Bagaimana Tokoh NU Memandang Ahmadiyah dari Aspek Kenegaraan?

Nahdlatul Ulama (NU) kerap menggaungkan sikap toleransi antaragama. Ironisnya, di beberapa daerah sejumlah tokoh NU menyatroni kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dengan berpedoman peraturan SKB tiga menteri (Menteri Dalam Negeri, Jaksa Agung dan Menteri Agama) pada 9 Juni 2008 dan ujaran persesatan. Mengapa?

Rizal Aris, pengurus Jam’iyyatul Qurra’ Wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JHQNU) Kabupaten Bogor mengalami persekusi oleh pengurus NU Bojonggede usai menjadi pembicara dalam acara Siratun Nabi di Pusat Ahmadiyah di Parung Bogor tahun 2019. Dihadapan Jemaat Ahmadiyah Rizal berkata, ‘Ahmadiyah tak sesat.’ Pendapat Rizal direkam seseorang. Videonya beredar luas dikalangan nahdliyin-sebutan untuk warga NU.

Suatu petang, lima orang pengurus NU Bojonggede mendatangi Rizal di Pesantren Nanggerang, Kecamatan Tajunghulur, Kabupaten Bogor. Mereka tanya, “Apa pendapat kang Rizal soal Ahmadiyah?

“Ahmadiyah adalah Islam sebagaimana orang Islam lainnya. Syahadatnya sama, Nabi-nya sama, kitab suci (Al Qur’an) juga sama dan ibadah haji tetap ke Makkah,” jawab Rizal.

Tak dinyana jawaban Rizal berbuah ancaman.

“Sekali lagi berhubungan dengan Ahmadiyah, akan kita bakar pesantren ini!”

Sejumlah fasilitas pesantren milik Rizal dirusak, spanduk ucapan selamat datang santri baru dicopot. “Awas! kalau masih berhubungan dengan Ahmadiyah ada tindakan lebih besar.”

Saya tanya pada Rizal setelah peristiwa itu, apa yang Anda lakukan? Dia menghela napas. Lantas menjawab, “Selang satu tahun saya jaga jarak dengan teman-teman Ahmadiyah setelah itu berhubungan baik lagi.”

Imbas dari peristiwa itu, Rizal terpinggirkan oleh masyarakat; ceramahnya ditolak, jadwal khutbah dibatalkan, pengajian dibubarkan. Semua itu tak membuat Rizal goyah.

“Saya mantap dengan keyakinan bahwa Ahmadiyah tak sesat.”

NU memang tidak monolitik meski para kiai atau petinggi NU menunjukkan sikap toleran. Para tokoh NU di daerah, bisa saja menunjukkan sikap lain. Seperti yang terjadi di Bogor. Iklim kerukunan beragama di Bogor sulit karena ada pusat Ahmadiyah.

Sejarah Ahmadiyah dan label sesat

Komunitas keagamaan Ahmadiyah didirikan pada 1889 di Qadian India oleh Mirza Ghulam Ahmad. Jemaat Ahmadiyah merupakan komunitas keagamaan yang menyatakan diri sebagai Muslim. Ahmadiyah berbeda dengan muslim lain tentang pengertian Ghulam Ahmad sebagai Imam Mahdi. Dalam khazanah Ahmadiyah, ada dua macam kategori nabi: kategori tasyri di mana Nabi Muhammad adalah nabi tasyri terakhir; serta ghairi tasyri, golongan nabi yang tak membawa syariah. Ia terbagi dua: mustaqil, nabi yang berdiri sendiri, serta ghairi mustaqil, menjadi nabi karena mengikut nabi lain. Kategori ghairi mustaqil ialah nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad. Ghulam Ahmad termasuk ghairi mustaqil.

Sejak pertama kali diperkenalkan di Indonesia, pertentangan Ahmadiyah terus terjadi hingga berujung pada Ahmadiyah versus  Majelis Ulama Indonesia yang merupakan kumpulan kelompok organisasi Islam Sunni di Indonesia. MUI yang mendeklarasikan diri sebagai perwakilan umat Islam seluruh Indonesia-minus Ahmadiyah tentu saja dalam Musyawarah Nasional (Munas) II yang berlangsung di Jakarta pada 26 Mei-1 Juni 1980 mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa Jemaat Ahmadiyah adalah Jemaat di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Fatwa ini dilandasi atas fatwa yang dikeluarkan oleh Rabithah Alam Islami-wadah para ulama yang tergabung dalam Liga Muslim Dunia, yang juga mengeluarkan fatwa yang sama terhadap Jemaat Ahmadiyah dalam konferensi tahunannya di Mekah pada 6- 10 April 1974.

Fatwa dari dua Lembaga-MUI dan Rabithah Alam Islami didasarkan atas tiga hal yang dianggap menyimpang dalam ajaran Ahmadiyah: 1) kenabian Mirza Ghulam Ahmad; 2) perbedaan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, bahwa tafsir Jemaat Ahmadiyah dikatakan menyimpang; 3) konsep jihad di mana Jemaat Ahmadiyah disebut telah menghapuskan jihad.

Fatwa yang muncul pada masa kekuasaan Orde Baru tersebut tidak menimbulkan polemik yang meluas di kalangan kelompok Islam, namun menjadi bermasalah ketika tahun 2005 MUI kembali menguatkan fatwa tersebut mengingat semakin menguatnya dominasi kelompok Islam mainstrem di masa setelah tumbangnya Orde Baru.

Rais Syuriyah PBNU Masdar Farid Mas’udi berpendapat: Ahmadiyah sesat atau tidak itu soal terminologi. Lagi-lagi normanya “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Jadi masing-masing punya hak untuk menjalankan keyakinan.

Tahun 2008, Badan Koordinasi Pengkajian Ajaran dan Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Pusat yang menyatakan Ahmadiyah bukan ajaran terlarang. Masdar dalam wawancara bersama wartawan menyatakan keputusan itu tepat untuk mengurangi tindakan kekerasan terhadap anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Baca juga:  Dari Ambon, Mahasiswa dan Pemuda Indonesia Serukan Harmoni Kebangsaan

PBNU nyatakan Ahmadiyah sesat?

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan sikap resmi tentang Ahmadiyah. Keputusan ini muncul di NU Online tahun 2008. “Ahmadiyah adalah aliran sesat dan keluar dari Islam karena tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Al Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ ulama. Sungguh pun demikian, masyarakat tidak boleh bertindak anarkis terhadap aktivitas yang dilakukan oleh kelompok Ahmadiyah. Pelarangan terhadap paham dan aktivitas Ahmadiyah sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah atau penegak hukum dan bukan wewenang seseorang atau kelompok.”

Senin, 17 April 2023. Saya menemui Mohamad Syafi Alielha (Savic). Saya bertanya mengenai sikap resmi PBNU soal Ahmadiyah yang muncul di NU Online tahun 2008. Savic menjawab, “PBNU tak pernah mengeluarkan sikap resmi soal Ahmadiyah.” Isu Ahmadiyah dibawa oleh kiai Ma’ruf Amin merespon peristiwa pengepungan Kampus Mubarok Pusat Ahmadiyah dalam rapat pleno Syuriyah PBNU di Bogor pada 2005.

Forum dihadiri sejumlah ulama NU dari berbagai daerah. Kiai Ma’ruf, Kiai Masdar Masudi dan Kiai Said Aqil Siroj memimpin sidang pleno. Kiai Ma’ruf berpendapat Ahmadiyah punya Al-Qur’an yang berbeda dari umat Islam karena itu Ahmadiyah dianggap sesat.

“Kalau sesat yhaaa… tidak usah diikuti,” kata Savic mengulang ucapan Kiai Ma’ruf.

Para kiai yang hadir sepakat Ahmadiyah sesat dengan catatan Al-Qur’an berbeda. Para kiai tidak sepenuhnya tahu mengenai Jemaat Ahmadiyah, sifatnya sebatas usulan saja. “Saya ikut komisinya, jadi saya tahu persis. Perdebatan Ahmadiyah selesai dalam forum. Itu sifatnya perdebatan di sidang komisi kemudian ada tricky.”

NU sebagai organisasi muslim terbesar punya pengaruh sosial dan politik kuat, dampaknya pun besar karena itu NU tidak pernah menyatakan Ahmadiyah sesat. NU tidak bisa dinilai dari sikap satu dua figurnya saja. Jika ada keputusan resmi tak bisa serta merta dialamatkan ke NU.

“Sekali lagi itu pandangan pribadi bukan diatribusikan sikap PBNU,” kata Savic.

Bagaimana kebijakan Anda terhadap pemberitaan Ahmadiyah di NU Online? Savic menjawab: Di NU Online, berita dinamika yang ditulis oleh wartawan. Teman-teman biasa meliput sidang dan keputusan komisi kemudian ditulis. Kepentingan komisi tersebut belum diketok palu. Sebuah keputusan kalau dibawa ke pleno-ditanggapi peserta yang hadir-diketok palu baru diberitakan sebagai keputusan Munas-Konbes NU. Tak sampai level itu, defacto oleh Kiai Said.

“Berita ini lantas dirujuk banyak orang sebagai sikap PBNU.”

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU dan Konferensi Besar (Konbes) NU merupakan forum permusyawaratan tertinggi kedua setelah Muktamar. Munas Alim Ulama dan Konbes NU didesain untuk menghasilkan keputusan-keputusan strategis dan fundamental bagi kemaslahatan umat, keutuhan bangsa dan negara.

Rentetan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah

Ahmadiyah menjadi target serangan kekerasan medio Juli 2005 oleh kelompok Front Pembela Islam (FPI) dan Persatuan Umat Islam (PUI) ketika Jalsa Salanah Nasional di Bogor yang berakhir serangan dan penutupan Kampus Mubarok sebagai pusat kegiatan Ahmadiyah.

Dalam parade kebencian terhadap Ahmadiyah negara berperan melegitimasi kekerasan dengan munculnya Fatwa MUI pada akhir Juli 2005. Pada 16 April 2008, Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayan Masyarakat, atau Bakor Pakem, mengusulkan larangan ajaran Ahmadiyah. Pada Juni 2009, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendraman Supanji menandatangi Surat Keputusan Bersama (SKB) yang mengatur minoritas muslim Ahmadiyah untuk ‘menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam,’ termasuk penyebaran faham yang mengakui adanya Nabi Muhammad SAW.”

SKB Anti-Ahmadiyah menyusul serangan 1 Juni 2008 di Monumen Nasional Jakarta. Pagi itu, Sriyana, seorang Ahmadi-sebutan bagi muslim Ahmadiyah bersama rombongan menuju Monumen Nasional (Monas) Jakarta.

Sri dan rombongan tiba di Jakarta pukul 1 siang. Sesuai arahan mubalig, Sri dan rombongan langsung menuju bergabung dengan kelompok lain. Sekitar 10 hingga 15 menit sekelompok orang mengenakan jubah putih, celana hitam melempari batu ke arah sri dan rombongan. Gelombang massa terus berdatangan. Sri kalut dan lari bersembunyi di selokan.

Baca juga:  Konflik Afghanistan, Kebobrokan Peradaban, dan Kebangkrutan Islam

“Tidak mungkin ada serangan jika tidak dipersiapkan,” katanya, lalu terdiam, menyerka air mata.

Human Rights Watch melaporkan lebih dari 500 militan Islam terhadap sekitar 100 pria, perempuan, dan anak-anak menggelar pawai damai untuk mendukung muslim Ahmadiyah di Monumen Nasional, Jakarta. Rekaman video menunjukkan para penyerang menyebut diri Laskar Pembela Islam, mengejar, memukul dengan tongkat dan bambu rotan. Lebih dari 60 orang terluka dalam serangan, beberapa terluka serius.

Korban termasuk beberapa cendekiawan dan aktivis muslim yang secara terbuka membela keyakinan Ahmadiyah. Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid kala itu dalam perjalanan menuju lokasi pawai saat serangan terjadi. Ketika mengunjungi korban di rumah sakit, dia berkata: ”Ini bukan negara rimba. Polisi, suka atau tidak, harus menangkap pelaku.”

Peran negara dalam “melegalkan dan melanggengkan” diskriminasi terhadap Ahmadiyah

Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai badan hukum pada Maret 1953. Hubungan Ahmadiyah biasa saja ketika Jenderal Soeharto berkuasa. MUI mengeluarkan fatwa anti-Ahmadiyah pada 1980. Soeharto tak menggubris. Tahun 2000, Presiden Abdurrahaman Wahid menyambut imam besar Ahmadiyah Mirza Tahir Ahmad, cucu Mirza Ghulam Ahmad di Jakarta. Gus Dur bahkan mengangkat seorang Ahmadi Djohan Effendy sebagai sekretaris negara. Pada tahun 2000, Gus Dur lengser dan diganti Megawati Soekarnoputri, ia juga tak melarang Ahmadiyah.

Keadaan berubah ketika pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Pengaruh MUI berkembang cepat. Pada Juli 2005 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa ‘Ahmadiyah sesat dan menyesatkan.’ Peraturan ini tertuang dalam Fatwa MUI No 11/Munas VII/MUI15/2005 tentang aliran Ahmadiyah yang ditetapkan dalam Munas VII MUI 2005. Gelombang protes dan fatwa MUI juga menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Basis-basis Ahmadiyah marak menjadi sasaran termasuk rumah pribadi, tempat ibadah maupun serangan fisik. Tindakan intoleransi pun dipersubur dengan pandangan keagamaan atau ujaran persesatan.

Savic mengamini bahwa penolakan demi penolakan hingga anarkisme terhadap Jemaat Ahmadiyah dan para pendukungnya bermula dari cap ‘Sesat, Menyesatkan’ yang dijadikan pegangan hukum oleh warga. Kesan ini memunculkan Jemaat Ahmadiyah tidak boleh berkembang di Indonesia ditambah sentimen terhadap Ahmadiyah cukup tinggi.

“Iya, Fatwa MUI juga semakin memperkuat sentimen negatif umat Islam terhadap Jemaat Ahmadiyah.”

Bagaimana sikap PBNU melihat meningkatnya jumlah peraturan yang diskriminatif terhadap Ahmadiyah dan minoritas lain? Regulasi diperlukan untuk mengatur hal-hal yang menyebabkan perselisihan, konflik, atau kekacauan dalam masyarakat. Para kiai NU beranggapan butuh regulasi ini. Jika tidak, akan muncul istilah ‘Siapa yang kuat maka dialah yang menang‘ meskipun dikalangan aktivis dan LSM regulasi ini dikritik karena merugikan. Jika tak ada regulasi maka seperti hukum rimba. Paradigma NU seperti ini.

Unregulated liberal demokrasi dalam konteks beragama tak sepenuhnya oke dalam masyarakat komunal seperti Indonesia. Namun harus ditemukan rumusan-rumusan tersendiri yang menjamin khususnya minoritas yang dianggap rentan dan sulit mendapatkan hak-haknya, kata Savic.

Bagaimana dengan regulasi di bawah Undang-Undang seperti peraturan gubernur dan peraturan daerah?

“Yhaaa…harus dipikir banyak orang tapi yang jelas ketika merumuskan, libatkan pihak-pihak dirugikan agar tidak terjadi tirani mayoritas lagi,” tutur Savic.

Hak kebebasan beragama

Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia secara ekspilit menjamin kebebasan beragama dalam pasal 28 (E). Berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia pada 2006, negara harus menghormati hak kebebasan beragama. Ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik ditempat umum maupun tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaan dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas ‘tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama dengan anggota kelompok yang lain…untuk menganut dan menjalankan agamanya sendiri.’ Pembatasan hak atas kebebasan beragama untuk melindungi keamanan atau ketertiban umum hanya boleh diterapkan dengan ketat sesuai yang diperlukan dan proporsional.

Savic bilang negara terlalu ikut campur dalam praktik-praktik beragama di Indonesia. Negara cukup memastikan, melayani, dan menjamin mandat konstitusi bahwa semua orang punya keyakinan berbeda dan hak yang sama. Negara harus melindungi dan memfasilitasi. Paling krusial mendorong kesadaran aparat negara sebagai penegak hukum dan konstitusi, kalau tidak nanti terjadi konflik horizontal. Otoritas ada di negara. Ormas mendidik warganya agar bisa menghormati pilihan yang berbeda. “Kuncinya di negara,” kata Savic.

Baca juga:  Memperindah Alquran, Mempertimbangkan Iluminasi Lokal

Komisi Nasional Perempuan mencatat sejak era reformasi pada 1998, warga Indonesia yang sering mengalami kekerasan berbasis agama adalah Jemaat Ahmadiyah. Aksi-aksi intoleransi agama ini menimbulkan dampak berkepanjangan untuk kehidupan perempuan dan anak-anak. Salah satu kebijakan yang membuat hal itu terjadi adalah Penetapan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang didasarkan atas Undang-Undang soal Penodaan Agama atau PNPS Nomor 1 Tahun 1965. Undang-Undang ini di masa Orde Baru dipergunakan untuk menjerat dan memasung kelompok yang dianggap ‘membangkang’ serta ‘merusak ketertiban umum’ oleh pemerintah Orde Baru. Kini, di era Reformasi, SKB kembali digunakan sebagai senjata untuk menundukkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

“Sekarang peraturan seperti itu sudah jauh menurun,” ujar Imam Aziz, Staf Khusus Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Seperti halnya dengan peraturan SKB 3 Menteri, itu hanyalah respon terhadap situasi. Harus selalu diupdate berdasarkan konstitusi agar diputuskan tidak secara politik tapi secara hukum.

“Harus selalu direvisi termasuk keberadaannya harus dipertanyakan terus.”

Kata Imam, Fatwa MUI bukanlah sebuah hukum legal yang memiliki kekuatan hukum memaksa. Itu perilaku inkonstitusional. Fatwa MUI sebatas pendapat masyarakat atas suatu kelompok, jangan diambil sebagai dasar hukum untuk memutuskan. Bahaya!

Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas sekarang juga punya komitmen dengan kelompok minoritas. Tidak boleh ada perbedaan perlakuan dan diskriminasi bagi semua agama di Indonesia.

Sore menjelang petang, Minggu 15 Mei 2023, Saya mengunjungi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 2010-2021 KH Said Aqil Siroj dikediamannya kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Saya dipersilakan menghadap Kiai Said oleh asistennya setelah pengajian rutin selesai. Sekira dua jam menunggu, Kiai Said keluar dari Aula Pesantren menggunakan batik dan sarung biru beserta peci hitam. Raut wajahnya terlihat sumringah meski tampak kelelahan menemui tamu-tamu yang datang. Saya bertanya rencana pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono membuat peraturan SKB 2008 soal Ahmadiyah. Apa yang dilakukan PBNU saat itu?

“Saya waktu itu belum ketua umum, tapi sudah di PBNU, diundang mewakili NU bertemu Kemenko Kesra, Kejaksaan dan Depag. Kesimpulannya, Ahmadiyah dilarang berdakwah mengajak orang lain masuk akidah mereka.” Adapun hak Ahmadiyah tetap diberikan negara.

Mengenai status Ahmadiyah tak hanya NU, Al Azhar, Rabithah Al-Islamy sepakat mengatakan ‘Sesat’ karena melanggar suatu prinsip meyakini ada nabi dan wahyu setelah Muhammad sehingga haram masuk umroh dan haji.

Sudah jadi rahasia umum bahwa intoleransi dan diskriminasi terhadap minoritas agama dan kepercayaan meningkat tajam dalam 25 tahun sesudah Reformasi termasuk dengan PBM 2006 soal rumah ibadah. Menurut Kiai Said, bagaimana sebaiknya Indonesia mengatasi intoleransi dan diskriminasi?

Intoleransi jelas bertentangan dengan kehidupan berbangsa tapi toleransi ada batasnya. Sejauh mana? Iya, hormati keyakinan yang berbeda dan hak-haknya. Tapi bukan berarti mencampuradukan teologis, sekarepe dewek. “Ahmadiyah sesat, tapi kita tetap menghormati hak mereka asal tidak dakwah.”

Sesudah SKB disahkan, kekerasan Ahmadiyah meningkat cepat termasuk yang berakhir kematian di Cikeusik. Terakhir di Sintang, daerah mayoritas Dayak Kristen, SKB 2008 dipakai militan muslim buat menekan Pemerintah Daerah Sintang dan menutup satu-satunya Masjid Ahmadiyah di Sintang. Menurut Kiai Said, kenapa SKB tersebut tidak dicabut saja?

Kehadiran SKB 3 Menteri menjadi jalan tengah antara sikap diskriminatif atau membiarkan pembiaran terjadi. Jika dibiarkan atau dibolehkan akan terjadi konflik horizontal. Pemerintah juga tak bisa mengeluarkan kelompok Ahmadiyah dari Indonesia. Ahmadiyah punya hak hidup di Tanah Air hanya saja dilarang menyebarkan kepercayaanya jadi yang diserang yhaaa…pendidikannya.

“Saya pikir ini sudah maksimal, pemerintah bijak tidak melarang orang Ahmadiyah. Jika SKB dicabut akan terjadi chaos lagi.”

“Sudah maksimal. Sudah maksimal.”

“Enggak usah dicabut, sudah bagus. Sudah bagus.”

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/sca/bagaimana-tokoh-nu-memandang-ahmadiyah-dari-aspek-kenegaraan-b247772p/