Flexing Para Crazy Rich dan Pornografi Dea Onlyfun: Fenomena Eksistensi Manusia di Media Sosial?

Oleh Nurani Soyomukti, Anggota KPU Trenggalek Jawa Timur

Secara harfiah, “flexing” dalam bahasa Inggris berarti ‘pamer’. Menurut ‘Cambridge Dictionary’, flexing adalah menunjukkan sesuatu kepemilikan atau pencapaian dengan cara yang dianggap orang lain tidak menyenangkan. Jadi yang jadi masalah sebenarnya ketika tindakan pamer itu memuat hal “yang tidak menyenangkan”. Tapi bukankah hal itu sifatnya relatif? Karena bagi pikiran dan perasaan tiap orang, apa yang membuatnya menyenangkan atau tidak menyenangkan itu berbeda.

Tindakan “pamer” sebenarnya berakar dari eksistensi diri yang senantiasa ada pada tiap manusia. Dengan cara yang samara tau vulgar, dengan membungkus dengan balutan kata-kata dan caption, postingan ingin menunjukkan siapa dirinya, siapa diri kita, senantiasa menghiasi medsos tiap hari. Misal, ada teman-teman facebook saya yang postingannya tiap hari hanyalah foto saat ia dalam keadaan cantik, mislanya kulih halus karena habis “make up”—sebagian saya duga foto diambil setelah dandan sebelum berangkat kerja. Ia ingin dilihat orang lain hanya ketika dalam keadaan cantik.

Tujuan utamanya menunjukkan bahwa dirinya cantik, tapi tambahan kalimat caption bisa saja narasi narasi yang dianggap menghaluskan tujuan utamanya.

Tiap manusia umumnya memang ingin dilihat orang lain. Tak punya benda mewah yang dimiliki, atau harta, ya bisa pamer yang lain. Misalnya pamer tubuh, di medsos banyak yang seperti itu. Ingin dilihat bahwa dia punya tubuh yang cantik dan seksi. Intinya biar hal itu dilihat dan agar yang pamer tubuh itu juga bisa meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa ia ada, eksis, dan keberadaannya “nyambung” atau berhubungan dengan orang lain—semacam pengakuan dalam diri. Eksistensi dan pengakuan tak bisa dipisahkan.

Orang lainnya, termasuk saya, ketika memosting buku atau tulisan, mungkin juga bagian dari itu. Sadar atau tidak—faktanya alam bawah sadar manusia itu dominan. Sedangkan ketika mau mosting sesuatu, hubungan antara alam bawah sadar dan alam sadar kadang tak kita urai. Eksistensi diri manusia macam-macam. Tergantung kemampuan dan kemauannya, tergantung latarbelakangnya. Pengungkapannya juga bisa macam-macam, bisa halus dan bisa vulgar. Sedangkan tiap orang punya kebiasaan “control diri” yang berbeda-beda.

Lantas tingkah laku kita memang berhadapan dengan cara pandang diri masing-masing orang dan juga falsafah hidup yang diatur baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Kita punya undang-undang yang mengatur tingkahlaku, misalnya UU ITE dan UU Anti-Pornografi dan Porno-Aksi. Undang-undang inipun masih dalam perdebatan. Pertanyaannya: Apakah segala tingkah laku manusia akan dikembalikan pada pribadi masing-masing?

Ataukah ada falsafah hidup yang memang harus disepakati bersama soal BENAR DAN SALAH, BAIK DAN BURUK BURUK, INDAH DAN TAK INDAH? Masing-masing jelas punya kemampuan berbeda-beda dalam BERLOGIKA, BER-ETIKA, dan BER-ESTETIKA! Meski demikian, tetap harus hati-hati. Undang-undang yang merupakan patokan ukuran nilai bersama bisa saja menjerat kita—apalagi jika ada yang melaporkan dan menggugat tingkahlaku kita di hadapan hukum!

Pamer harta, pamer kekayaan, pamer kepemilikan, pamer aktivitas, pamer kebersamaan, pamer karya, pamer pemikiran—mungkin masih berada pada tahap aman. Misal kamu memamerkan mobil mewahmu atau pesawat pribadimu, sudah jelas tidak ada nilai melawan hukum di dalamnya kalau hanya sekedar pamer lewat foto. Tapi kalau misal ada kata-kata atau pernyataan yang sifatnya bully, fitnah, hoax yang melanggar hak orang lain, bisa mengarah pada tindakan pidana ITE.

Pasal 1 angka 1 UU Pornografi (UU No 44 Tahun 2008) lebih jelas memberikan definisi mengenai pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Sedangkan bunyi aturan itu dalam Pasal 4 ayat (1), “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat antara lain: persenggamaan (termasuk yang menyimpang), kekerasan seksual, masturbasi (onani), ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.”

Memang kalau kamu lihat Tiktok dan Reel di medsos, ya jarang sich perempuan yang telanjang atau mengesankan ketelanjangan. Yang banyak sich, paling-paling yam megal-megol pakai daster tipis atau tanktop atau pakaian minim yang membuat belahan dadanya kelihatan dan bisa merangsang nafsu sebagian laki-laki.

Sebenarnya sih undang-undang Pornografi itu agak kontroversial dan penuh perdebatan. Sebab pihak yang tak setuju dengan adanya UU tersebut menganggap bahwa adalah hak bagi tiap individu untuk memperlakukan tubuhnya sepanjang tidak melanggar hak orang lain. Dalam tindakan mencari kebahagiaan atau meneguhkan eksistensi dengan pamer tubuh, memang taka da aspek melanggar hak orang lain. Kalau ada sebagian—mungkin sebagian besar—laki-laki yang terangsang melihat tubuh perempuan, maka hal itu adalah karena pikiran yang ada pada laki-laki sendiri. Manusia bebas memperlakukan tubuhnya untuk mendapatkan kebagagiaan, tak harus ditafsirkan bahwa ia akan mengancam hak orang lain. Bahkan hak orang untuk menikmati tubuhnya dengan cara terangsang juga bukan merupakan kejahatan. Selama ia menikmati rangsangan dengan cara yang tak mengancam hak orang lain, hal itu bukanlah kejahatan.

Pandangan tersebut tentu berangkat dari paradigma Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam paradigm aini hak tiap orang dihargai, termasuk hak untuk memperlakukan tubuhnya sendiri sepanjang tak merugikan hak orang lain. Dampak dari aksi memperlihatkan kepornoan tak dilihat dari sisi orang yang melihatnya, tapi dari sisi hak orang yang melakukannya sebagai pilihan individunya yang harus dijamin. Juga berangkat dari pluralitas dan hak tiap orang untuk merespon apa yang dilihatnya dengan cara berbeda-beda. Misal ada orang yang menonton video porno, maka pilihan untuk bertindak sebagai efek dari menonton itu adalah hak masing-masing.

Misal kemudian terangsang dan butuh pelampiasan nafsu, bisa merayu istri untuk “ngeseks”. Bahkan ini pun juga harus berhadapan dengan hak tiap individu yang harus dihormati, misalnya istri yang punya hak untuk mau diajak ngesek atau tidak. Haknya amat dihormati. Di negara-negara maju, ada jaminan hukum bahwa istri tak boleh dipaksa suami berhubungan seks. Makanya muncul istilah “marital rape” alias perkosaan dalam pernikahan.

Mungkin dampak dari menonton video atau gambar porno adalah—jika tak ada pasangan ngeseks—melakukan masturbasi. Apakah masturbasi melanggar hukum?

Ada kasus orang masturbasi yang dipidana karena menyebarkan video tindakan onani itu di medsos dan yang terkena pidana adalah aspek menunjukkan tindakan itu di muka umum. Lha kalau soal masturbasi untuk diri sendiri tanpa ada aksi menyebar tindakan itu, hal itu tak bertentangan dengan hukum. Bahkan ada pandangan medis yang menyatakan bahwa dalam hal tertentu onani itu sehat dan aman. Tapi memang bagi kebanyakan agama, onani atau masturbasi itu dilarang.

Tapi secara hukum, tak ada pasal satupun yang menyatakan bahwa tiap orang yang masturbasi akan dipidana. Yang masuk kategori pidana adalah menyebarkan di muka umum termasuk melalui media sosial tindakan seksual itu. Termasuk di Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Pornografi (UU Nomor 44 Tahun 2008).
Argumen yang seiring dengan paradigma HAM adalah fakta yang menyatakan bahwa tiap orang yang memilih suatu tindakan pasti akan siap menanggung resiko yang berasal dari dirinya sendiri dan resiko itu tak bisa ditimpakan pada kesalahan orang lain. Negara dan hukum menjamin pilihan tiap orang itu dan menjamin keamanan dan keselamatan orang agar terbebas dari tindakan orang lain yang akan melanggar hak-haknya. Jadi misalnya kamu terangsang dan akhirnya ingin ngeseks, jangan salahkan orang lain yang memajang konten tiktok yang menyuguhkan perempuan megal-megol pakai daster dan dadanya yang padat kelihatan separo.

Kenapa? Karena sebenarnya kamu punya pilihan sebelumnya yang bisa membuatmu memilih untuk tidak memilih melihat video itu. Bahkan juga ada pilihan sebelumnya, yaitu kamu juga bisa memilih apakah kamu mengakses akun Tiktok atau tidak. Bahkan apakah kamu menggunakan akun-akun untuk platform medsos lain (FB, IG, dan lain-lain) itu juga hak kamu. Tak ada yang memaksanya. Orang lain bebas memajang foto dan videonya yang menyuguhkan tubuhnya, itu hak dia. Kamu memilih untuk melihatnya atau tidak, itu juga hak kamu.

Akhirnya, paradigma HAM ini memang meniscayakan adanya kesadaran individu. Tiap individu dianggap punya potensi memiliki kesadaran. Tidak boleh tiap individu divonis sebagai orang yang lemah dan tidak punya potensi mengendalikan dirinya, memperoleh kesadaran atas pilihannya. Jadi, pada akhirnya kita harus menyadari potensi diri kita, menyadari kemampuan kita untuk mengontrol, diri kita dan mengontrol lingkungan kita.

Paradigma HAM sebagai anak kandung dari zaman pencerahan memandang bahwa tiap individu bukan saja harus bebas dari penindasan orang lain, tapi bahwa tiap individu punya potensi besar untuk mengatasi persoalan-persoalan hidupnya baik secara sendiri maupun bersama-sama. Pilihan individu sangat dihormati, dan keamanan individu dari pelanggaran haknya oleh orang lain sangat dijunjung tinggi.

Jadi, kembali pada fenomena “flexing”, misalnya. Kita memang melihat orang yang pamer kekayaan lewat medsos sebagai tingkahlaku yang lahir dari hak pribadinya, terutama mengisi konten media sosialnya. Secara hak asasi manusia, ia tak dilarang apalagi tak ada hak-hak kita yang dilanggar. Kitapun juga boleh mengomentari tindakan itu sebagai hak kita, lewat akun kita atau lewat mana saja. Sepanjang berkomentar sebagai bentuk penyampaian opini yang tidak melanggar apa yang ada dalam UU (misal UU ITE) yang mengarah pada pidana fitnah, hoax, dan lain-lain, kita punya kebebasan untuk merespon sikap dan tindakan orang lain itu bukan hanya dengan komunikasi intra-personal dalam diri kita sendiri, tetapi juga boleh diungkapkan pada orang lain itu.

Dalam era di mana media sosial menegaskan karakter keterbukaan informasi dan membuka ruang bebas untuk konten tulisan, audio, visual, audio-visual, kita akan menghadapi berbagai macam tingkahlaku manusia di sana. Kita juga bisa menjadi bagian dari mereka. Kalau tidak setuju pada tindakan orang lain di sana, boleh menanggapi. Diam saja juga boleh. Diam bukan berarti setuju. Tidak diam dan malah bisa menebarkan kebaikan dan pikiran yang mempengaruhi pada kebaikan, malah baik.

Tidak menanggapi dan cuek pada medsos juga boleh. Sekali lagi itu hak kita. Hidup secara bermakna tanpa medsos juga bisa. Hidup dengan medsos dan tetap tidak merasa terusik, tetap bisa menjalani hidup dengan baik-baik saja juga Oke. Dan menggunakan medsos untuk mempengaruhi orang lain juga boleh. Siapa tahu yang kita sebarkan adalah pikiran-pikiran dan pandangan baik yang berguna untuk masyarakat banyak atau setidaknya untuk orang lain meskipun tak banyak.[]