Tiga Etika Berpolitik ala Mbah Maimoen Zubair

Kiai merupakan tokoh keagamaan yang sangat disegani di Indonesia. Kiai dipercaya oleh masyarakat sebagai orang nomor satu dalam urusan keagamaan, sehingga mereka memiliki banyak muhibbin (pecinta). Para kiai seringkali mendapatkan kunjungan dari para tokoh politik, pejabat publik dan lainya karena kiprahnya di masyarakat yang begitu besar.

Para kiai juga tidak sedikit yang terjun langsung di dunia politik praktis dan aktif mengusung para calon di gelanggang perpolitikan nasional. Mereka selain memiliki muhibbin yang begitu banyak juga menguasai etika politik yang memadai dalam ilmu keislaman.

Kendati demikian, para kiai khususnya kiai pesantren, memiliki posisi sangat strategis. Ia juga bisa memainkan peran penting dalam perubahan sosial. Keterlibatan kiai pesantren tidak hanya terbatas pada perkembangan keagamaan, sosial dan kultural saja. Melainkan kiai pesantren juga menjadi kunci dalam perkembangan dan pertarungan politik sejak Indonesia belum merdeka.

Khoiru Ummatin dalam bukunya Perilaku Politik Kiai berpendapat bahwa kiai pesantren memiliki kemampuan dan kemauan dalam  semua persoalan diantaranya adalah menduduki kursi strategis dalam perpolitikan nasional. Hal ini disebabkan tiga hal yaitu kemampuannya dalam menerjemahkan ajaran Islam ke dunia politik sehingga ia menjadi panutan, kedua adalah kekuatan nasabnya yang dikenal dengan baik, ketiga adalah kepiawaiannya dalam menjaga jaringan organisasi sosial dan agama dan jaringan pesantren khususnya yang tradisionalis.

Baca juga:  Ketika Gus Dur Menafsiri Tembang Lir-Ilir

Sejak zaman penjajah, para kiai sudah banyak yang aktif di dunia politik. Mereka sudah sangat akrab dengan permainan politik. Bedanya dengan sekarang yaitu, kalau dahulu mereka memperjuangkan kemerdekaan, lobi politik dan perkembangan kader melalui pesantren, sementara sekarang mereka lebih melebarkan sayapnya dengan aktif di organisasi partai politik dan mengkader tidak hanya di pesantren.

Dari kisah tersebut, kiai memiliki rekam jejak yang cukup bisa menunjukan pengalamanya. Apabila kita lihat di pemilu pertama kali digelar pada tahun 1955 hingga tahun sekarang 2023, panggung politik nasional selalu diramaikan dengan daftar nama kiai yang mengambil peran di dalamnya. Selain itu juga banyak kiai yang hanya sebatas menjadi juru kampanye saja. Semua ini tidak lain karena sosok kiai memiliki muhibbin atau pengikut yang banyak. Bahkan para kiai bisa mengakder untuk meneruskan  perjuangan politiknya. Dari kekuatan politik kiai pesantren ini pastinya memiliki maksud dan tujuan tertentu yang tidak bakal melanggar pesan pesan dalam agama, hal ini akan saya uraikan di bawah.

Tiga Doktrin Politik Mbah Maimoen

Kiai pesantren yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kiai yang aktif dalam dunia politik di Indonesia, baik aktif mendukung salah satu calon di gelanggang pertarungan atau hanya kiai yang selalu mendukung dan merestui semua calon asalkan baik untuk perkembangan bangsa. Misalnya adalah KH. Maimoen Zubair, seorang kiai sepuh yang sangat dihormati oleh masyarakat di Rembang Jawa Tengah. Ia juga termasuk kiai sepuh dalam jajaran Nahdlatul Ulama yang aktif berpolitik di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak dahulu hingga akhir hayatnya.

Baca juga:  Ulama Banjar (176): Drs. H. Misbahulmunir Abbas

Perjuanganya dalam politik tersebut juga dilanjutkan oleh beberapa putranya seperti Kiai Ubab Maimoen, Kiai Majid Kamil Maimoen, Kiai Taj Yasin Maimoen dan lainya. Keaktifan putra-putra Mbah Maimoen tersebut adalah bentuk kaderisasi yang dibangun dan didoktrin oleh ayahnya (Mbah Maimoen). Ada beberapa doktrin politik yang ditanamkan kepada calon-calon penerusnya baik dari keluarganya maupun simpatisan partai. Pertama dalam berpolitik harus memilih mardhatillah atau politik yang bisa mencapai ridha Allah swt, caranya adalah berpolitik dengan menggunakan cara-cara yang tidak melanggar ajaran agama.

Menurut Mbah Maimoen, politik itu ada tiga macam yaitu politik mardhatillah, politik madiyah (sekuler) dan politik suyuiyyah (kotor). Penjelasan ini menjadi doktrin yang selalu ia sampaikan dan tanamkan oleh Mbah Maimoen sebagai sesepuh di PPP. Kedua adalah politik sebagai media untuk mengenbangkan dan memperjuangkan Islam dan umat Islam.

Ia meyakini bahwa aspirasi umat Islam akan terakomodir. Nilai-nilai Islam bisa disuarakan di parlemen jika ada wakil-wakil yang kapabel di dalamnya. Kendati demikian, politik adalah bagian dari media dakwah dan perjuangan Islam. Doktrin ini memberikan pencerahan kepada masyarakat bahwa dalam memilih calon pemimpin memilih  yang amanah. Ketiga adalah berpolitik untuk amar maruf nahi mungkar. Konsep ini menjadi modal utama dalam perjuangan umat Islam, setiap individu juga diwajibkan untuk menyebarkan kebaikan dan memberantas kemungkaran. Namun konsep ini tidak cukup dijalankan dalam aras kultural di kehidupan sehari-hari tapi juga perlu dijalankan dalam pemerintahan sehingga politik adalah jalan untuk melakukan hal tersebut.

Baca juga:  Ulama Banjar (16): KH. Abdus Syukur Jamaluddin

Proses doktrinasi ini pada era awal reformasi cukup kuat tertanam dan disambut baik oleh masyarakat. Hal ini disebabkan memiliki jalur yang selaras dengan nilai keislaman dan masih kuatnya ikatan ideologi emosional dan juga euforia reformasi yang menginginkan perubahan. Namun, doktrin politik ini bukan berarti sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang, melainkan bisa menjadi dasar perjuangan dengan aplikasi yang lebih kreatif. Mislanya tetap berpolitik mardhatillah dan amar ma’ruf nahi munkar namun dengan cara yang lebih elegan dan berkompromi dengan perkembangan zaman.

https://alif.id/read/rmz/tiga-etika-berpolitik-ala-mbah-maimoen-zubair-b247747p/