Tantangan Kiai dan Pemerintah dalam Menghadapi Kekerasan Seksual

Kejahatan terjadi bukan karena niat pelakunya, namun juga karena adanya kesempatan”, demikian nasehat umum yang dikenal dalam dunia tindak pidana. Yang perlu digaris bawahi dari nasehat ini adalah adanya kesempatan.

Secara teoretis, kesempatan adalah kunci suksesnya tindakan tertentu dilakukan, termasuk tindakan diskriminasi. Arti “kesempatan” dalam kalimat yang umum di Indonesia sebagai nasehat bang Napi ini, dapat diinterpretasikan secara holistik sebagai “kuasa” tindakan. Salah satu pakar yang mengusulkan tesa demikian adalah Karl Marx. Baginya, diskriminasi terjadi karena adanya kelas kuasa strata sosial masyarakat. Jika strata masyarakat ditentukan oleh kepemilikan kapital, maka pihak yang paling berkesempatan melakukan tindak diskriminasi adalah mereka yang kaya dan memiliki modal kuat.

Pada era kontetasi politik identitas agama, tentu tidak sama dengan fenomena yang diamati oleh Marx. Strata sosial tidak lagi dipengaruhi oleh banyak modal yang dimiliki. Namun banyak dipengaruhi oleh dominasi atau hegemoni paham agama. Dengan kata lain, stratifikasi borjuis- proletar bukan lagi didasarkan modal, namun lebih tergantung pada arus hegemoni agamanya.

Sisi ini, senada dengan apa yang dijelaskan oleh Gramscy bahwa klaim kebenaran dan moral menjadi hal paling kuat dalam melahirkan kuasa sosial. Jadi, jika dikatakan bahwa diskriminasi berhubungan dengan kuasa sosial, maka dapat dikatakan bahwa pemilik hegemoni moral dan kebenaran paling berkesempatan melakukannya. Dengan demikian, dalam kontestasi politik agama, tokoh agama dapat dikatakan paling rawan melakukan diskriminasi.

Baca juga:  Gus Dur Hadir Menemani Timnas Indonesia

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan agama pun terancam oleh dampak negatif maraknya politik identitas agama. Kiai sebagai tokoh agama pesantren, sejak awal memang memiliki kuasa hegemoni di masyarakat. Sebenarnya, hal demikian tidak ada masalah, jika hegemoni yang bersumber dari ajaran agama tidak didominasi oleh hasrat pemenuhan sisi kebinatangannya. Selama nilai-nilai luhur keagamaan menjadi dasar refleksi tindakan, diskriminasi tidak akan terjadi. Selama agama tetap menjadi acuan hidup, bukan hanya sebagai wacana politik, para tokoh agama tak akan pernah menyalah gunakan kuasa hegemoninya. Yang menjadi masalah, maraknya politik identitas agama merayu para tokoh agama untuk memanfaatkan hegemoninya. Kiai pesantren pun juga banyak digoda untuk mempertimbangkan fungsi hegemoninya. Jika tergoda, paham agama yang mestinya sebagai kontrol tindakan moral, dapat saja beralih fungsi menjadi senjata paling mematikan dalam melakukan diskriminasi.

Peran Kiai dan Pemerintah

Fenomena diskriminasi seksual yang terjadi di pesantren akhir-akhir, bukan hanya catatan hitam yang mengganggu kesucian marwah pesantren secara kelembagaan. Fakta sosial ini juga tantangan bagi pemerintah dan lebih-lebih bagi pemuka agama, utamanya kiai di pesantren. Akarnya, tentu adalah politik identitas agama. Identitas agama sebagai instrumen politik sama sekali tidak bermanfaat bagi keberlanjutan nilai-nilai luhur masyarakat.

Baca juga:  Iman: Puisi dan Bocah

Politik identitas mempublikasi agama sebagai wacana politik. Dampaknya, ajarannya tidak lagi ada dalam ruang-ruang refleksi jiwa manusia, namun hanya hadir sebagai image yang dipertaruhkan untuk mengais pemenuhan hasrat hewani. Sakralitas nilai yang harusnya membatasi tindakan buruk, malah dijadikan jembatan melakukan tindakan bejat. Salah satu cara menanggulangi masalah ini, tentu adalah dengan memposisikan kembali ajaran agama di ruang yang semestinya.

Para kiai sebagai pihak yang memiliki hegemoni kuat di pesantren, perlu melawan arus dampak negatif politik identitas agama. Sebagaimana para pendahulunya, sudah saatnya kiai-kiai mempertimbangkan kembali wacana agama sebagai identitas kekuasaan sosial. Pemahaman agama yang diberikan diolah kembali agar tidak hanya menjadi kognisi untuk sukses menguasai publik atau hanya sebagai alat debat identitas komunal politik. Semestinya, lebih diarahkan untuk menjadi nilai- nilai budaya yang mampu menkerangkeng tindakan bejat masyarakat, khususnya masyarakat pesantren sendiri.

Bagi pemerintah pun demikian, harus juga ikut serta dalam menjaga nilai-nilai budaya pesantren. Diakui ataupun tidak, meningkatkan peran pesantren dalam kebijakan politik juga banyak mempengaruhi gerak perubahan nilai budaya pesantren. Banyaknya anggaran yang digelontorkan dan pengarusutamaan pesantren dalam kontestasi politik, telah banyak mengubah tradisionalitas luhur pesantren. Para pengelola pesantren banyak yang tergiur bantuan pemerintah. Wacana pembiayaan yang besar mendorong munculnya sikap pragmatis masyarakat pesantren. Bahkan banyak pesantren baru berdiri tanpa gen budaya luhur yang jelas, hanya karena ingin mendapatkan jatah bantuan pembiayaan. Sikap pragmatis demikian, tentu melemahkan nilai luhur yang selama ini kuat.

Baca juga:  Pandemi dan Campur Tangan Manusia

Masyarakat pesantren biasa hidup sederhana, bersahaja dan penuh kesukerelaan. Jangan ajari dan goda mereka dengan bualan kuasa politik dan anggaran yang besar. Baik memang membantu pesantren, namun jika hanya menyebabkan perubahan nilai-nilai luhur budaya pesantren, apa manfaatnya? Pesantren telah kuat sebelum Indonesia merdeka dengan nilai-nilai agama yang luhur, bukan dari anggaran politik pemerintah. Pesantren hidup dari keluhuran budaya masyarakat, bukan dari pragmatisme tindakan sosial. Jadi sudah saatnya, pemerintah atau para politisi, untuk ikut serta merawat budaya pesantren dengan cara melindunginya dari perubahan maraknya pragmitisme agama.

https://alif.id/read/msi/tantangan-kiai-dan-pemerintah-dalam-menghadapi-kekerasan-seksual-b244648p/