Cara Syekh Abu al-Hasan as-Syadzili Mengubah Fitnah Menjadi Rahmat

Dalam berbagai literatur Islam, kita sering mengenalnya sebagai Abu al-Hasan as-Syadzili (1196-1258 M). Dalam buku karya Makmun Gharib perihal sejarah hidup Syekh Sadzili, ia dapat menjadi cermin dan teladan bagi masyarakat umum, terlebih bagi kalangan kiai dan ulama Indonesia yang akhir-akhir ini banyak menghadapi cobaan dan ujian-ujian berat. Meski begitu, kemahiran dalam mengikapi ujian seringkali gagal lantaran menganggap fitnah sebagai sesuatu yang datang dari unsur liyan (eksternal). Padahal, segala cobaan dan fitnah itu hakikatnya dikarenakan Allah sedang menyodorkan ujian, apakah kita sanggup menyikapinya dengan baik atau tidak.

Berikut saya sampaikan kisah sederhana, bagaimana Syekh Syadzili begitu terampil dan elegan dalam menghadapi fitnah dan caci-maki yang ditujukan pada dirinya, akibat kedengkian orang-orang yang berbeda pendapat atau berseberangan paham dengan dirinya.

Dikisahkan ketika Syekh Syadzili belajar ke Maroko pada abad ke-7 Hijriyah. Ia berguru pada Syekh Abdul Salam bin Masyisy, yang kemudian menyarankan agar menuntut ilmu ke Tunisia, hingga ke suatu daerah bernama Syadzilah. Di sekitar bukit Zaghwan ia berkhalwat hingga mencapai tahap penguasaan Islam yang cukup matang. Kapasitas ilmu dan kesalehannya kemudian mengangkatnya sebagai pusat perhatian publik.

Sebagian masyarakat pribumi merasa tidak senang dengan kehadiran Syekh Syadzili yang masyhur. Seorang hakim di Tunisia, Abul Qasim al-Barra, yang memiliki otoritas publik serta-merta menghembuskan rumor dan isu-isu negatif mengenai Syekh Syadzili. Dia mengulik setiap kekurangan dan kesalahan sekecil apapun yang dilakukan Syekh Syadzili lalu menyebarluaskannya. Fitnah yang gencar dilontarkannya antara lain bahwa Syadzili adalah intel dan mata-mata dari negeri Maroko. Syekh Syadzili dituduh sebagai penganut ajaran Fatimiyah, yang akan menyebarkan paham itu ke seluruh wilayah Tunisia.

Nasab Syekh Syadzili yang memang terhubung ke Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib (Fatimah), dijadikan alasan al-Barra, bahwa Syadzili ingin mengambil-alih kekuasaan, serta membangun kekuatan Dinasti Fatimiyah di seluruh negeri Tunisia.

Sultan Tunisia merasa kalang-kabut, dan segera memanggil Syadzili untuk dihadapkan kepada para ulama tersohor dan cendekiawan muslim di negerinya.  Sultan ikut menyimak bagaimana Syadzili menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial yang diajukan para ulama dan cendekiawan itu, perihal ajaran Islam, akidah, tasawuf, hingga ke persoalan yang lebih rawan tentang politik dalam negeri. Tak berapa lama, para pakar dan ulama tersebut memahami kapasitas keilmuan yang dimiliki Syekh Syadzili, hingga sang sultan dan petinggi negeri akhirnya meyakini dan menghormati keberadaan Syekh Syadzili sebagai warganegara yang jujur, baik, dan sangat berpotensi untuk membangun negerinya.

Baca juga:  Ulama Banjar (24): KH. Hasan Mugeni Marwan

Agitasi dan propaganda al-Barra terus dilancarkan. Ia mengumpulkan bukti-bukti secara sepihak bahwa Syadzili telah mengambil bagian dalam penyebaran paham Fatimiyah, serta mencuci-otak warga Tunisia dengan ajaran tersebut. Dalam beberapa waktu sang sultan sempat terpengaruh, hingga mengeluarkan dekrit pencekalan agar Syadzili tak boleh keluar negeri. Ia dikenakan sebagai tahanan rumah. Dalam situasi terancam yang mencemaskan dirinya, Syekh Syadzili dengan khusyuk: “Wahai Zat Yang Menggenggam Kursi Kekuasaan, aku mohon dilimpahkan keimanan yang menentramkan batin, tidak merisaukan urusan rizki, serta tidak takut kepada makhluk-makhluk-Mu.”

Keteguhan iman dan kelembutan hati Syekh Syadzili, membuat sultan dan para menterinya menjadi terenyuh dan luluh hatinya. Mereka menyadari bahwa Syadzili memang tak memiliki kepentingan apapun, apalagi sampai merongrong untuk mengambil-alih kekuasaan. Akhirnya, keberangkatan Syekh Syadzili keluar negeri (Mekah) untuk menunaikan ibadah haji, dimanfaatkan al-Barra untuk melancarkan aksi provokasi terselubung.

Ketika rombongan Syekh Syadzili melewati jalur Mesir, rupanya penguasa Mesir telah disurati al-Barra dan pengikutnya, bahwa tim Syadzili akan mempropagandakan ajaran Fatimiyah kepada rakyat Mesir.

Sultan Mesir yang waspada terhadap ancaman keamanan negerinya tidak mengabaikan begitu saja surat peringatan tersebut. Meski demikian, ia pun tak mau percaya begitu saja sebelum mengetahui siapakah Syekh Syadzili itu yang sebenarnya. Singkat cerita, sesampainya di Mesir, Syekh Syadzili diundang untuk makan malam bersama sang sultan dan para utusannya. Mereka bercakap-cakap dan bertanya lebih jauh dalam rangka penyelidikan. Namun kemudian, justru para ulama dan cendekiawan Mesir itu terkagum-kagum pada kualitas keilmuan yang dimiliki Syekh Syadzili yang begitu mendalam, egaliter dan universal.

Kodrat pertentangan

Sejarah hidup Syekh Syadzili sebagai seorang mursyid, ulama besar dan tokoh sufi, yang memiliki banyak pengikut di berbagai belahan dunia, lambat laun semakin banyak pihak-pihak yang menyanjung, menghormati dan mencintainya. Di sisi lain, bermunculan pula orang-orang yang membenci dan memusuhinya. Namun demikian, dengan kedewasaan dan kematangan iman dan ilmunya, Syekh Syadzili menyadari bahwa segala ujian dan cobaan itu pada hakikatnya lantaran Allah menyodorkan di hadapannya, agar dapat mengetahui seberapa kuat ia menghadapi dan menyikapi cobaan yang diberikan itu.

Baca juga:  Menggali Nilai Karakter Cagar Budaya Dokterswoning

Bagi Syekh Syadzili, setiap pengalaman pahit yang dihadapi manusia, terutama terkait hubungan dengan manusia lain, perlu dimaknai sebagai cara Allah untuk membersihkan hati, serta menjauhkan kecenderungan dan ketergantungan terhadap makhluk manusia. Sesungguhnya, hanya Allah-lah yang berkuasa membolak-balik hati, hanya Dia yang menggenggam dan menempati singgasana hati manusia dan seluruh makhluk-makhluk-Nya.

Untuk itu, rasa sakit yang ditimbulkan akibat perilaku fitnah, amarah, dengki, dan dendam-kesumat orang yang ditujukan kepada kita, justru akan membantu meluruhkan kotoran-kotoran hati kita sendiri, sejauh kemampuan kita untuk menyikapi segala ujian itu dengan penuh kesabaran.

Jadi pada prinsipnya, para wali dan kekasih Tuhan seumumnya memperoleh kemuliaan dan derajat tinggi, bukan hanya mampu menjalankan amal ibadah yang luar biasa berat, melainkan juga karena ketangguhan dan keikhlasannya dalam menerima ujian-ujian rohani. Mereka yang memilih (atau dipilih Allah) untuk menempuh jalan spiritual, akan senantiasa dihadapkan pada tantangan kerohanian yang jauh melampaui kesanggupan manusia-manusia pada umumnya.

Semakin dekat langkahnya menuju Allah, maka akan semakin berat dan terjal segala halang rintang yang dihadapinya.

Keluasan dan kedalaman ilmu, serta kesucian hati yang dimiliki Syekh Syadzili, menimbulkan daya tarik dan pesona tersendiri dalam hati sanubari orang-orang beriman dan bertakwa. Banyak orang berbondong-bondong belajar agama, dan menjadi muridnya di jalan tasawuf. Hingga dalam waktu beberapa dekade saja, pengaruh kuat Syekh Syadzili semakin luas menjangkau banyak negara di belahan dunia manapun.

Selalu Ada al-Barra

Bila kita melihat dengan jangkauan lensa yang lebih luas, ternyata orang sejenis al-Barra seringkali kita jumpai di sekitar kita juga. Bahkan, sesama pejabat tinggi dan aparatur negara pun banyak yang hanya pandai menemukan kesalahan dan kekurangan dari koleganya dalam menjalankan program yang dicanangkan negara. Bukannya menolong dan mencarikan jalan keluar, malah mengolok-olok dan menertawakannya lewat media massa.

Selain jajaran birokrasi yang bertradisi sentimen dan mempersulit, kita pun menyaksikan masih banyak akademisi yang seakan hidup di atas menara gading. Gaya hidup hedonis dan “asal babeh senang” masih saja dikunyah-kunyah, hingga mempersulit ruang gerak untuk bereksplorasi menciptakan karya-karya besar. Masih banyak generasi lama (status quo) yang sulit menerima dan melayani hasil-hasil kreasi anak bangsa, karena dibenturkan oleh sikap-sikap temperamen, arogansi dan keangkuhan semacam itu (baca: Lomba Membuat Kue Serabi di NU Online).

Baca juga:  Mengenal KH. Afifuddin Muhajir (5): Kiai Afif dan Isu Gender: Dari Kepemimpinan Perempuan hingga Poligami

Bangsa ini seakan malas untuk berupaya saling membukakan jalan. Para aparat penegak hukum, politisi, birokrat, ilmuwan, kebanyakan lebih bertumpu pada kekhilafan dan kesalahan yang dilakukan orang ketimbang saling membukakan jalan. Saya masih ingat betapa sulitnya para akademisi kita untuk menembus kesalahan dan kekurangan pribadinya yang tertuang dalam novel “Pikiran Orang Indonesia”. Padahal, pengungkapan watak dan karakter manusia Indonesia dalam suatu karya sastra, mencerminkan suatu bangsa yang sanggup bermuhasabah dan berkaca diri. Seperti yang disampaikan dalam hadits Rasulullah: “Beruntunglah orang yang memeriksa kesalahan pribadinya ketimbang mereka yang sibuk mengorek-ngorek kesalahan orang lain.”

Sepantasnya para pejabat, politisi dan penegak hukum tidak melihatnya dengan kacamata dalil hukum yang bersifat kognitif, tetapi harus metakognitif, demi rasa keadilan bagi kemaslahatan. Sudut pandang ini meniscayakan penegak hukum dapat melihat dari perspektif yang berbeda. Bukan dengan kacamata kuda yang tertutup besi, tetapi dengan “hati”.

Saya katakan dengan hati dan bukan semata-mata pikiran yang hanya mengandalkan kecerdasan otak semata. Untuk itu, diperlukan sifat “tepo seliro”, yang berpikir dalam konteks, “bagaimana seandainya aku jadi dia”.

Saya menyatakan salut atas terobosan yang dilakukan orang-orang yang mau bersikap independen untuk membangun peradaban umat, tanpa harus menunggu bantuan dan campur-tangan pemerintah. Tak terkecuali para penulis karya sastra milenial, yang saat ini pun sedang direcoki oleh musuh-musuh “politiknya” lantaran mereka menganggap dirinya telah mengalami “mati rasa”.

Mati rasa yang dialami orang-orang seperti itu, sejenis dengan al-Barra yang biasanya senang bergerombol dan mencari-cari tim pengikut secara tidak fair dan alami. Tipikal semacam itu, paling banter hanya sibuk bergosip dan mengorek-ngorek kesalahan sekecil apapun yang dilakukan orang, sementara kesalahannya sendiri yang seabrek dan berjibun, justru tak dihiraukannya. []

 

https://alif.id/read/eeng/cara-syekh-abu-al-hasan-as-syadzili-mengubah-fitnah-menjadi-rahmat-b247276p/