Larangan Menebar Kebencian

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan  kaum (laki-laki)  yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula suatu kaum (perempuan) merendahkan kaum yang lainnya, boleh    jadi yang direndahkan itu lebih baik… (QS. Al-Hujurât: 11)

Larangan Menebar Kebencian
Ilustrasi larangan menebar kebencian

 ARRAHMAH.CO.ID – Ayat di atas melarang kita agar tidak
 menebar kebencian  
kepada   sesama, baik kepada non-muslim, apalagi kepada sesama muslim.
Asas persaudaraan harus
dikedepankan sesuai dengan ajaran Islam yang suci dan agung. Allah melarang
umat Islam agar tidak merendahkan orang lain  yang membuat persaudaraan tercerai-berai. Menurut Imam Ibnu Abbas, ayat al-Quran
di atas turun untuk merespons
sikap  Tsabit
bin Qais bin Syamas yang mengejek
 seorang laki-laki dari sahabat Anshar dengan
ejekan yang bernada Jahiliyah. Sikap seperti  ini
tak pantas dilakukan
seorang muslim. Karena Islam sarat dengan ajaran-ajaran
luhur, menghormati yang lain, dan berlaku
bijaksana dalam keadaan
apa pun.

Dalam
perspektif Islam, sesama manusia
adalah saudara
sehingga harus saling mengenal, merekatkan hubungan, dan bekerjasama dalam kebaikan. Kehidupan
membutuhkan kebersamaan, kekompakan,
 toleransi, dan agenda bersama yang dinamis dan progresif bagi kemajuan dan kebahagiaan umat manusia. Jangan merendahkan orang lain, jangan perlakukan
orang lain sebagai
musuh yang harus dibasmi dan disingkirkan.

Hidup dengan kedamaian adalah kunci
meraih keberhasilan. Hidup dengan permusuhan
adalah awal malapetaka. Merendahkan, mencela, mengejek, menggunjing, berburuk sangka, dan mencari-cari kejelekan
orang lain adalah penyebab
terjadinya permusuhan. Tragedi kemanusiaan seringkali berawal dari permusuhan dan kebencian

Islam
meletakkan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai dasar utama dalam kehidupan
di dunia ini. Pluralitas adalah sunnatullah
yang harus dimanfaatkan sebagai media pembelajaran untuk saling mengenal, menebar benih kebaikan, dan merekatkan persaudaraan. Betapa indah dunia
ini bila tidak ada kebencian di antara kita,
kehidupan berjalan dengan penuh kedamaian lahir batin.

Trilogi persaudaraan yang
disampaikan  KH. Achmad Siddiq,
yaitu ukhuwwah islamiyah
(persaudaraan atas dasar keagamaan), ukhuwwah wathaniyah
(persaudaraan atas dasar kebangsaan), dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan atas dasar kemanusiaan) merupakan manifestasi
agung dari ajaran Islam yang harus
dibumikan di negeri tercinta yang heterogen dan plural ini.

Dalam konteks ini,
peristiwa  
pembebasan kota Mekah (Fathu Mekah) menarik untuk kita perhatikan bersama. Pasca pembebasan kota suci ini, Nabi
Muhammad SAW bersabda, Barang siapa masuk ke
rumah Abu Sufyan, maka dia akan
aman
.
Abu sufyan berkata, Hanya berapa orang yang dapat ditampung di rumahku? Kemudian Nabi bersabda kembali, Barang siapa
yang masuk ke masjid, maka ia akan aman
. Abu Sufyan berkata
lagi, Hanya berapa orang yang dapat ditampung
di masjid?
Nabi pun kembali
bersabda, Barang
siapa yang meletakkan senjatanya, maka
dia aman, dan barang siapa
yang mengunci pintunya, maka dia aman.

Di pintu
Masjid
Al-Haram Nabi melanjutkan sabdanya,
Wahai penduduk Mekah, apa yang kalian lihat terkait
dengan  perbuatanku terhadap
kalian?
Mereka menjawab,
Baik, wahai saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia. Nabi bersabda
kembali, Pergilah, kalian semua dibebaskan (Imam Nawawi, Tafsir Munir, 2/469-470).

Dalam peristiwa yang bersejarah ini tampak terlihat
semangat persaudaraan Nabi Muhammad SAW. Tidak ada balas dendam dalam hati Nabi dan para sahabatnya terhadap penduduk kota Mekah. Justru
yang ada adalah kasih
sayang  terhadap sesama, menebarkan perdamaian dan kerukunan, dan menjauhi permusuhan.

Padahal ditilik dari sejarahnya, penduduk kota Mekah seringkali menzalimi dan
mengintimidasi Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya, terutama sebelum
umat Islam hijrah ke Madinah.
Seandainya Nabi atau para sahabatnya pun membalas perlakuan yang
diterima umat Islam dahulu,
mungkin juga masih bisa dipahami. Mengingat parahnya aksi kezaliman
yang kerapkali dilakukan
oleh penduduk Mekah kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tapi bukan ini yang dilakukan Nabi Muhamamd SAW. Beliau justru memaafkan dan membebaskan mereka dari dosa-dosa di masa lalu. Itu sebabnya,
penduduk Mekah disebut sebagai
orang-orang yang dibebaskan. Dan mereka pun berbaiat masuk Islam.

Patut disayangkan, ajaran persaudaraan seperti di atas seperti
hilang dari kesadaran  umat Islam belakangan
ini. Sebagian umat Islam
sedemikian
mudah
terpancing
provokasi pihak
lain, mudah tersinggung, dan kehilangan
nalar obyektif dan proporsional. Fanatisme
primordial dan egoisme berlebihan menjadi pembakar api kebencian. Sesama umat Islam pun sering terjadi
ketegangan, percekcokan, bahkan
pembunuhan.

Polarisasi umat Islam terbagi ke
dalam segregasi sosial, ekonomi,
budaya, politik, dan pendidikan. Satu dengan yang lain tidak
bisa menutupi kelemahan dan kekurangan
masing-masing. Hubungan dengan non-muslim berjalan
dalam bayang-bayang permusuhan dan kebencian yang berpotensi melahirkan konflik horizontal. Kekhawatiran dan kecemasan
menyatu dalam kejiwaan dan kepribadian umat Islam. Beberapa kasus yang terjadi
belakangan ini (baik bermotif agama, ekonomi, budaya,
pendidikan, dan politik) adalah
bukti faktual dari rentannya
persaudaraan internal umat Islam.
Kematangan dan kedewasaan dalam menyikapi
masalah yang ada masih jauh dari yang
diharapkan. Kesan emosional subyektif
sangat
kuat. Inilah yang harus diantisipasi dan diperhatikan oleh semua pihak, terutama kaum agamawan.

Menebar Kedamaian

Menghadapi masa depan yang penuh problem,
kedewasaan dan kematangan dalam menyikapi
masalah haruslah dipersiapkan, sikap permusuhan harus dihilangkan dan perdamaian harus disemai.
Kebencian terhadap agama lain, etnis lain, golongan lain, dan suku lain sudah waktunya untuk dihilangkan secara
bertahap.

Dakwah Nabi dalam menyebarkan Islam  dengan membumikan nilai-nilai persaudaraan,
kedamaian, kerukunan dan kasih sayang
semestinya menjadi teladan baik bagi semua pihak. Dalam surat An-Nahl ayat 125 Nabi diperintahkan untuk berdakwah
dengan cara-cara bijak (alhikmah), nasehat yang baik (mau’idzah
hasanah
), dan perdebatan yang bersifat konstruktif (mujadalah). Nabi tidak diperintahkan menebarkan kebencian, permusuhan, dan pembunuhan.

Kerjasama
antar-kelompok masyarakat,
bahkan
antar agama perlu dilakukan demi harmonisasi dan humanisasi. Interaksi sosial dapat berjalan secara inklusif, moderat, dan progresif.
Masing-masing kelompok hanyalah bisa memahami hakikat
eksistensi dirinya
manakala berinteraksi dengan orang  lain, mencoba memahami orang lain dan mengambil manfaat realitas majemuk yang ada.

Benih-benih kebencian yang bersumber dari pemahaman
keagamaan yang bercorak
eksklusif, kontestasi ekonomi,
sosial, pendidikan, dan
politik dengan sendirinya akan hanyut
oleh pemahaman keagamaan yang
inklusif. Di mana pemahaman seperti ini tidak akan tumbuh kecuali melalui proses interaksi positif dengan umat agama
lain. Dalam konteks ini, agama lahir sebagai
sumber kedamaian dan kebahagiaan lahir
batin, bukan sumber kebencian, konflik,
dan agitasi yang melahirkan disharmoni sosial.[]

Ust.
Jamal Ma’mur Asmani,
dosen Institute
Pesantren Mathaliul Falah, Direktur Lembaga Studi Kitab Kuning, Pati.

 

https://www.arrahmah.co.id/2021/04/larangan-menebar-kebencian.html