Bertasawuf di Era Digital, Menjadi Rabi’ah Al-Adawiyah Milenial

Lain dulu lain sekarang, jika dulu bertasawuf itu masih bisa bersikap seperti Rabi’ah Al-Adawiyah dengan ajaran mahabbahnya, ia lebih asyik bercinta dengan Allah Swt. dan cenderung untuk tidak bergaul dengan umat manusia. Atau masih bisa berkhalwat di zawiyah-zawiyah, bertapa di goa, gunung atau menyepi di suatu tempat dalam rangka berhubugan intim dengan Allah Swt.

Hidupnya dihabiskan untuk memperkuat spiritual pribadinya di sisi Tuhan. Ia tidak mau terlibat dalam urusan dunia sama sekali. Bahkan tidak sedikit para sufi yang menghabiskan materi dunianya untuk kepentingan akhirat, karena meraka menganggap bahwa dunia sangat mengganggu dan menjadi penghalang menuju Allah Swt.

Bagaimana dengan kehidupan sekarang? Bertasawuf di era digital seperti sekarang, yang tepat adalah berupaya menghadirkan nilai-nilai spiritual ke dalam dirinya yang kemudian dipancarkan melalui perilaku positif untuk kebaikan seluruh makhluk.

Era digital sekarang ini, sangat mengancam spiritualitas seseorang, pengaruh kapitalisme, hedonime, materialisme terus menggerogoti nafsu dunia seseorang yang mengajak manusia semakin jauh dari Tuhan. Pada titik tertentu manusia akan kehilangan jati dirinya sebagai hamba, runtuhkan moral dan aklakul kariman. Ini membutktikan bahwa kemodernan ternyata tidak menjadikan hidup menjadi bermakna. Malah semakin tidak karuan. Sebagai seorang muslim, melihat kenyataan seperti sekarang ini jangan malah menjauhi kehidupan, justru hadirlah di tengah-tengah kehidupan untuk menyelesaikan kesenjangan ini.

Baca juga:  Rohani Manusia Haji

Menjauhkan diri dari keramaian dan mengasingkan diri dari kehidupan, sering disebut uzlah. Dalam kajian tasawuf klasik, uzlah secara sederhana sering diterjemahkan mengasingkan diri dari hiruk pikuknya dunia. Menyepi di tempat yang sunyi, jauh dari keramaian dengan tujuan agar bisa bermesraan dengan Allah Swt. secara intim.

Sebab menurut pandangan sufi, jika masih berkumpul dengan banyak manusia, pasti banyak pengaruh yang akan mengganggu ketenangan dan kebersihan jiwanya. Memang dalam kenyataannya begitu, manusia sudah terjebak dalam pola-pola hidup yang jauh dari norma agama, kemaksiatan meraja lela, kezaliman dimana-mana, fitnah bertebaran, dan lain sebagainya. Daripada terpengaruh demikian, maka sufi memisahkan diri dari keramaian. Begitulah kesimpulan sederhana dalam memaknai uzlah.

Pandangan di atas nampaknya ada benarnya, bahwa untuk menyelamatkan diri memang harus menjauh. Namun tidak cocok di era digital seperti sekarang ini, dimana secara populasi penduduk semakin bertambah, teknologi semakin maju, kegiatan sosial kemasarakatan semakin padat, justru jika masih mengikuti term uzlah klasik, maka sufi dinilai sebagai seseorang yang melarikan diri dari kenyaan sosial yang ada. Ia adalah seorang yang pengecut, karena lari dari sebuah perjuangan.

Bukankan seorang mukmin mempunyai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar? Bagaimana melakukannya jika ia sendiri lari dari kenyataan. Maka pola uzlahnya harus dirubah, justru dalam keadaan seperti sekarang ini seorang sufi harus mampu tampil mejadi pioner yang visioner yang bisa menjadi contoh bagaimana cara menyelamatkan diri dari pengaruh dunia yang semakin mengajak jauh dari Tuhan.

Baca juga:  Ngaji Hikam: Don’t Jugde a Book By its Cover

Di era digital seperti sekarang ini, uzlah bukan meninggalkan masyarakat, menghindari kehidupan, kemudian mencari tempat yang sepi dan sunyi di hutan, goa dan gunung, atau mengurung diri di rumah, melainkan tetap tampil eksis di tengah-tengah masyarakat dengan membawa perubahan yang positif dan mengajak masyarakat menciptakan sebuah peradaban spiritual yang tinggi. Jadi yang dihindari itu adalah pengaruh sosial budaya yang tidak relevan dengan tuntunan agama yang sudah mengarah pada kemaksiatan.

https://alif.id/read/msf/bertasawuf-di-era-digital-menjadi-rabiah-al-adawiyah-milenial-b246269p/