Biografi KH. Ahmad Djazuli Utsman

Daftar Isi Profil KH. Ahmad Djazuli Utsman

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Pendidikan
  5. Mendirikan Pesantren
  6. Julukan Si Blawong

 

Kelahiran

KH. Mas’ud atau yang kerap disapa dengan panggilan KH. Ahmad Djazuli Utsman lahir pada 16 Mei 1900 M, di Ploso. Beliau merupakan putra ketujuh dari tiga belas bersaudara, dari pasangan Raden Mas M. Utsman panggilannya Pak Naib, seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan) dengan Nyi Mas Ajeng Muntoqinah binti M. Syafi’i.

Saudara-saudara beliau diantaranya, Iskandar, Zarkasi, Miftahul ‘arifin, Siti Maimunah (Bu Soleh), Siti Halimah, Abdulloh. Masjhud, Ardani, Siti Roihah, Siti Fatonah, Siti Aminah, dan Bairudin

Wafat

KH. Ahmad Djazuli Utsman wafat pada hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 atau bertepatan pada tanggal 10 Muharam 1396 H. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.

Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

Keluarga

KH. Ahmad Djazuli Utsman melepas masa lajangnya dengan menikahi Nyai. Rodliyah. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai 8 anak putra dan 3 anak putri. Anak-anak beliau diantaranya,

  1. Siti Azizah (meninggal di usia 1 thn)
  2. Hadziq (meninggal di usia 9 bln)
  3. KH. A. Zainuddin Djazuli
  4. KH. Nurul Huda Djazuli
  5. KH. Hamim Djazuli (Gus Miek)
  6. KH. Fuad Mun’im Djazuli
  7. Mahfudz (meninggal di usia 3 thn)
  8. Makmun (meninggal di usia 7 bln)
  9. KH. Munif Djazuli (Alm)
  10. Ibu Nyai Hajjah Lailatul Badriyah Djazuli
  11. Su’ad (meninggal di usia 4 bln)

Pendidikan

Sebagai anak bangsawan, Mas’ud adalah anak yang beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.

Sekolah‑sekolah yang dibentuk Belanda hanya mengajarkan ilmu‑ilmu umum, tujuannya semata‑mata memenuhi kebutuhan pernerintah Belanda untuk mencetak pegawai‑pegawai yang setia kepada pemerintahnya. Tidak sembarang rakyat dapat masuk sekolah, pemerintah kolonial hanya memberi kesempatan kepada kelompok kecil bangsa Indonesia yang terdiri dari anak‑anak pegawai, bangsawan dan tuan‑tuan tanah.

Hari demi hari Mas’ud terus berkembang seperti anak-anak yang lain. Usianya memasuki 6 ‑ 7 tahun ketika petugas sekolah memerintahkan kepadanya untuk melingkarkan tangan kanan diatas kepala sehingga menyentuh telinga kiri. Alhamdulillah, telinga itu telah tersentuh dan resmilah ia diterima sebagai murid Sekolah Desa di Ploso. Hanya itulah testing baginya, sekedar untuk menentukan usia bisa masuk sekolah di tingkat dasar.

Tiga tahun lamanya Mas’ud duduk dibangku cap jago dan kemudian ia meneruskan ke Inlandsche Vervolgshool, suatu sekolah lanjutan dengan masa pendidikan selama dua tahun.

Agaknya Mas’ud semakin rajin dan tekun belajar, tidak pernah ia mengandalkan atau membanggakan kecerdasan otak yang dimilikinya. Hampir seluruh waktunya untuk belajar. Pikirannya mulai sadar bahwa bimbingan dan pengarahan ayahnya yang keras dan disiplin sejak ia masih kecil tak perlu di terima dengan perasaan jengkel atau terpaksa menurut lantaran takut dimarahi. Karena apa yang dilakukan ayahnya adalah benar, semuanya dilakukan orang tua itu demi kebaikan putranya, demi masa depan buah hatinya. Oleh karena itu ia kini lebih banyak menimang‑nimang buku, ketimbang kelereng atau kemiri.

Setelah Inlandsche Vervolgschool diselesaikannya dengan angka memuaskan Mas’ud melanjutkan ketingkat SLTA, dia masuk Hollandsch‑Inlandsche School (HIS) di Cringging ‑ Grogol Kediri, Sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan sekolah ongko kaleh. Lagi‑lagi pemuda Mas’ud termasuk murid yang menonjol dalam pelajaran. Bahasa Belanda dikuasainya dengan baik, begitu juga aljabar (matematika), Ilmu ukur dan pelajaran‑pelajaran yang lain.

Terbuktilah diamnya Mas’ud adalah laksana lautan tenang dan dalam yang menyimpan banyak mutiara, hal ini membuat Pak Naib Utsman sangat bersyukur dan bangga melihat prestasi anaknya yang satu ini. Sejak itu Mas’ud mendapat tempat tersendiri di hati ayahnya.

Suatu ketika Pak Naib kedatangan Kiai Ma’ruf Kedunglo. “Pundi Mas’ud?”, tanya Kiai Ma’ruf mengawali pembicaraan dengan bahasa Jawa yang halus menanyakan kemanakah Mas’ud. Pak Naib menjawab: “Ke Batavia, dia melanjutkan sekolah di jurusan kedokteran”. Lalu dengan gayanya yang khas Kiai Ma’ruf mulai memberikan saran “Saene Mas’ud dipun aturi wangsul, larene niku ingkang prayogi dipun lebetaken pondok”. (Sebaiknya ia dipanggil pulang, anak itu cocoknya dimasukkan pondok pesantren), kata Kiai Ma’ruf. Rupanya beliau memiliki firasat tentang diri Mas’ud, agaknya beliau mengerti apa yang pantas bagi masa depan putra Pak Naib itu.

Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri.

Mas’ud mengawali masuk Pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.

Melanglang buana mencari ilmu ke berbagai guru yang mutawatir sanadnya, diantaranya adalah Pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, KH. Dimyati Tremas Pacitan, KH. Zainuddin Mojosari, Syekh al Allamah al Aidrus Makkah, dan lain-lain.

Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin.

KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Chasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasyim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).

Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.

Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu.

Setelah sempat mondok di Mojosari, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilannya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syekh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.

Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.

Sepulang dari tanah suci, H. Djazuli kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotussyekh KH. Hasyim Asya’ri.

Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasyim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya.

Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat.

Mendirikan Pesantren

Dengan modal tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.

Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Maka dengan ucapan Bismillah dan bekal Tawakal dibentuknya sebuah Madrasah.

Surat permohonan kepada pemerintah Belanda untuk lembaga baru yang kemudian dikenal dengan nama Al Falah itu tertanggal 1 Januarai 1925. Dibangunanlah Madrasah berlokasi didepan Masjid dan terdiri dari 2 lokal itu terkenal dengan sebutan Madrasah Abang (Madrasah Merah),disebabkan lantainya dari batu bata merah karena dananya terjangkau.

Peristiwa itu pada tahun 1927, konon Hadratus Syekh KH. Hasyim As’ari berkenan hadir pada acara tasyakuran pembangunan Madrasah tersebut. Pada tahun 1928 dibangun pondok pertama diberi nama pondok D (Darussalam) yang disusul tahun berikutnya dibangun pondok C (Cahaya). Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.

Pada jaman Jepang, beliau pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari beliau mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, beliau gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.

Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.

Selepas perang kemerdekaan, Pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba KH. Djazuli selama mondok di sana.

Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kiai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir.

Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kiai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum”, katanya berulangkali kepada para santri.

Julukan Si Blawong

Setiap hari diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.

“Co, endang ning pondok!”

“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kiai.” jawab Mas’ud.

“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”

Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kiai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.

Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa.

https://www.laduni.id/post/read/56820/biografi-kh-ahmad-djazuli-utsman.html