Syekh Subakir Ala Pesantren Sidopurno Sidoarjo

Oleh Mashuri, Kurator, Peneliti Sastra di Balai Bahasa Jawa Timur

Titik Terang Asal-Usul Goa Pesantren

: ngablak siang

Dalam beberapa khazanah Jawa, dikisahkan Syekh Subakir menanam ‘tumbal’ bagi tanah Jawa pada zaman baheula agar tidak sangar. Ternyata, hal yang sama terjadi di kawasan Dusun Sidopurno, kini masuk Desa Sidokepung, Buduran, Sidoarjo. ‘Syekh Subakir’ yang dimaksud adalah Kiai Ihsan. Kiai inilah yang berperan dalam menaklukan tanah sangar dan menjadi cikal bakal sebutan Pesantren Sidopurno, yang kini ‘hanya’ dikenal sebagai jalan Pesantren dan jalan Goa Pesantren. Diperkirakan tahunnya berlangsung pada 1800-an.

Dari penelusuran sederhana terkait dengan beberapa pesantren tua di Buduran, terdapat titik terang mengenai Goa Pesantren di Dusun Sidopurno, yang dulu berdiri sendiri dengan nama Desa Sidopurno dan tercatat dalam kartografi Belanda tahun 1700-an sebagai satu-satunya nama tempat di Kecamatan Buduran yang tercatat. Sebagaimana prasangka awal, Goa dan Pesantren memang dua lokus berbeda, meskipun lokasinya satu area, bahkan dapat dikatakan sepelemparan batu.

“Itu dua tempat yang berbeda, Mas. Goa sendiri dan pesantren sendiri. Dulu, Sidopurno itu berdiri sendiri sebagai sebuah desa yang luas. Ada Sidopurno Duran, ada Sidopurno Goa,” tutur BA (60 tahun), mantan kasun Sidopurno 2003–2019.

Dari beberapa sumber, Goa merupakan lokus tersendiri yang unik. Banyak kisah-kisah berbau mistis dan menakutkan seputar Goa. Namun yang jelas, Goa yang sebagaimana namanya berupa goa, kini hanya berupa gundukan tanah yang hampir mendatar dan tidak tampak goanya. Kondisinya semakin menyusut seiring perkembangan zaman, baik secara harfiah maupun maknawiah.

Mungkin gambar luar ruangan
Sebuah masjid dekat lokasi Pesantren Sidopurno

Namun yang jelas dari beberapa sumber, ada beberapa persamaan pendapat mereka terkait Goa. Pertama, dulu ada goanya. Bahkan, dikenal sebagai tempat pertapaan. Jadi sebutan itu bukan hoaks. Kedua, termasuk kawasan jalma mara jalma mati. Ketiga, dihuni ular besar berjenis Sawa Kembang. Keempat, lokasinya seperti bukit dan agak luas. Kelima, sebagai situs kesejarahan.

“Seingat saya di sana itu dulu ada seperti makamnya. Saya perna melihat nisannya. Tapi cuma satu makam. Bahkan, ada pohon kambojanya yang tua,” tutur S (58 tahun), warga Sidopurno.

Sayangnya, ketika saya di TKP tempo hari, saya menemukan beberapa fakta. Goanya sudah tak ada. Kamboja sudah mati. Tanda-tanda keberadaan makam pun sudah hilang. Kondisinya menyempit, hanya semacam genengan, dengan beberapa pohon baru dan semak, serta beberapa potongan batu-bata lama/kuno yang berserak. Sejak kapan goanya tidak ada?

“Kami tidak tahu persisnya goa itu tertimbun, Mas. Kira-kira pada masa kemerdekaan 1945, goa itu masih ada. Dimungkinkan tidak jauh dari itu,” tutur BA.

Sumber lain menyebut sekitar tahun 1960-an, pascaperitiswa 1965. Tak heran, beberapa sumber dari generasi kini menganggap bahwa goa tersebut adalah goa gaib. Namun, menilik model mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Sidopurno dan sekitarnya, keberadaan Goa hampir mirip dengan muasal Candi Patakan di Lamongan. Candi itu dulunya dianggap bukit berceruk goa yang gung liwang liwung jalma mara jalma mati. Namun, ternyata di sana tersimpan sebuah candi. Saya sendiri tak berani berspekulasi soal Goa di Sidopurno sebagai situs lama, karena ceritanya tidak asyik-asyiknya. Menyeramkan, Coy!

Lalu bagaimana dengan Pesantren di Sidopurno? Yeah, Pesantren itu bukan hoaks juga. Sahdan pendiri Pesantren yang dimaksud adalah Kiai Ihsan. Sayangnya, tidak ada satu pun sumber yang mengetahui asalnya dan tahun tepat pesantren itu berdiri. Hanya saja, terdapat sebuah sumber terpercaya menyebut, Kiai Ihsan itu khusus didatangkan oleh Lurah Desa Sidopurno, yaitu Lurah Sumo/sebelumnya, ketika Desa Sidopurno masih sebagai desa mandiri dan belum disatukan dengan Desa Ngepung sehingga menjadi Desa Sidokepung. Bisa jadi, tahunnya adalah peralihan abad ke19–20. Sekitar tahun 1800-an akhir. Pertimbangannya, keturunan kiai tersebut masih dapat dikenali dan dirunut, meskipun kini menjadi orang kebanyakan.

“Cicit sang kiai baru wafat lima tahun yang lalu, dalam usia 85 tahun. Salah satu putera Kiai Ihsan menjadi modin Desa Sidopurno dan Desa Sidokepung pada zaman Belanda,” terang BA.

Yang jelas, Kiai Ihsan bukan aseli Sidopurno. Ia didatangkan oleh lurah Sumo/sebelumnya dengan tujuan untuk mengajari warga Sidopurno belajar agama atau mengaji. Selain itu, sebagaimana peran Syekh Subakir dalam menawarkan tanah Jawa yang sangar, hal itu juga berlaku bagi Kiai Ihsan. Lokasi yang disebut sebagai pesantren sejak dulu adalah kawasan angker dan sangar. Tidak ada yang berani membangun rumah dan menggarap sawah di sekitarnya. Apalagi posisinya berada di antara tiga tirik tanah rawan di Sidopurno. Di depan, ada area Kempleng, yang kini dikenal dengan keberadaan makam Mbah Kempleng. Di tengah merupakan area Pesantren. Di belakang, merupakan area Goa.

“Posisi pesantren itu berada di tengah-tengah. Kini ada di areal Paberik Kopi berada di bagian belakang,” seru BA.

“Ada juga yang menyatakan, area Pesantren itu merupakan pasar para penghuni tak kasat mata di kawasan ini. Merupakan titik pertemuan mereka,” timpal S.

Yup, kawasan itu sejak tahun 1997 memang berdiri sebuah paberik kopi untuk keperluan ekspor yang berkantor pusat di Lampung. Kembali ke Pesantren. Diyakini sejak kehadiran Kiai Ihsan dan mendirikan langgar di sana pada tahun 1800-an akhir, tanah di sana menjadi tawar. Gangguan tak lagi ada. Banyak orang berdatangan untuk mengaji di langgar. Warga pun mulai berani menggarap sawah di sekitarnya.

Di sisi lain, ada juga warga sepuh yang menyebut Pesantren sebagai pomahan kiai. Hal itu karena dulu memang tanah itu dipergunakan khusus sebagai rumah kiai. Namun, yang menjadi ingatan masyarakat kini adalah adanya pesantren, karena bukan sekadar rumah tinggal, tetapi ada langgar dan asrama. Yang datang mengaji ke sana pun berasal dari desa-desa yang jauh sehingga mereka pun mondok atau menginap.

“Waktu Kiai Ihsan datang di Sidopurno dan tinggal di Pesantren, beliau masih bujangan,” terang BA.

Kiai Ihsan pun menikah dengan seorang dara setempat. Setelah berumah tangga, ia diberi tanah oleh Lurah di dekat masjid desa. Selanjutnya, Kiai Ihsan sering pula berada di rumah dekat perkampungan penduduk, sekaligus sebagai imam masjid desa. Meski demikian, menurut sebuah sumber, pengajian di Pesantren masih terlaksana sebagaimana biasa. Namun, setelah Kiai Ihsan wafat, tidak ada yang meneruskannya. Setelah pesantren tinggal nama, tanah yang asalnya sangar pun kembali menjadi tegalan tak berpenghuni. Mitosnya, karena seringkali Kiai Ihsan terbiasa dengan ritual tertentu, sehingga ‘penghuni lain’ pun kecanduan. Ehm! Kayak nyeruput kopi dan rokok ajah.

“Pihak paberik kopi masih sering menggelar istighasahan di arealnya, yang dulu merupakan kawasan Pesantren. Saya pernah diundang. Mereka percaya, jika itu tidak dilakukan, berbahaya,” tutur BM (59 tahun), sebuah sumber lain.
Tak heran, beberapa sumber, terutama dari sumber generasi kiwari ketika ditanya perihal Pesantren di Sidopurno, mereka menyebut bahwa di sana memang ada pesantrennya. Tetapi, pesantren gaib. Hadeh! Yang terang, di areal Pabrik Kopi, di bagian belakang, memang tilas Pesantren Sidopurno yang diasuh oleh Kiai Ihsan, yang juga berperan sebagai semacam ‘Syekh Subakir’.

Demikianlah beberapa fakta cangkeman di lapangan yang sudah dirapikan. Selain itu, yang penting lainnya adalah soal kesejarahan Eyang Sapu Jagad di Sidopurno, Sidokepung. Saya kira sumber yang menyebut bahwa Eyang Sapu Jagat berasal dari eksponen Perang Jawa (1825–1830), harus dikoreksi ulang. Dari beberapa temuan di lapangan, keberadaannya sangat mungkin jauh lebih tua. Dimungkinkan penulisan kartografi Belanda terkait dengan Sidopurno menyaran pada posisi Eyang Sapu Jagat yang bersemayam di Sidopurno, Sidokepung, besar sekali.

Wallahu a’lam.

On Sidokepung, 2021