Surat Terbuka Buat Cak Imin

Oleh Ahmad Irwiyan Haq

Sebagai seorang Nahdliyin dan simpatisan PKB (PKB lama), mohon izin saya menulis surat terbuka ini.

1. Memanfaatkan sentimen agama untuk meraih simpati itu tidak baik lho, Cak. Malah menurut saya jahat banget. Cobalah berfikir lebih panjang sedikit. Efek yang akan dihasilkan tidak mudah dihapus, tidak segampang menghapus tweet. Kalau mau protes aturan Kemenag yang sedang ramai jadi perbincangan, ngopilah. Wong Gusmen itu anak buah antum.

2. Ketika aturan Kemenaker tentang JHT ramai dan banyak mendapat penolakan publik, sampean di mana? Sepertinya tak tampak dalam jangkauan saya ada suara sampean menyikapi ini. Apa karena sudah ngopi sama Bu Ida Fauziyah, Menaker yang kebetulan kader sampean dan cawagub 2018 sampean? Kok bisa-bisanya yang lebih menyuarakan keluhan kami di depan kami malah Hotman Paris. Ia malah yang ketiban ‘elektabilitas’, bukan?

3. Sampean di banyak tempat pasang baliho capres 2024. Tapi malah usul penundaan pemilu 2024. Jan-jane piyeee? Selain lucu, usulan semacam itu menghadapi benturan konstitusi dan undang-undang. Efek dominonya akan meninbulkan krisis legitimasi, konflik politik yang meluas, dan merumitkan posisi kedaulatan pemerintah dan negara. Pada akhirnya pun mengorbankan umat banyak karena banyak kebijakan yang mangkrak. Usulan begitu dengan dalih demokratis pun sangatlah tidak tepat. Ojok ngisin-ngisini lah. Jare sampean panglima santri? Kesantriannya di mana jika mindset nya ndak maslahat begitu, ndak ‘khas santri’ banget. Tolonglah dipikir maneh.

4. Buatlah podcast dan YouTube untuk menyuarakan gagasan-gagasan cemerlang sampean bagi bangsa Indonesia dan umat dunia. Sebarkan itu semua melalui pipeline dan mesin sampean ke segala penjuru. Percayalah, itu akan jauh lebih membantu mendongkrak pamor sampean. Gugahlah kami anak-anak muda untuk melihat siapa sampean dan bagaimana kecanggihan sampean dalam menyikapi tantangan bangsa dan dunia. Kami sungguh tidak tergugah dengan baliho-baliho.

5. Sebagaimana kita semua tahu, PKB itu kan ‘anak kandung’ NU dalam hal partai politik. Dan sampean sudah sekian tahun menjadi kumendannya. Di sisi lain, salah satu Imam yang menjadi rujukan jamiyyah NU adalah Imam Al-Ghazali. Sebagai kumendan, terjemahkanlah ajaran-ajaran Imam Al-Ghazali dalam hal siyasah politik yang implementatif dan sesuai dengan tantangan zaman. Saya yakin sampean lebih dari mampu. Lha wong sampean kan panglima santri. Santri ndeso saja paham ajaran itu, apalagi panglimanya tho? Selain memiliki ‘circle of concern‘ yang cukup, ‘circle of influence‘ sampean saya yakin sangat mumpuni.

6. Tolong hindari penggunaan lambang jamiyyah NU untuk acara-acara sampean, meskipun acaranya bersama nahdliyin dan kiai NU. Menurut hemat saya, penggunaan lambang NU untuk hal seperti itu men-down grade muru’ah jamiyyah dan berpotensi menimbulkan citra jamiyyah yang tidak baik di publik, baik publik nahdliyin yang lain atau di luar nahdliyin. Boleh jadi akan ada anggapan bahwa PKB = NU. Padahal tidak. Sungguhpun tidak. Menghindari ‘mafasid’ tentulah lebih yoih.***

Saya kira begitu saja dulu ya, Cak. Semoga surat ini bisa ditanggapi oleh hati sampean, bukan mesin-mesin sampean. Karena surat ini bukan untuk mereka.

Nggih, mpun.

Maturnuwun.