Teladan Gus Dur Menguatkan NU dari Dalam

Rabu petang, 30 Desember 2009, kabar wafatnya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tersebar luas hingga ruangan sekretariat kantor PCNU Kabupaten Pasuruan. Selepas membuat surat instruksi salat ghaib dan tahlilan untuk MWC dan ranting, saya terpekur sendirian dalam cahaya penerangan seadanya. Ambyar! Saya Sekretaris PCNU kala itu, dan sudah memasuki tahun ke-9.

Konferensi Cabang (Konfercab) NU 2011, Ketua terpilih saat itu, Gus Mujib Imron (kini wakil bupati Pasuruan) menunjuk saya sebagai Sekretaris, ketika masih ‘usia Ansor’, belum genap 29 tahun. Tapi toh Gus Mujib tak bergeming, untuk ‘menyeret’ saya ke dalam struktur kepengurusan organisasi para Kiai. Dua sekretaris sebelumnya, Cak Muzammil Syafi’i dan Gus Faidillah Nasor adalah para kader reguler, yang memiliki background Ketua Cabang di Ansor dan juga IPNU.

Tidak seperti para sekretaris senior itu, saya mengenal ‘mendalam’ Nahdlatul Ulama, justru dari Gus Dur saat menjalani kawah candradimuka sebagai aktivis mahasiswa, pers kampus dan PMII di UB hingga cabang Malang, periode 1990-1996. Bagi aktivis era-90an, Gus Dur adalah guru gerakan (syaikhul harakah) yang menjadi penunjuk arah sekaligus model bagaimana kekuatan intelektual-kritis mahasiswa digunakan demi membela dan membebaskan rakyat kangkangan rezim otoritarianisme Orde Baru.

Saya merasa beruntung, bisa memiliki guru gerakan kebangsaan yang seorang Kiai alim berdarah biru seperti Gus Dur sehingga aman dari aneka kekhawatiran keluar dari lintasan kesalehan kaum santri, dimana saya berada di dalamnya. Di saat yang sama, saya juga betsyukur, karena kelak di kemudian hadir, experience di zona luar pesantren itu, kemudian bisa digunakan untuk ‘membangun’ keberdayaan (dan kedigdayaan) NU dan pesantren dari dalam, sebagaimana Gus Dur telah memulainya.

Bagi Gus Dur, keberdayaan NU dan Pesantren, adalah titik berangkat dalam memperjuangkan keberdayaan masyarakat sipil, kedaulatan bangsa dan negara, hingga puncaknya, memperjuangkan nilai-nilai kemanusian.

Dalam membangun keberdayaan NU, Gus Dur memulainya dari pesantren. Baginya, pesantren adalah NU kecil, dan karenanya NU adalah pesantren besar. Fungsi tafaqquh fid-din atau penanaman nilai-nilai luhur keagamaan adalah jati diri pesantren yang tak boleh luntur. Namun Gus Dur tak ingin pesantren hanya jago kandang. Gus Dur mulai memperkenalkan cakrawala peradaban di luaran sana. Di saat yang sama, ia –melalui tulisan esai dan ceramah– mempromosikan akan tingginya nilai tradisi, dalamnya keilmuan, serta bijaknya para kiai dan kaum santri dalam membina masyarakat menghadapi dinamika kehidupan.

Baca juga:  Mochtar Lubis (1): Novel dan Manusia Indonesia

Bersama LP3ES dan kemudia P3M yang ia dirikan, Gus Dur mendirikan beberapa pusat pengembangan pesantren dan masyarakat (dinamakan BPPM) di Pesantren Guluk-Guluk Sumenep, Nurul Jadid Paiton, Kajen Pati, dan sejumlah lainnya. Fungsi tafaqquh fid-din pesantren dikembangkan menjadi penggerak keberdayaam petani tembakau, nelayan dan kaum pinggiran lainnya. Jadilah Gus Dur, jendela baru peradaban bagi pesantren.

Awal tahun 1970-an, organisasi Nahdlatul Ulama, sedang terjerat sistem politik kepartaian rezim orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. NU yang dalam isyarah Syaikhona Kholil Bangkalan adalah tongkat Nabi Musa AS melawan culasnya rekayasa dan kelaliman Firaun, tiba-tiba tak berkutik di bawah langgam dan ritme permainan kekuasaan Orde Baru. Kebesaran NU pun tereleminir begitu saja, menjadi bagian kecil sebuah partai politik yang tak berdaya, melalui fusi partai politik Islam pada tahun 1973.

Lebih dari satu dasa warsa, situasi pelik itu bergelayut hingga muncul kesadaran dan keberanian para kiai bijak bestari, bersama serombongan anak muda yang mencari jalan keluar mengembalikan NU ke jati dirinya semula. Para kiai itu ada nama Kiai As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember) Kiai Mahrus Ali (Lirboyo), Kiai Ali Ma’shum (Krapyak) dan sejumlah pribadi teladan lainnya. Di kalangan mudanya, Gus Dur adalah sang komandan, bersama Fahmi D Saifudin Zuhri, A Mustofa Bisri, dan sejumlah nama lainnya.

Dipimpin Gus Dur, anak-anak muda itu tak lelah membeber peta, mengais data, mencari model, menggali intisari perjalanan sejarah khidmah Nahdlatul Ulama, hingga diperoleh sebuah kesadaran kunci, bahwa tongkat Nabi Musa Nahdlatul Ulama itu, harus dikembalikan ke tangan para ulama. NU harus kembali kepada garis atau khittah didirikannya pada tahun 1926.

Gagasan itu pun dirumuskan, diketik rapi, diajukan sebagai ketetapan penting dalam musyawarah Nasional Alim Ulama tahun 1983 dan dikuatkan sebagai Keputusan Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Keputusan itu adalah Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926.

Keputusan membali ke Khittah Nahdlatul Ulama adalah tonggak penting dari perjalanan sejarah organisasi ini di era pasca generasi pendiri. Sebuah penegasan yang memastikan Nahdlatul Ulama kembali ke jalur diniyyah-ijtima’iyah, keagamaan keagamaan dan kemasyarakatan-kebangsaan, seperti spirit saat didirikannya. Deklarasi Kembali ke Khittah NU adalah ikhtiar memperkuat diri menghadapi kekuasaan, fokus kepada kekuatan diri, tanpa melukai dan berharap pada pihak di luar NU termasuk penguasa Orde Baru. Karena Kembali ke Khittah NU adalah penegasan kembali landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama, yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi, serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Baca juga:  Ulama Banjar (97): KH. Abdullah Madjerul

Dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984 itu pula, Gus Dur diamanati memimpin pelaksanaan gerakan luhur kembali ke Khittah NU, ditunjuk para Kiai sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Dalam kepengurusan sebelumnya, antara 1979-1984, Gus Dur adalah katib syuriyah, saat Rais Syuriyahnya adalah sang kakek, KH Bisri Syansuri.

Secara perlahan dan pasti, Gus Dur mulai mengejawantahkan garis-garis besar perjuangan NU seperti termaktub dalam keputusan kembali ke khittah NU: menempatkan ulama sebagai pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi, mendudukkan secara benar relasi antara agama dan negara, memastikan NU menyatukan diri dalam perjuangan bangsa, serta menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sebagai sesuatu yang final. Gus Dur juga menata kembali, ikhtiar dan arah kegiatan NU dalam melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan masyarakat, terutama dengan mendorong swadaya masyarakat sendiri. Sekali lagi Gus Dur melawan dengan cara membangun kepercayaan dan kekuatan diri.

Dalam struktur kepengurusan PBNU (hingga ke level kecamatan/desa), sejumlah lembaga baru dibentuk: Lembaga Perekonomian (LPNU) dan Lembaga Pengembangan Pertanian (LP2NU, kini LPPNU), Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKKNU), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam), hingga menginisiasi lembaga perbankan NUSUMMA.

Dan satu lagi, yang layak ditiru oleh pemimpin NU kini. Gus Dur selalu menganggap penting anak muda! Baginya anak muda adalah masa depan. Ia banyak melakukan persemaian, dan tanaman-tanaman itu telah tumbuh subur, dan kini telah berbuah lebat, menjadi para gugusan generasi baru, penggerak pemberdayaan dan pencerahan bagi masyarakat luas.

Gus Dur pun menjadi penggerak utama kekuatan Nahdlatul Ulama. Ia sangat dicintai umatnya. Di saat bersamaan, Gus Dur menjadi harapan pengayoman bagi warga negara yang ditimpa ketidakadilan negara. Gus Dur mulai disegani dan diawasi penguasa. Bersama NU, Gus Dur berani berhadapan dengan otoritarianisme dan militerisme penguasa. Ketegangan antara pemerintah dengan Gus Dur dan NU pun tak terelakkan. Penguasa mulai gerah dengan kepemimpinan Gus Dur di muktamar ke-28 NU di Pesantren Krapyak Yogyakarta berhasil digelar nyaris tanpa gangguan. Namun tidak dengan muktamar ke-29 di Pesantren Cipasung Jawa Barat di tahun 1994.

Baca juga:  Ulama Banjar (82): H. Muchyar Usman

Penguasa di bawah Presiden Soeharto terang-terangan berkehendak Gus Dur lengser. Namun seperti bola tenis, semakin dibanting, semakin tinggi memantul. Semakin Ditekan, semakin kuat ikatan cinta Warga NU dan civil society pada Gus Dur. Operasi intelijen menurunkan Gus Dur di Muktamar NU di Cipasung, berhasil dipukul mundur. Walau terus diganggu melalui berbagai sandi operasi intelejen, termasuk Operasi Naga Hijau (isu dukun Santet) di Banyuwangi, Gus Dur terus digdaya memimpin NU, dan berhasil membawa jam’iyyah ini selamat melewati krisis moneter, krisis ekonomi, berlanjut krisis politik yang berujung dilengserkannya Soeharto dari tampuk presiden oleh gelombang reformasi.

Sejarah pun menorehkan tinta emas. Dalam sidang umum MPR hasil pemilihan umum 1999, Gus Dur terpilih menjadi Presiden Keempat Republik Indonesia, dan melalui muktamar ke-30 NU di Pesantren Lirboyo Kediri, pada tahun 2000, Gus Dur mengakhiri tiga periode masa khidmahnya sebagai Ketua Umum PBNU dengan serangkaian capaian kemajuan, pemberdayaan, dan pembaharuan di Nahdlatul Ulama yang tak bisa terbantahkan.

Untuk memastikan keberlanjutan NU pasca kepemimpinan Gus Dur, Muktamar Lirboyo memandatkan agar organisasi Nahdlatul Ulama secara masif dan terus menerus melakukan penataan bangunan kelembagaan (institutional building) agar NU lebih modern secara manajemen dan organisasi, di saat arah dan posisinya, sudah on the track dan di tengah pusaran peradaban.

16 Rajab Tahun 1444 Hijriyah tahun ini, bertepatan 7 Februari 2023, Nahdlatul Ulama akan berusia 1 abad. Situasi dan tantangan NU di abad kedua, tentu berbeda dengan ketika NU dilahirkan 100 tahun lalu, bahkan berbeda dengan saat 15 tahun dipimpin Gus Dur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saat ini, menghadapi peradaban global multi polar. Kalau dengan pembaharuannya, Gus Dur telah membawa NU dari pinggiran ke tengah-tengah peradaban bangsa Indonesia, saatnya kini Nahdlatul Ulama mampu meneguhkan perannya di kancah peradaban global.

Selamat Tahun Baru 2023. Selamat Memperingati 1 Abad NU. Mari digdayakan NU di Abad Keduanya di tengah peradaban Global. Gus Dur, dan para masyayikh NU telah banyak mewariskan teladan, tugas kita melanjutkan!

Surabaya, 30 Desember 2022

https://alif.id/read/hakim-jayli/teladan-gus-dur-menguatkan-nu-dari-dalam-b246781p/