Soetomo dan Sejarah “Berasap”

Di halaman-halaman sejarah Indonesia, Soetomo ditulis sebagai dokter. Ia pernah belajar di STOVIA, bekerja sebagai dokter di pelbagai tempat. Ia memang dokter bermisi kesehatan dan kebangsaan.

Sejak awal abad XX, ia dan teman-teman di STOVIA menginginkan perubahan nasib di tanah jajahan. Mereka sadar telah mereguk pengetahuan modern, bermaksud mengubah tata kehidupan menuju “madjoe” dan “moelia”. Di sejarah, mereka itu “terpilih” untuk mula-mula mengerti pelbagai ilmu “baroe” berdatangan dari Barat. Mereka paham kesehatan dan pengetahuan modern tapi berhak menggunakan untuk gerak pendidikan dan politik.

Pada suatu hari, Soetomo terlalu berduka dengan kematian bapak. Ia sadar harus berubah dalam pemikiran dan cara hidup. Ia sebagai anak sulung memikul tanggung jawab besar berbarengan belum merampungkan studi di STOVIA.

“Bulan dan bintang-bintang menjadi teman-teman saya sebagai sediakala, memberi ketenteraman hati dan memberi kepercayaan akan kekuatan diri sendiri, memberi pengharapan baik kesudahannya,” tulis Soetomo dalam buku berjudul Kenang-Kenangan (1934). Ia memang termasuk kaum (elite) terpelajar tapi tetap memiliki keluguan dalam hidup. Ia memandang langit bukan berurusan ilmu-ilmu dipelajari di sekolah. Langit menjadi alamat perenungan.

Hari-hari berubah. Soetomo bukan lagi sosok manja. Ia sadar untuk melakukan perubahan-perubahan dan menunaikan beragam kewajiban. Hidup minta ditanggapi dengan keinsafan mengandung janji-janji (bakal) bahagia.

Baca juga:  Shafiyuddin al-Hindi dan Tulisannya Yang Jelek

Hidup tak boleh boros. Soetomo mengenang dampak kematian bapak: “Sumber uang guna hidup sebagai sediakala, traktir-mentraktir, saing-menyaingi sudah tertutup dengan sendirinya, sedang akan menunjukkan bahwa saya ketika itu ada kekurangan belanja malulah rasa hati saya. Oleh karena itu, adat lama tidak dapat diteruskan. Memberi dan meminta rokok, meminjam dan meminjamkan sabun dan pakaian itu semua menjadi pantangan.”

Kita maklum dengan duka ditanggungkan. Kenangan justru membuat kita (agak) terkejut gara-gara rokok. Kita menduga kaum terpelajar awal abad XX memiliki kebiasaan merokok. Kesadaran atas zaman modern memberi pengertian-pengertian baru tentang sekolah, busana, bahasa, dan lain-lain. Penampilan diri sebagai sosok terpelajar dan modern dianggap lengkap dengan rokok.

Kita berimajinasi adegan rokok di mulut dan rokok di tangan. Kaum terpelajar itu merokok sambil bercakap pelbagai hal. Mereka membuat asap sambil membahas ide-ide atau membuat hiburan dengan tawa. Rokok bersama mereka meski belajar kesehatan di STOVIA. Soetomo itu perokok. Sosok turut menggerakkan Indonesia dengan Boedi Oetomo dan Parindra pernah memiliki kebiasaan merokok.

Cerita dari masa lalu ditulis Soetomo (1934) jarang turut dalam pengungkapan sejarah Indonesia. Kita membaca sambil berpikiran sejarah Indonesia dengan kepulan asap rokok. Soetomo mengisahkan: “Rokok yang saya isap berlainan dengan yang biasa diisap oleh teman-teman. Saya isap rokok yang lebih mahal harganya, misalnya cerutu. Tetapi, ini hanya terjadi pada waktu yang luar biasa saja, pada waktu yang terpilih, misalnya hari Sabtu atau hari yang luar biasa.”

Baca juga:  Pandangan Gus Dur Tentang Islam (1)

Dulu, Soetomo sadar uang dan kenikmatan merokok. Ia pernah membedakan diri dengan selera rokok. Di tulisan mengenang masa lalu, kita tak mendapat keterangan merek rokok dan harga. Kita cuma mengerti bahwa Soetomo itu perokok tak sembarangan.

Kebiasaan merokok bukan “terlarang” saat bermunculan elite terpelajar. Kebiasaan sudah terbentuk lama, bukan kejutan bila kaum muda sedang belajar ilmu-ilmu baru di sekolah memiliki selera merokok. Mereka mungkin tampil (makin) parlente dengan gerak tangan saat merokok. Di mulut dan hidung, asap itu mengabarkan kenikmatan. Konon, rokok menjadikan pergaulan akrab. Rokok mengiringi percakapan-percakapan (serius atau sepele) menimbulkan dampak-dampak sering tak terduga.

Kita kebablasan berimajinasi tentang kebiasaan kaum muda di STOVIA. Mereka suka membaca buku dan surat kabar. Di keseharian, mereka tentu suka membuat obrolan-obrolan. Mereka tak cuma omong dan mendengar. Mulut pun sibuk dengan merokok. Dugaan sembrono: rokok turut dalam babak-babak pendirian Boedi Oetomo (1908). Soetomo mengaku sebagai perokok. Teman-teman turut mendirikan Boedi Oetomo mungkin memiliki kebiasaan merokok. Kita menduga tapi bisa salah. Begitu.

https://alif.id/read/bandung-mawardi/soetomo-dan-sejarah-berasap-b247764p/