Memori Kolektif tentang “Timur” yang “Eksotis”

Oleh Muhammad Yasir, Toko Buku Dalam Gang

Bulan-bulan akhir pada tahun 2021 lalu menjadi bulan-bulan yang menyengit dan getir hati siapa pun yang diberikan kesempatan oleh Tuhan dan penindas untuk melewatinya.

Bagaimanapun, sejak 2019 hingga 2022 ini, jumlah yang mati di Bumi sebagai dampak perang dagang dan pandemi(?) Covid-19 tidak bisa dianggap remeh-temeh dan kemudian yang hidup sebagai yang tersisa dihadapkan pada dua pilihan: bertahan melarat dan mati bunuh diri.

Akan tetapi di tengah teka-teki kedua pilihan itu, sebagai sebuah toko buku kecil di jantung kota Surabaya bagian Barat yang buku-bukunya sangat sedikit dan tidak dianjurkan untuk dibeli, kami hidup masih dengan harapan bahwa penindasan, pesakitan, dan penderitaan akan melahirkan revolusi, tidak sekarang, tidak juga besok, tetapi akan datang hari itu; hari yang menentukan, angkat senjata atau menjadi bagian trem penindas.

Keyakinan itu bertambah kuat ketika kami mendapat dua naskah kumpulan puisi tentang “Timur” sebagai suatu tanah yang dihancurkan, orang-orang yang dipinggirkan, dan tatanan kehidupan di ambang kepunahan. Tentu saja, bagi siapa pun yang memiliki cinta dan kasih sayang di hatinya akan terluka melihat dan menghayati bagaimana penindasan sejengkal demi sejengkal menyebabkan kematian yang menyalahi takdir Tuhan.

Bulan Januari 2022. Kedua naskah itu terbit menjadi buku. Buku pertama bertajuk “Surat Dari Penjara” karya Mahmoud Darwish yang diterjemahkan kolega kami, Brah Muhammad; seorang guru Diniyah yang mampu membaca Sastra Arab dan berbahasa Arab dengan epik. Buku kedua bertajuk “Riwayat Timur” karya Dedi Lolansolot; seorang guru kontrak di Papua yang berdarah Solor, Nusa Tenggara bagian Timur. Dan kami yakinkan bahwa kedua buku ini bicara tentang “Timur” sebagai rasa sakit yang teramat.

Kematian para martir di Palestina apakah menjadi sesuatu yang penting dibacarakan oleh kehidupan hari ini? Narasi mana dan siapa yang bisa dipercaya sebagai “yang bicara sesungguh-sungguh dan sejujur-jujurnya”? Apakah orang Palestina itu sendiri? Atau bar-barisme-nya tentara Israel? Atau buku-buku yang ditulis seorang orientalis atau media-media Barat yang jelas dengan framing “Barat” itu sendiri yang menganggap bahwa pertikaian dan kematian di Palestina sesuatu yang “eksotis” dan sayang untuk dilewatkan?

Maka menarik untuk menyandingkan pertanyaan-pertanyaan di atas dengan pandangan Edward W. Said (seorang Palestina yang Kristen; pengakuannya) ini yang justru membawa kami pada keterlibatan intelektual sebagai bagian dari penyebab penghancuran dan kehancuran:

Para sarjana serupa di Amerika Serikat dikenal hanya sebagai ahli di bidang Islam dan Timur Tengah; mereka masuk dalam golongan para ahli, dan ranah mereka, sejauh mereka berkaitan dengan masyarakat modern di dunia Islam, dapat dipandang sebagai ahli manajemen krisis. Status mereka terutama berasal dari pengertian bahwa bagi Amerika Serikat, dunia Islam adalah wilayah yang strategis, dengan semua jenis masalah yang mungkin (jika bukan selalu aktual). Setelah berpuluh-puluh tahun mengurus koloni-koloni Islam, baik Inggris dan Prancis akhirnya menghasilkan sesuatu yang sepadan dengan kerja aliansi pemerintah-perusahaan-kajian Timur Tengah yang ada di Amerika Serikat. (Covering Islam, sub-bab Pengetahuan dan Kekuasaan, hal. 201).

Mahmoud Darwish tidak lain dan tidak bukan merupakan bagian dari intelektual “yang menentang” pandangan, kekuasaan, dan kerja-kerja intelektual Barat. Jelas pula bahwa dia, Mahmoud Darwish, memiliki sikap politik yang jelas terhadap Palestina sebagai suatu sikap nasionalis sejati, sehingga dua konsekuensi dia terima dengan gagah: dipenjara dan diasing. Lain daripada itu, penghancuran dan kehancuran terhadap Palestina akan menjadi memori kolektif anak-anak (jika sempat menjadi generasi selanjutnya) untuk menjadi martir yang membebaskan tanah-air mereka.

“Serukanlah untuk mengingatku!
Sebab pasar-pasar di kota
Telah habis.
Dan pintu kantin musim dingin
Telah habis.
Dan kopi kemarin yang hangat
Telah habis.
Sementara ingatanku merangkum semua…” (Seruan untuk Mengingat, hal. 31)

Kami merasakan aroma penghancuran dan kehancuran pada setiap teks puisi Mahmoud Darwish di atas. Perhatikan dan hayati kata “Ingat”. Kata itu menjadi kata kunci yang dimainkan Mahmoud Darwish dengan kegetiran ketika ditambah imbuhan “meng-” dan kepemilikan “-ku”. Di mana “pasar-pasar kota”, “pintu kantin musim dingin”, dan “kopi kemarin yang hangat” dan kenapa “telah habis”?! Tentu saja puisi ini menjadi “eksotis” jika para pembacanya tidak mengetahui bagaimana pertentangan Mahmoud Darwish dan sekadar memahami bahwa “ingatan” itu apolitis dan ahistoris.

Kini kami akan mengajak Anda ke “Riwayat Timur”. Kita tentu masih ingat pada tahun 2021 terjadi kebakaran yang dahsyat di Pulau Komodo, Manggarai, Nusa Tenggara bagian Timur. Semua mata media dengan awam menerbitkan berita kebakaran itu tanpa mampu mencari tahu siapa penyebab, bagaimana, dan mengapa kebakaran itu terjadi. Akan tetapi, setidaknya, para pembaca media-media busuk di negeri ini tidak perlu pusing dengan berita-berita yang tersebar, karena yang terpenting penjelasan terakhir orang yang menangani kebakaran itu, bisa jadi pemerintah atau lembaga yang terafiliasi dengan itu.

Apa pun itu tentang “Timur” di Indonesia ini, selalu berkonotasi jelek dan rasis. Tentu saja peran pemerintah dan media-lah yang menyebabkan semua itu tertanam di kepala orang Indonesia kebanyakan. Sejatinya, sebagai dampak dari semua itu, “Timur” di Indonesia merupakan sesuatu, baik tanah maupun orang-orangnya, menjadi sesuatu yang eksotik dan bernilai jual tinggi. Bahkan, sekaliber perusahaan air minum Aqua dan perusahaan pipa Rucika pun berani mengejek tatanan kehidupan di sana. Nusa Tenggara bagian Timur, sebagai studi kasus yang membenarkan perbuatan menjijikan itu, hingga menyebabkan bahwa orang-orang di sana harus “diselamatkan”.

“senja di pantai mati. kubawa ke tunggu. kami menunggumu datang tapi ia terlanjur membusuk di dekapan ibu. bersama bara api, singkong rebus, rumpu rampe, dan jagung titi kami menguburnya sembari mengenang kita dulu meneguk tuak sebelum tidur, kuceritakan kisah solot watan lema. tuang dan minumlah agar tay adat, kata kakek. kita mabuk dan bernyanyi di atas ata kiwan.

mainkan sole oha!” (kepada yang jauh, hal.18)

Bahkan “senja”-pun “mati” sudah bagi Dedi Lolansolot, karena kehidupan yang dia dan mereka alami sebagai trem “Timur” merupakan suatu keharusan untuk dihancurkan. Kami seakan kehilangan kemampuan untuk mendedah bait pertama puisi di atas – jika Anda berkenan, tidak ada larangan untuk mendedahnya. Dan, tentu saja, dengan “riwayat Timur”-nya ini Dedi Lolansolot menjadi antitesis Gerson Poyk yang lebih mencintai Surabaya yang membuatnya menulis “Aku dan Surabaya dan Nakamura” daripada tanah-airnya yang dihancurkan.

Jika Mahmoud Darwish hidup dalam pengasingan dan kemudian mati di suatu tempat yang bukan tanah-airnya, Dedi Lolansolot justru hidup dalam bayang-bayang kehancuran dan diasingkan di tanah-airnya sendiri. Mengutip Agam Wispi, mereka yang diasingkan di tanah-airnya sendiri adalah penyakit bagi peradaban intelektual, seni, dan kebudayaan. Tapi, siapa peduli? “Timur” di Indonesia tetap saja menjadi memori kolektif orang Indonesia, bahwa di sana banyak tempat dengan panorama yang indah dan orang-orangnya yang eksotis.

Mari kita mabuk saja!

Surabaya, Januari 2022