Ziarah Makam Kayu Sepuh

Minggu (30/1/2022) sore, setelah dua pekan kemarin sowan di makam Mbah Bringin Lokajaya Sholawat. Sore lalu kembali sowan berziarah ke makam sesepuh di sekitaran Beringin, Wonosari dan masih sekitaran kampus hijau UIN Walisongo Semarang dengan slogan kampus peradaban, katanya.

Berangkat dengan tidak disengaja maupun direncanakan, sekitar pukul tiga sore ke arah wilayah Beringin, menyusuri dari pedagang ke pedagang yang menghiasi sepanjang jalan. Singkat kata singgah di warung makan tetapi bukan warung makan Padang.

Nah, setelah selesai ritual di warung makan, niat bergegas pulang dengan menyusuri jalan yang sama seperti berangkat awal. Tetapi ditengah perjalanan, teman mengingatkan dan menyahuti bahwa dia melihat papan tulisan “makam yayasan KH. Muchdhor..” akhirnya setelah sepenggal galah mengambil arah putar balik dan mencari lahan parkir untuk bergegas sowan ke makam yang terletak diatas bukit samping jalan.

Sembari menaiki anak tangga menuju “makam yayasan KH. Muchdhor dan Keluarga Besar Cokro” sesuai dengan tulisan pada papan nama yang terletak dibawah pesarean tersebut. Saya yang hanya ndereake berjalan dibelakang teman yang mendahului melihat keberadaan ada makam ini, ketika menaiki tangga nyeletuk kepada teman saya, “Kok peka men ngerti yen ono makam..” Saya membercandai.

Akhirnya, setelah sampai dilokasi dan uluk salam, berkeliling menilik nisan-nisan atau kijing di pesarean tersebut. Seperti terpantik dan langsung tertarik pada sebuah nisan kayu sepuh di tengah area bukit itu dengan nisan dan kijing masih utuh disela-sela tumbuhan pun menyertai makam tersebut.

Baca juga:  Hafez Shirazi, Bukti Kebijaksanaan Timur

Selain itu masih banyak disekitaran makam sepuh itu dengan corak nisan yang berbeda tahun, mirip godo atau lingga maupun motif kembang. Pun dibeberapa titik pojokan pesarean seperti potongan nisan kayu yang sudah rapuh bertumpuk seperti nisan lawas yang digerus zaman, entah makam yang mana yang diganti dengan pathok yang baru.

Sayangnya, tidak ada informasi atau tanda mengenai makam ini. Terlebih ketika saya bertanya kepada salah seorang tukang kayu dekat pesarean, bapak tukang hanya menjelaskan singkat sekedar nama tetapi berbeda yang dia sampaikan bukan pada nisan yang sepuh itu. Merasa belum puas dengan jawaban atas informasi yang disampaikan bapaknya, saya pamitan. Dengan pulang membawa PR sembari di perjalanan menerka-nerka untuk mencari dan menggali informasi atau juru kunci yang paham terkait pesarean tersebut.

Secara pandang tipe nisan sepuh itu hanya bisa diidentifikasi bahwa ini sepuh masuk pada era 1700-an sampai 1800-an awal. Dengan hiasan ukiran masih terlihat dibeberapa titik. Dari beberapa penelusuran di sekitar pesarean selama di Semarang ini sering menemukan nisan sampai kijing dengan materi kayu. Tentu perlu penelusuran yang lebih agar bisa menemukan titik cerah. Namun boleh jadi mengapa kayu sering dibuat menjadi bahan dari nisan?

Baca juga:  Menengok Miqyas al-Nil, Mukjizat Arsitektur Islam di Kairo

Ya, karena memang material itu yang lebih mudah dijangkau waktu itu oleh sang seniman nisan(yang dipasrahi membuat nisan) dan apabila dari struktur atau motif dari nisan dengan kijing dibuat bertingkat, ditumpuk lebih dari satu nantinya berbeda lagi, sebab itu terkait dengan karakter suluk dan ahwal dari sang sahibul makam tersebut.

Lantas ketika kita menggali dan berusaha belajar dari nisan sang sahibul makam sebenarnya, makam-makam itu ditata, dibentuk, dibangun, dan ditempatkan dengan melihat “maqom” atau ketetapan Gusti Allah untuk masing-masingnya. Mereka berada di sana sesuai ahwal-maqomnya. Dimana makam-makam itu hasil peradaban para Wali dan sanadnya nyambung serta memang ditata oleh para wali dari masa ke masa. Wallahu a’lam bisshowab.

https://alif.id/read/mukhamad-khusni-mutoyyib/ziarah-makam-kayu-sepuh-b242184p/