tempat imam salat- terlihat kuno, keautentikan tempat ini sangat memukau peziarahnya.

Saya sangat terkesima dengan kemegahan masjid Ibnu Thulun, masjid bersejarah yang menjadi simbol peradaban islam yang gemilang. Masih belum bisa saya bayangkan, bagaimana mungkin peradaban islam yang dianggap era kegelapan, bisa mendirikan masjid semegah ini 10 abad yang lalu. Sebuah peninggalan yang agung!

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/myr/pengalaman-salat-tarawih-di-masjid-ibnu-thulun-kairo-b249122p/