Biografi KH. Abdul Karim Hasyim

Daftar Isi Profil KH. Abdul Karim Hasyim

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Pendidikan
  5. Mengasuh Pesantren
  6. Karier
  7. Kiprah di Politik

Kelahiran

KH. Abdul Majid atau yang kerap disapa dengan panggilan KH. Abdul Karim Hasyim lahir pada 30 September 1919 M./1338 H, di Tebuireng. Beliau merupakan anak tujuh dari pasangan Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh. 

Saudara-saudara beliau diantaranya, Hannah, Khairiyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul  Khalik), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, dan Muhammad Yusuf.

Wafat

Pada tahun 1972, ketika KH. Abdul Karim Hasyim menunaikan ibadah haji bersama Kiai Idris Kamali dan keluarga Pesantren Seblak, Kiai Karim menderita sakit yang diakibatkan oleh perubahan cuaca. Setelah beberapa hari dirawat, akhirnya nyawa beliau tidak bisa tertolong lagi. KH. Abdul Karim Hasyim meninggal dunia pada  31 Desember 1972 dan jenazahnya dimakamkan di Makkah.

Keluarga

Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, KH. Abdul Karim Hasyim menikah dengan Masykuroh, putri seorang kiai yang kaya raya di Jombang. Buah dari pernikahannya, Kiai Karim dikaruniai empat putra, yaitu Muhammad Nasir, Lilik Nailufari, Muhammad Hasyim, dan Lilik Nafiqoh.

Pendidikan

Sejak kecil KH. Abdul Karim Hasyim dididik langsung oleh kakaknya, KH. Wahid Hasyim, serta kakak iparnya, Kiai Baidlawi. Dia terkenal sebagai anak yang rajin belajar.

Masa pendidikannya lebih banyak dihabiskan di Tebuireng. Dia tercatat sebagai salah seorang siswa pertama Madrasah Nidzamiyah yang didirikan kakaknya, Kiai Wahid Hasyim.

Selama Kiai Wahid Hasyim menjadi pengasuh Tebuireng, Kiai Abdul Karim Hasyim sudah dipercaya sebagai wakilnya sejak tahun 1947.

Di kalangan pesantren, Kiai Karim terkenal sebagai ahli bahasa dan sastra Arab. Beliau juga produktif menulis dengan nama samaran Akarhanaf, singkatan dari Abdul Karim-Hasyim-Nafisah.

Mengasuh Pesantren

Ketika KH. Wahid Hasyim diangkat manjadi Menteri Agama, kepemimpinan Pesantren Tebuireng manjadi kosong sehingga keluarga besar Bani Hasyim memilih KH. Abdul Karim Hasyim sebagai penggantinya. KH. Abdul Karim Hasyim resmi menjadi pengasuh Tebuireng sejak tanggal 1 Januari 1950 M.

Selama satu tahun memimpin Tebuireng, Kiai Karim banyak melakukan reorganisasi dan revitalisasi sistem madrasah. Pada masa kepemimpinannya, madrasah-madrasah di berbagai pesantren sedang mengalami masa-masa suram. Dikatakan suram karena sejak penyerahan KedaulatanRI dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RI tahun 1949, Pemerintah lebih memprioritastan sistem persekolahan formal (schooling) daripada madrasah. Sebuah perlakuan diskriminatif yang tidak adil. Perlakuan diskriminatif lainnya terlihat dari keputusan bahwa yang boleh menjadi pegawai negeri hanya mereka yang lulus sekolah umum.

Oleh sebab itu, madrasah-madrasah di Tebuireng pun akhirnya diformalkan sesuai dengan sistem persekolahan. Jika sebelumnya jenjang madrasah hanya dua tingkat, yakni Shifir dan Ibtidaiyah, pada masa Kiai Karim ditambah menjadi tiga tingkat. Yaitu Shifir dua tahun, Ibtidaiyah enam tahun, dan Tsanawiyah tiga tahun. Periode Kiai Karim merupakan masa transisi menuju intregasi sistem salaf dan sistem formal. Inilah tonggak awal dimulainya era pendidikan formal di Pesantren Tebuireng, yang kemudian diikuti oleh sejumlah pondok pesantren lainnya, khususnya di tanah Jawa.

Pada masa KH. Abdul Karim Hasyim, didirikan pula Madrasah Mu’allimin enam tahun. Jenjang ini lebih berorientasi pada pencetakan calon guru yang memilki kelayakan mengajar. Selain pelajaran agama dan umum, para siswa Mu’allimin juga dibekali keahlian mengajar seperti didaktik-metodik dan ilmu psikologi. Dengan adanya jenjang Mu’allimin, permintaan tenaga guru dari berbagai daerah dapat dipenuhi.

Setelah satu tahun mengasuh Tebuireng, KH. Abdul Karim Hasyim menyerahkan estafet kepemimpinan kepada Kiai Baidlawi, yang merupakan kakak iparnya sendiri. Pergantian jabatan pengasuh Tebuireng dari Kiai Karim kepada Kiai Baidlawi, merupakan hal yang baru dari sistem kepemimpnan Tebuireng, karena seorang menantu dapat menggantikan kedudukan anak kandung di saat si anak kandung masih hidup.

Karier

Selain aktif di Tebuireng, KH. Abdul Karim Hasyim juga bekerja sebagai KN I Kabupaten Jombang dan merangkap menjadi guru pada tahun 1945-1948. Pada saat yang sama, KH. Abdul Karim Hasyim merangkap sebagai penghubung staf Grup M I di pulau Jawa.

Lalu pada tahun 1954, ketika sudah tidak menjabat sebagai pengasuh Tebuireng, KH. Abdul Karim Hasyim diangkat menjadi Ahli dan Pengawas Pendidikan Agama di Semarang. Lalu pada tahun 1960, Kiai Karim dipindahkan ke wilayah Surabaya dan Bojonegoro. Kemudian pada tahun 1968, dia diangkat menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Kiprah di Politik

Sekitar tahun 1970-an, KH. Abdul Karim Hasyim masuk keanggotaan Partai Golkar. Sikap ini sangat kontroversial di kalangan pesantren, yang saat itu umumnya berpartai Islam. Konon, beliau masuk Golkar karena diajak oleh salah seorang pejabat di Jombang, dengan petimbangan bahwa perjuangan Islam tidak selamanya hanya di pesantren.

Dakwah juga tidak selamanya di dalam partai Islam. Di Golkar juga membutuhkan siraman rohani, sehingga pemerintahan Orde Baru yang semuanya anggota Golkar perlu mendapat siraman rohani dari orang pesantren. Dakwah seperti ini, menurut Kiai Karim, merupakan konsep saling mengisi antar ulama dan umaro.

Pada pemilu tahun 1971, di mana partai Golkar mendapat suara 62,8 % dan memperoleh 227 kursi di parlemen, Kiai Karim terpilih sebagai salah satu anggota DPR-RI dari fraksi Golongan Karya.

https://www.laduni.id/post/read/55872/biografi-singkat-kiai-abdul-karim-hasyim.html