Hari Santri Nasional, Menemukan Filosofi Kata SANTRI

Logo HSN versi RMI NU dan Kemenag RI 2021

Oleh Muhamad Mufti AW, Guru Pesantren Darunnajah Cipining, Bogor

Bismillāh ar-rahmān ar-rahīm.

Pertama-tama, perkenankan hamba mengucapkan:

“SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL

22 Oktober 2020

Dirgahayu Santri se-Nusantara”

Kepada segenap santri, asātidzah dan kiai yang mulia di pondok pesantren di seluruh penjuru nusantara tercinta.

Sejak awal diresmikannya Hari Santri Nasional, di antara hal ringan (semacam trivia) yang diperbincangkan adalah tentang kepanjangan/akronim dari kata SANTRI.

Sudah banyak santri, ustaz dan kiai yang melakukan perenungan tentang hal itu. Dan hasilnya adalah kata/kalimat dengan redaksi yang bagus dan indah. Bahkan ada yang puitis dan ritmis. Isinya pun tak sedikit yang komprehensif atau mendekati.

Meskipun belum layak untuk sekadar diberi gelar “Santri Kehormatan”, ingin rasanya hamba ikut (-ikutan) mengurai kata santri.

Tentu bukan dengan membuka KBBI atau menelaah berbagai buku dan jurnal di mana para akademisi dan pengamat merumuskan atau mengutip pendapat tentang istilah santri.

Setelah sekian (dan sangat) lama, jadilah hasil ‘otak-atik gathuk‘ yang sederhana sebagai berikut:

S A N T R I

S yaitu Salīmul `aqīdati wal fikr;
سليم العقيدة والفكر
(Keyakinan agama dan pemikirannya benar/lurus).

A yaitu Amīnun shādiqul wa`d;
أمين صادق الوعد
(Dapat dipercaya dan menepati janji).

N yaitu Nabīlul khuluqi was sulūk;
نبيل الخلق والسلوك
(Akhlaknya mulia dan perilakunya terhormat).

T yaitu Taqiyyun ābidun zāhidun wariun mutawādhi`;
تقي عابد زاهد ورع متواضع
(Bertakwa, taat beribadah, zuhud, wara’ dan rendah hati).

R yaitu Rāsikhul ilmi mutfaqqihun fiddini āmilun bih;
راسخ العلم متفقه في الدين عامل به
(Ilmu-ilmu agamanya meresap [mendalam dan luas], dan mampu mengaplikasikannya)

I… (Inilah yang agak lama mencari ‘cocokologi’-nya).

Oh ya, baru ketemu. Semoga tidak terlalu dipaksakan, yaitu:
“Iswatun hasanatun wa qudwatun shālihatun libanī jinsih“.
إسوة حسنة وقدوة صالحة لبني جنسه
(Teladan dan panutan bagi sesama)

[Semoga jika tahun ini (kembali) diadakan lomba, ada relawan yang berkenaan menjadi promotor dan mendaftarkan ‘karya’ hamba di atas. Semoga pula panitia dan jurinya langsung menetapkan hamba jadi pemenang. (he he he…)].

Hamba tidak berpretensi mewakili baik santri (pesantren) salaf maupun (terlebih lagi) yang khalaf. Entahlah.

Sekadar mengingat, sependek yang hamba ‘catat’, core activity/business para santri (mestinya) ialah tafaqquh fiddīn (mendalami ilmu-ilmu agama) dalam pengertian spesialisasi (takhassus).

Sehingga mereka kelak berhak diwisuda dengan gelar faqīh (jamak: fuqahā’) dan ulama fiddin. Note: Tentu dengan memperdalam di ma’had `ālī dan jenjang post graduate.

Nah, sekembali dari pesantren, santri harus siap dipanggil dengan sebutan kiai, ustadz, ajengan, buya, syaikh, tuan guru, dan sebagainya. Dalam arti siap terjun ke masyarakat(nya) menjadi mundzirul qaum.

Hal ini sesuai dengan amanat Allāh SWT yang termaktub dalam QS At-Taubah/9: 122.

Atau, sekurang-kurangnya menjadi muslim yang dapat menjalankan ibadah sehari-hari –yang bersifat fardhu `ain– dengan benar dan baik. Tidak pakai nitip dan minta diwakilkan, selama masih hidup. Atau, bahkan meminta opsi membayar fidyah saja…

Plus siap dan sanggup mengamalkan ilmunya secara konsisten dan konsekuen di mana pun dan kapan pun berada.

Jumlah santri yang sedang menimba ilmu di pesantren ditambah alumninya memang terus bertambah dan secara kumulatif sudah banyak. Alhamdulillāh.

Tetapi secara kuantitas, apalagi kualitas, hal itu selalu belum mencapai minimum kecukupan (kifāyah) dilihat dari “rasio ulama : ummat”.

Di banyak tempat dan komunitas masih dijumpai kekurangan guru agama/ngaji, ustadz, da’i, muballigh. Terlebih lagi yang berkualifikasi faqīh (fuqahā’) mujtahid dan alim (ulamā’) fiddīn.

Belum lagi jika berbicara angka (jumlah dai) yang diperlukan untuk berdakwah di mancanegara (negeri mayoritas nonmuslim).

Terkait peringatan Hari Santri, ada baiknya jika sejak tahun ini dan seterusnya, cukup dilakukan secara bersahaja di ‘Satminkal’ masing-masing.

Motto-nya: “Dari santri, oleh santri”. Nah untuknya, baru: “untuk negeri tercinta dan dunia”.

Kreasi dan inovasi acaranya perlu dipikirkan untuk benar-benar tetap relevan dengan ruh (spirit) pendidikan pondok/pesantren: ikhlas, sederhana (bersahaja), hemat dan mandiri.

Berbagai seremoni yang cenderung mubazir dan tidak layak perlu untuk secara bersama-sama dihindari.

Momentum musibah pandemi Covid-19 ini hendaknya menyadarkan kita ‘warga negara’ dan ‘penduduk’ sah pesantren untuk memilah dan memilih hanya hal-hal yang esensial dan substansial. Wallāhu a`lam. Tak lupa hamba selalu mohon tegur sapa dan koreksi.

Sekali lagi: Dirgahayu Santri se-Nusantara.

Note:

Tambahan renungan di momentum peringatan Hari Santri Nasional:

JATIDIRI (IDENTITAS) SANTRI NUSANTARA:

  • Kukuh berakidah ahlussunah,
  • Rajin dan ikhlas beribadah,
  • Giat thalabul ‘Ilmi dan tekun bertafaqquh fiddīn,
  • Semangat berkarya dan berkhidmah,
  • Teguh merajut ukhuwah,
  • Santun dan ramah bermu’amalah.