Sudut Pandang dalam Sastra

Anakmu bukan milikmu

Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.

Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,

Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.

Kita pasti kenal potongan puisi terkenal yang terkutip ini, yang menggambarkan bagaimana seharusnya menjadi orangtua. Ya, betul, ia adalah Kahlil Gibran. Penyair Lebanon yang hidupnya cukup tragis, tidak sebahagia yang direnung-renungkannya dalam setiap bukunya.

Lantas, apa sebetulnya yang ditulis di “Sang Nabi” yang legendaris itu?

Sungguh, cuma persoalan yang sepele. Yang merupakan bagian hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Selain soal anak (mendidik anak), termuat juga hal yang menyangkut perkawinan, cinta, dan lain sebagainya. Ya, bukan yang besar-besar — mengenai nasib bangsa — sebagaimana harusnya Kahlil memberi kesaksian atas jatuh bangun tanah airnya yang senantiasa ‘tertimpa perang’ itu.

Sementara kalau kita berpaling pada karya sastra dunia lainnya seperti puisi-puisi Cina klasik bikinan Wang Wei, Li Po, dan Tu Fu justru kesepelean itu begitu tampak. Hingga suara angin berembus, musim gugur, jadi sasaran kreativitas mereka. Kalau toh dalam balutan perang atau kejadian dalam negara masih tampak hal yang sepele itu.

Simak puisi “Mengenang Saudaraku di Bawah Sinar Bulan” Tu Fu ini: Genderang perang memisahkan para lelaki. / Pedih rasanya waktu musim semi mendengar angsa liar menjerit di medan perang: / Malam ini kulihat betapa embun berwarna perak; Kuingat bulan bersinar di desaku. / Saudara-saudaraku terserak di empat penjuru bumi, tak kutahu mereka hidup atau mati. / Surat-surat entah ke mana; siapa pula akan menerimanya / Selama perang masih merajalela?

Baca juga:  Saksikanlah, Gelar Pertunjukan Seni Randai Gali Secara Virtual Malam Ini

Bagaimana dengan “Siti Nurbaya”, “Salah Asuhan”, “Belenggu” yang jadi tonggak dalam dunia kesusastraan Indonesia. Percayalah, tidak kurang sepelenya. Karena dasar dari cerita ini: cinta. Sesuatu hal sederhana yang bisa tumbuh dan berkembang ke segala sisi, yang kecil atau besarnya tergantung kemampuan para sastrawan dalam mengolahnya.

Kalau ketiga buku ini dibilang menceritakan sesuatu yang akbar, ya tidak salah duga. Kunci permasalahannya adalah terletak pada sudut pandang. Buat saya, hal sepele yang dimaksudkan bukanlah kemudian mengabaikan hal-hal yang besar dan ada kemungkinan akan memuaikan unsur kesejarahan. Melainkan bisa menjadikan kesepelean ini dasar pijakan untuk melangkah ke hal-hal yang besar. Atau biasan dari sepele ini menjadikan tonggak sejarah, itu bisa jadi. Bukti untuk ini, banyak.

Amir Hamzah

Masih ingatkah pada Amir Hamzah yang disebut ‘raja pujangga baru’ itu? Apa yang telah ditulisnya? Tidak lain pergolakan batin yang lekat, sehingga muncul “Nyanyi Sunyi”. Lantas, apa yang membuat Chairil Anwar kondang sebagai penyair? Benar, puisi Aku-nya itu. Hingga HB Jassin kemudian tidak segan melekatkan predikat penyair pada ‘Si Binatang Jalang’ ini.

Sementara dengan kesederhanaannya yang menawan, Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, atau Zawawi Imron telah menunjukkan kemampuan. Itu sebabnya, gaya mereka terus bertahan  di tengah lintang pukang dunia kesusastraan Indonesia.

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Medium Transformasi Nilai-Nilai Masyarakat

Akan halnya ‘Si Presiden Penyair’ Sutardji Calzoum Bachri sesungguhnya tidak kurang sepele dan sederhananya. Lha, dasar puisinya saja mantra — yang sudah sekian lama jadi tradisi bangsa kita.

Di bidang prosa, Danarto, Putu Wijaya, atau Ahmad Tohari toh menceritakan hal-hal yang sebetulnya sepele. Seperti bagaimana hiruk-pikuknya perjalanan kereta api, bagaimana keinginan seseorang yang ingin terkenal, bagaimana kegelisahan seorang desa terhadap nasibnya.

Kebesaran karya seorang sastrawan pada dasarnya memang bukan terletak dari tema yang diusungnya, melainkan sejauh mana kemampuannya mengolah permasalahan yang menggejolak di benak. Rasanya karya yang melambungkan Linus Suryadi AG “Pengakuan Pariyem” punya posisi di pelataran sastra Indonesia, bisa jadi telah mendarahdaging sejak berabad lalu, memang istimewa. Walau untuk itu kemudian menimbulkan pro dan kontra. Hal yang biasa dalam sastra.

Perlu diingat, karya sastra itu bukan catatan sejarah, apalagi pembuat sejarah. Tapi, sekadar bias atau cermin masyarakat. Sastrawan pun bebas mengekspresikan pengetahuan dan pengalamannya lewat citraan karya yang mampu dibuatnya dan dianggapnya tepat. Sepele kan!

https://alif.id/read/ayps/sudut-pandang-dalam-sastra-b240341p/