Pelacur sebagai Pengarang

Oleh Mashuri, Peneliti Sastra di Balai Bahasa Jawa Timur

: ngablak habis Jumatan

Habis Jumatan, sambil ditemani kacang bawang dan segelas kopi, saya membuka-buka buku “Sosiologi Sastra Jawa” karya Suripan Sadi Hutomo (Balai Pustaka, 1997). Hal itu karena saya sedang punya hajat menulis tentang kondisi sastra Jawa kiwari. Sampai pada halaman 37, saya terpaksa berhenti. Di sana tertera sebuah subjudul yang menggelitik: “Pelacur Sebagai Pengarang”.

Mungkin gambar buku

Saya pun membacanya hingga halaman 40. Awalnya, saya tertarik dengan item tersebut, karena soalan itu memang menarik dan di luar kebiasaan. Namun, saya segera menyadari bahwa yang melandasi adanya tulisan itu adalah soal kekuatan arsip, kekayaan data dan ketekunan seorang maestro. Hmmm. Sungguh, Pak Suripan memang raksasa dalam pengarsipan dan dokumentasi sastra Jawa. Peristiwa yang dijabarkannya terjadi pada tahun 1962/1963 perihal sayembara menulis cerpen yang digelar oleh majalah berbahasa Jawa “Jaya Baya”, dulu Djaja Baja. Sayembara itu diumumkan di Djaja Baja, No. 1 Th XVII September 1962 dan pemenangnya diumumkan di Djaja Baja No. 18 Th XVII, 29 September 1963.

“Sayembara mengarang cerita pendek ini mendapat perhatian cukup besar. Menurut catatan penulis (redaksi), tercatat 179 buah cerita pendek yang masuk, dan cerita pendek sebanyak itu ditulis oleh 163 pengarang,” demikian tulis Pak Suripan.

Pemenang sayembara terdiri atas lima pemenang utama dan dua hadiah hiburan. Semuanya dimuat di Djaja Baja edisi tahun 1964. Rata-rata dari ketujuh pemenangnya adalah para sastrawan Jawa yang sudah punya nama. Namun, terselip sebuah nama yang menjadi topik pembahasan subjudul buku Pak Suripan tersebut, yaitu Ismijati. Selain karena ia perempuan sendiri di antara dominasi pengarang laki-laki, ternyata profesi penulisnya berbeda dengan perempuan pengarang lainnya pada masa itu. Bila St. Lesmaniasita & Sri Setya Rahayu adalah guru, Totilawati & Yunani seorang wartawan dan redaktur, tetapi Ismijati di luar profesi ‘mapan’ tersebut.

“Di samping satu-satunya pemenang wanita, dia termasuk pengarang wanita yang unik. Dia berbeda dengan pengarang wanita lainnya. Ismijati adalah seorang pelacur dan mucikari. Jadi dalam kesusastraan Jawa ada pelacur yang menjadi pengarang,” tulis Pak Suripan, pada halaman 38.

Karya Ismijati berjudul “Sura Dira Djajaningrat Lebur Dening Pangastuti” termasuk salah satu dari lima pemenang utama, dimuat di Djaja Baja No. 23, Th. XVIII, 2 Januari 1964. Ia beralamat di Kediri. “Ismijati lahir tanggal 19 September 1925. Pada waktu mengikuti sayembara mengarang cerita pendek ia berumur 38 tahun. Jadi menurut ‘ilmu pelacuran’, dia termasuk ‘pelacur tua’, tetapi masih seksi dan menarik, dan bahkan waktu itu, merangkap sebagai germa (mucikari),” tulis Pak Suripan.

Pak Suripan menjelaskan, Ismijati menjadi pelacur bukan terdorong oleh ‘masalah ekonomi’, tetapi karena ‘sakit hati’ dan ‘balas dendam’ pada suaminya. Oleh karena itu pada saat ia memenangkan sayembara, ia tidak mau menerima honorariumnya. Bahkan, Ismijati menulis surat pada pihak penyelenggara, yaitu majalah Djaja Baja, yang ditulis dalam bahasa Jawa, kurang lebih begini. “Selain daripada di atas, jika saya diberi honorarium, harap honorarium tersebut untuk uang duduk Staf Redaksi DB yang kerja lembur di malam hari.”

Pak Suripan menutup uraiannya dengan sebuah harapan besar dan menggetarkan terkait dengan sosok Ismijati. “Masuknya Ismijati ke ‘dunia hitam’, yang menurut pengakuannya pernah aktif dalam organisasi wanita, sebagaimana yang ia refleksikan dalam cerita pendeknya, tidaklah menutup kemungkinan tokoh semacam Ismijati itu kemudian mengorganisasi pada pelacur menjadi kekuatan sosial politik,” tulis Pak Suripan, optimis.

Mungkin karena ‘realitas sejarah’, optimisme, & pemartabatan kemanusiaan sebagaimana yang digurat Pak Suripan, Balai Bahasa Jawa Timur pun tergerak untuk menggelar bengkel penulisan sastra Jawa & Indonesia di dua lokasi nonmainstream, yaitu dua lokalisasi di Jawa Timur, yaitu di Semampir Kediri dan di Ngujang Tulungagung, pada tahun 2007-2008. Pelatihnya adalah beberapa penulis dari Jawa Timur. Pesertanya para pekerja seks komersial (PSK). Mungkin karena terlalu semangat, ada di antara tentornya sampai ‘sawanen’. Tubuhnya panas-dingin. Ehm! Hasil pelatihan tersebut dihimpun dalam sebuah buku berjudul “Setitik Air di Lokalisasi”, yang berisi gurit dan puisi karya para pekerja seks komersial di dua tempat tersebut.

Kebetulan, pada tahun 2008 itu, saya didapuk menjadi ketua panitia bedah buku hasil pelatihan tersebut dalam rangkaian acara Gebyar 28, bertempat di Balai Bahasa Jawa Timur, saat itu masih bernama Balai Bahasa Surabaya. Sayangnya, saya tidak dapat menghadirkan mereka (para penulis) di Sidoarjo. Meski demikian, saya berusaha membuka segala ruang penafsiran.

Selain direspon dengan sajian video pendek, pembacaan puisi, juga pertunjukan teater, buku itu pun dibedah oleh dua pembicara, yaitu Pak Tengsoe Tjahyono dan Ibu Sirikit Syah. Karya mereka rata-rata berbicara ihwal kerinduan dan kasih sayang!

Kembali ke buku Pak Suripan. Ternyata, saya tidak menemukan apa yang saya butuhkan. Mungkin ada di buku Pak Suripan lainnya. Demikianlah.

On Sidoarjo, 2021