Syair-Syair Arab Jahiliyah yang Berkembang Tanpa Tradisi Baca-Tulis

Bangsa Arab Jahiliyah adalah bangsa yang sangat jauh dengan tradisi baca-tulis. Mereka tidak terbiasa mencatat peristiwa-peristiwa sebagaimana bangsa lain seperti Cina, Eropa, atau Mesir kuno.  Menurut Muhammad Husain Jaudi dalam Al-Fan al- Araby al-Islami, hanya ada tujuh belas laki-laki dan tujuh perempuan saja yang dapat menulis di Mekah. Sumber lain menyebutkan hanya ada empat puluh dua orang yang mampu menulis. Alasan sederhana dari hal ini adalah karena mereka hidup secara pindah-pindah (nomaden).

Namun menariknya, di balik buta hurufnya bangsa Arab Jahiliyah, mereka adalah bangsa yang sangat mengagungkan syair-syair. sebuah bangsa yang sepertinya di takdirkan untuk menjadi para penyair. Saking berharganya syair bagi mereka, suatu kabilah akan merasa lebih bangga ketika salah satu anggota keluarganya ada yang menjadi penyair ketimbang menjadi komandan perang.

Tapi bagaimna bisa bangsa Arab Jahiliyah bertahan menjaga syair-syair mereka tanpa tradisi baca-tulis? Bukankah seorang penyair akan menjadi harum namanya ketika syair-syair gubahannya bisa sampai ke generasi berikutnya. Tapi bagaimana bisa sampai ke generasi berikutnya jika mereka tak memiliki tradisi baca-tulis?

Jawabannya adalah menghafal. Bangsa Arab Jahiliyah memang tidak memiliki tradisi baca-tulis yang baik, tetapi mereka memiliki kekuatan yang sangat mengagumkan yaitu tradisi penalaran. Penyampaian informasi dari mulut ke mulut.

Baca juga:  Melacak Jejak Syiar Muslim Tionghoa di Indonesia

Mereka bisa menelusuri suatu peristiwa atau fakta di masa lalu hanya melalui ingatan yang di turunkan secara kelisanan. Itu sebabnya Ilmu Nasab di Arab Jahiliyah berkembang melalui ingatan-ingatan para ahli nasab dan penyair, bukan dari tulisan. Dalam buku At-Takmilah karya Ibnul Jabar yang di kutip Ibnu Khaldun dalam Muqadimah-nya, sebuah asal-usul penggunaan aksara di masyarakat Quraisy bisa di telusuri melalui ingatan Abdullah bin Abbas secara detail. Betapa kuatnya ingatan yang dimiliki bangsa Arab.

Namun diantara tradisi lisan yang mengagumkan tersebut, pantun syair adalah penalaran paling berharga bagi masyarakat Arab Jahiliyah. Tidak ada yang lebih berharga dari pantun dan syair. Alam yang liar, padang pasir membentang luas, dan kehidupan yang bebas, adalah sumber inspirasi untuk menggali makna perasaan dan gejolak pikiran.

Dalam sistem sosial masyarakat Arab Jahiliyah, para penyair bahkan memiliki peran penting dalam tradisi kepemimpinan. mereka ikut berperan dalam keanggotaan Majelis Kabilah, yaitu sebuah majelis tingkat tinggi yang memiliki kekuasaan untuk menetapkan sebuah keputusan-keputusan krusial bagi nasib seluruh kabilah.

Syair-syair yang di buat para penyair di yakini sebagai sebuah wahyu yang berdimensi ilahi. Mereka dendangkan syair-syair untuk membangkitkan perasaan dan menyalakan patriotisme. Syair-syair tersebut kerap merekam beragam peristiwa di masa lalu, dan di jadikan rujukkan oleh ahli nasab dan sejarah untuk mengungkap silsilah seseorang maupun kemuliaan nenek moyang suatu kabilah di masa lalu.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (2): Tripoli-Libya, Kota yang Terus-menerus Dirundung Kesedihan

Menurut literatur Arab, tercatat ada Syair-syair terbaik dan maha indah yang mendapatkan kehormatan masuk ke dalam tujuh syair pujaan yang disebut al-mu’allaqat, artinya “yang digantungkan”. Yaitu syair-syair yang mendapatkan kesempatan mulia untuk digantungkan di dinding Ka’bah dengan tulisan tinta emas sebagai syair terbaik seantero Arab hasil seleksi terbaik dari yang terbaik.

Bangsa Arab Jahiliyah memang tidak memiliki tradisi merekam peristiwa dengan catatan. Mereka adalah bangsa yang tidak hanya buta huruf, tetapi juga anti-huruf.  tetapi mereka memiliki alat rekam peristiwa yang amat unik, yaitu syair. Untuk menjaga syair-syair bisa sampai ke generasi berikutnya, alih-alih mendokumentasikan dengan catatan, para penyair Arab lebih memilih membawa dua orang pemuda untuk menghafalkan syair-syair yang di dendangkan untuk kemudian kelak bisa di sebarkan lagi ke generasi berikutnya.

Sementara itu, tradisi menulis dalam masyarakat Arab mulai menjadi perhatian penting sejak Islam berkembang. Sejak kemenangan umat Islam pada perang Badar, para tahanan perang yang memiliki keahlian baca-tulis akan di wajibkan untuk mengajari anak muda Madinah baca-tulis. Keputusan Rasulullah SAW tersebut secara radikal membasmi buta huruf masyarakat Arab di kemudian hari. Sementara syair-syair, dilanjutkan dan didokumentasikan secara adiluhung sebagai kalam Ilahi yang menjadi bagian dari mukjizat kenabian, yaitu Al-Quran.

Baca juga:  Undang-Undang Pesantren Darat: Kunjungan Snouck Hurgronje ke Pesantren Kiai Sholeh Darat Semarang

https://alif.id/read/mak/syair-syair-arab-jahiliyah-yang-berkembang-tanpa-tradisi-baca-tulis-b246773p/