Lebaran: Ceritarasa dan Mustikarasa

Jutaan orang pulang ke tanah asal. Mereka berkumpul dengan keluarga besar, membuka beragam nostalgia dan bercakap masa depan. Silsilah keluarga mendapat penguatan. Mereka berlanjut pelesiran. Rapat untuk (sulit) mufakat diadakan dalam menentukan warung, rumah makan, atau restoran. Perdebatan selera makanan terjadi dengan persaingan argumentasi dan rekomendasi.

Lebaran berarti kesanggupan mencari dan menemukan pelbagai makanan khas. Sebutan-sebutan makanan lokal dan tradisional menimbulkan imajinasi keistimewaan. Makanan-makanan selama kumpul barang diusahakan mencipta kenangan sepanjang masa. Citarasa dipentingkan tanpa meributkan harga. Lebaran mencipta album makanan bagi jutaan orang memiliki nostalgia atau selera mutakhir. Kita mendapat pengulangan saat membaca berita berjudul “Berburu Kuliner di Hari Raya” dimuat di Kompas, 13 April 2024. Hasrat makanan menggerakkan jutaan orang menuju tempat-tempat menghadirkan makanan-makanan idaman.

Kita belajar (lagi) citarasa makanan. Orang-orang biasa mencari makanan berbekal tontonan-tontonan di televisi dan media sosial. Mereka melihat makanan, warung, orang, dan lain-lain. Keinginan meniru atau bersaing dimunculkan agar bisa menikmati makanan-makanan sedang ramai diperbincangkan jutaan orang di seantero Indonesia.

Mereka jarang memulai perjalanan atau petualangan makanan berbekal buku-buku. Pada abad XXI, buku-buku bertema makanan terus terbit tapi jarang terpegang dan terbaca. Orang-orang tak mau lelah atau serius membaca buku. Gawai di tangan memudahkan mereka mengikuti perkembangan kuliner.

Kita ingin membuka sekian buku tanpa harus lekas menikmati makanan. “Bersantap” buku dalam raihan pengetahuan makanan. Buku itu berjudul Ceritarasa William Wongso: Kumpulan Resep Alternatif (2009) susunan William W Wongso. Sosok tenar dan penting dalam mengabarkan makanan-makanan Nusantara ke pelbagai negara. Ia menerangkan: “Saya sangat ingin tradisi kuliner Nusantara  ini dipertahankan dan disadari kekayaan nilainya. Untuk itu perlu adanya penyebaran informasi tentang betapa menarik dan kayanya tradisi kuliner kita.”

Baca juga:  Sebuah Refleksi: Dimensi Mistik Urang Banjar

Keinginan itu berpijak masa lalu. Ia mengingat hubungan keluarga-keluarga masa lalu di kampung dipengaruhi kebiasaan memasak dan berbagi makanan. Tata cara itu menjadi hubungan mereka erat dan hangat. Urusan makanan-makanan khas tak harus membeli di rumah makan atau restoran. Pada masa berbeda, kebiasaan memasak dan mengunjungi tetangga itu perlahan berkurang. Orang-orang ingin menikmati makanan-makanan khas Nusantara memerlukan untuk mendatangi warung, rumah makan, atau restoran. Cerita-cerita pun berubah dibanding silam.

Kita membuka buku untuk mengetahui ketupat kandangan. William Wongso menjelaskan kota bernama Kandangan di Kalimantan Selatan: “Di samping dodol, kota ini juga memiliki satu masakan khas: ketupat kandangan. Bahan utama masakan ini adalah ikan haruan atau ikan gabus, salah satu jenis ikan yang hidup di sungai-sungai Kalimantan selain ikan patin dan jelawat yang dianggap ikan mahal.” Kita terbiasa mengingat lebaran dan ketupat. Di Kandangan, keinginan bersantap tak harus menunggu lebaran.

Penjelasan memicu imajinasi kelezatan: “Citarasa ketupat kandangan agak didominasi ikan gabus asap dengan rasa santan yang gurih kental. Cara masyarakat Kandangan menikmatinya dengan mengurai ketupat, yang tidak padat sebagaimana kita kenal, sehingga seperti makan nasi dengan kuah ikan gabus.” Makanan khas mengesahkan lapar dan perjalanan bagi orang-orang ingin sampai ke Kandangan. William Wongso mengajak kita memikirkan citarasa dan ceritarasa.

Baca juga:  Madrasah (2): Dinamika, Manajemen, dan Tuduhan Sarang Teroris

Kita malah kebablasan ingin mengenang masa silam dan album masakan Indonesia. Buku menguak Indonesia itu berjudul Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia (1967). Pada masa berbeda, buku itu diterbitkan ulang oleh Kobam dengan keterangan tambahan sebagai warisan Soekarno. Penggarapan buku memang dilakukan pada masa kekuasaan Soekarno. Misi besar penguasa dalam memuliakan Indonesia melalui masakan. Indonesia wajib terhormat dalam urusan lidah dan citarasa.

Di sampul buku, kita melihat ibu sedang memasak. Ia merajang saat di depan ada panci berisi kuah mendidih. Di dinding, terlihat lima ketupat. Di atas meja, ada tempe dan pete. Gambar sudah mengesankan cara memasak dan masakan khas di Nusantara.

JJ Rizal menjelaskan tentang Mustikarasa bagi pembaca abad XXI: “Ini adalah manifestasi dari apa yang pernah Soekarno katakan bahwa kepada orang yang lapar tidak bisa diberikan kepadanya pemikiran revolusi… Mustika Rasa adalah sebuah konsepsi nasional tentang politik pangan nasional untuk menjamin – sebagaimana yang disebut dalam satu bait lagu ‘Keroncong Bersukaria’ ciptaan Soekarno: Indonesia banyak makanan. Agar Indonesia selamat dari ancaman krisis pangan, gizi buruk, dan ketakmampuan dalam mengelola produksi pangan. Soekarno tahu betul inilah ancaman terbesar bukan hanya kekuasaannya, tetapi juga masa depan Indonesia.” Soekarno mementingkan makanan demi harga diri Indonesia di mata dan lidah dunia.

Baca juga:  Meminjamkan Utang untuk Allah

Kita membuka halaman mengenai bronkos disebut sebagai masakan khas dari Solo. Di buku, kita membaca beragam bahan: “daging, katjang tolo, buntjis, kelapa, dan minjak goreng.” Sekian bumbu: “bawang merah, bawang putih, lombok merah, kemiri, ketumbar, djinten, kunir, laos, sereh, keluwak, salam, daun djeruk purut, asam, gula, garam, ketjap, terasi.” Di situ, kita juga mendapat petunjuk cara membuat. Kita berhadapan resep untuk (mencoba) memasak sendiri di rumah. Ajakan mudah “ditolak” orang-orang sekarang: memilih menuju warung-warung tersedia menu-menu masakan Jawa atau makanan desa (tradisional). Mereka berduit ingin menjadi penikmat, bukan pemasak.

Pada saat lebaran, keluarga-keluarga berkumpul dengan keinginan “kompak” dan bersukacita. Mereka enggan repot dan lelah jika membuat masakan-masakan sendiri di rumah. Pilihan tergampang: menentukan rute atau alamat untuk makan bersama. Mereka bisa duduk di restoran atau rumah makan sambil “memelihara” dan pamer selera makanan. Peran sebagai penikmat membuat mereka bisa berfoto bersama dan memberi kata-kata agar terketahui publik.

Situasi dan peran itu mungkin menjauhkan pengertian kita tentang “ceritarasa” dan “mustikarasa”. Makanan buka lagi urusan mau berbelanja bahan dan bumbu ke pasar. Peristiwa menikmati makanan menjadi cara mengabarkan penampilan berbusana, selera lidah, dan ketagihan dokumentasi foto. Kini, lumrah saat lebaran menampilkan pemandang keramaian orang ingin menikmati makanan di warung, rumah makan, dan restoran. Mereka mau antre, sabar, dan mengeluarkan duit tak sedikit. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/bandung-mawardi/lebaran-ceritarasa-dan-mustikarasa-b249216p/