Islam, Kesetaraan Gender dan Bahaya Narasi Tunggal

Laduni.ID, Jakarta – Salah satu ajaran sentral sekaligus prinsip pokok dalam Islam adalah prinsip egalitarian yakni persamaan antar manusia, baik laki laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, hingga keturunan. Bahkan, hal tersebut ditegaskan dan diatur dalam ayat al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13, yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ (١٣)

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan persamaan baik dalam hal ibadah hingga kegiatan atau aktivitas sosial. Ayat tersebut jelas mematahkan pandangan tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang sering disuarakan belakangan ini.

Bahkan, saat ini agama sering dianggap dan dituduh sebagai lumbung utama adanya ketidakadilan dalam masyarakat, termasuk ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan yang sering disebut dengan ketidak adilan gender.

Gender merupakan jenis kelamin bentukan yang dikonstruksi oleh budaya serta adat istiadat yang hidup di masyarakat. Misalnya seorang laki-laki haruslah kuat, berani, memimpin, pintar, dan sifat-sifat maskulinitas yang lain. Di satu sisi, perempuan dianggap sebagai ‘produk gagal’ karena sifat mereka yang lemah, takut, tidak cerdas, tidak bisa menjadi pemimpin dan lain-lain.

Kemudian, Isu tentang gender ini semakin kuat karena disadari jika perbedaan gender itu telah melahirkan suatu ketidakadilan dalam beberapa bentuk, misalnya marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan yang negatif bagi perempuan. Hal tersebut menjadikan perempuan hanya bergelut dalam urusan rumah tangga, atau saat ini disebut sebagai 3R, yaitu dapur, sumur dan kasur. Lalu, kekerasan dan double burden terhadap perempuan yang bermuara pada perbuatan tidak adil ini semakin meningkat. Padahal perbuatan tidak adil adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT.

Padahal saat ini, peran perempuan sangat dibutuhkan dalam berbagai sektor seperti pendidikan, kepemimpinan, politik, hingga urusan hukum. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih prestasi pada bidang apapun dengan batasannya masing-masing. Artinya, laki-laki dan perempuan adalah insan manusia yang diciptakan untuk saling melengkapi dari satu kekurangan dengan kekurangan yang lainnya.

Dalam ajaran Islam, salah satu obsesi untuk mensejahterakan umat manusia adalah terbentuknya keadilan bagi masyarakat dalam berbagai bidang dan semua segi. Bahkan, al-Qur’an sendiri menjelaskan jika keadilan harus didapatkan baik manusia sebagai Individu maupun sebagai kelompok masyarakat. Meski demikian, timbul pertanyaan di masyarakat apakah ajaran Islam yang menyamaratakan antara laki-laki dan perempuan adalah sebuah kemunduran dan melanggar fitrah? Sebab jika melihat sejarah manusia, ada perbedaan dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Sebenarnya, anggapan-anggapan seperti inilah yang mencerminkan, secara tidak langsung, bahwa masih banyak orang yang belum sepenuhnya memahami ajaran Islam terutama dalam hal isu kesetaraan gender, sehingga terjebak dalam narasi tunggal dan memahami ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual saja. Padahal, jika dilihat lebih jauh, Islam sudah sangat berkembang pesat dari segi pemikiran mulai dari zaman permulaan kedatangan Islam, hingga munculnya pemikiran-pemikiran baru yang diinisiasi oleh mazhab terdahulu, dan para pemikir pembaharu Islam sehingga pengaruh pemikirannya terasa dan dijadikan sebagai dasar dalam memutuskan suatu perkara saat ini.

Ada beberapa contoh implikasi kesetaraan gender dalam Islam yang harus diperhatikan, diantaranya adalah adanya transformasi pemikiran hukum  Islam yang berkaitan dengan isu kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam teks al-Qur’an maupun hadis. Seperti pada hukum poligami dan kewarisan dalam Islam.

Misalnya dalam al-Qur’an surah An-Nisa ayat 3, dijelaskan tentang syariat dan praktik poligami meskipun secara hukum belum dijelaskan apakah mubah, sunnah atau wajib. Meskipun para ulama telah sepakat bahwa pada ayat tersebut bisa menjadi dasar hukum untuk kebebasan berpoligami,  tapi ada masalah yang timbul di masyarakat: Apakah hal tersebut adalah tujuan dari agama Islam dan menjadikan perempuan hanya sebagai objek dalam pernikahan.

Karena itu, diperlukan penelusuran lebih jauh, mulai dari sejarah turunnya ayat, kebiasaan bangsa arab, dan budaya yang ada pada saat itu agar kita tidak terjebak dalam narasi tunggal tentang poligami dan menjadikan ayat tersebut sebagai ‘senjata’ demi melampiaskan nafsu belaka. 

Isu kesetaraan gender dalam Islam adalah perbincangan dan pembahasan yang tidak pernah selesai dari dulu hingga saat ini. Namun, dalam aliran pemahaman kesetaraan gender sendiri memiliki perbedaan masing-masing, mulai dari feminis liberal, marxis, hingga radikal. Karena itu, Islam hadir sebagai agama rahmatan lil alamin untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia baik laki-laki ataupun perempuan dalam porsinya masing-masing.

Ditulis oleh Ulfa Abdullah
Ketua Fatayat NU UK

____________________
*Artikel ini bagian dari  program alternatif  naratif yang dilaksanakan oleh podcastren dan indika foundation

https://www.laduni.id/post/read/517254/islam-kesetaraan-gender-dan-bahaya-narasi-tunggal.html