Santri Harus Menjadi Fa’il di Era Digital

Konten-konten dalam dunia maya itu ada yang positif, dan juga ada yang negatif. Supaya konten positif dominan di dunia maya, maka santri harus menjadi pionir atau pemegang kendali di era digital.

Hal tersebut diungkapkan oleh Redaktur Eksekutif NU Online, Mahbib Khoiron pada seminar Literasi Digital dengan tema Optimasi Kecakapan Santri di Era Digital di Pondok Pesantren Darussalam Meteseh Boja Kendal, Jawa Tengah, Senin (29/8/2022).

“Maka sudah seharusnya para santri itu menjadi pionir, pemegang kendali dari sebuah media. Nah saya menyebutnya pesantren harus sebagai subjek, bukan sebagai objek. Kalau istilah ilmu nahwunya santri harus itu menjadi fa’il, bukan maf’ul,” ujarnya.

Menurutnya sudah saatnya santri menjadi subjek, menjadi orang yang aktif di dalam dakwah, dalam menyampaikan pesan, dan nilai pesantren di dunia maya. Lebih lanjut ia berharap agar santri memperluas jaringan media seperti YouTube, Facebook, Twitter, Instagram, tiktok, dan platform-platform lain yang belum terlalu populer tetapi sangat penting karena trendnya selalu naik.

“Apakah mungkin? Sangat mungkin, karena pesantren punya khazanah yang nyaris lengkap untuk prasyarat sebagai media yang baik. Dari segi literatur pesantren punya kitab kuning, mulai dari A sampai Z, mulai dari disiplin yang ringan sampai yang berat, dari fiqih dasar, ilmu tasawuf, sampai mungkin ilmu hikmah” jelasnya.

Baca juga:  Gus Miftah dan Ganjar, Ada Apa? Cintaku Padamu Lillahitaala

Sehingga dengan khazanah yang luas, sudah seharusnya khazanah tersebut tidak hanya berhenti di rak buku, tetapi harus disampaikan ke masyarakat luas.

“Maka pilihannya adalah bagaimana kyai atau mungkin ilmunya kyai tersampaikan dengan baik ke masyarakat, termasuk lewat google, bukan googlenya yang kita hindari. Tetapi bagaimana mewarnai googlenya itu dengan konten-konten yang bersanad. Jadi jangan googlenya yang kita hindari, tetapi bagaimana mengisi google itu, ruang-ruang yang disediakan oleh mesin pencarian internet itu dengan konten-konten yang memiliki sanad otoritatif,” paparnya.

Dirinya berpesan kepada santri agar bermedia sosial bukan sekedar menggunakan untuk hiburan atau akses informasi. Tetapi juga memberikan informasi, atau pesan-pesan tertentu kepada masyarakat dalam perspektif pesantren.

“Mungkin teman-teman bisa memposting kutipan-kutipan ulama yang memang ini penting disampaikan ke masyarakat atau resensi sebuah kitab, atau mungkin hasil bahtsul masail, atau mungkin hal-hal lain yang tak kalah pentingnya. Jadi media sosial bukan hanya untuk digunakan, tetapi untuk dimanfaatkan sebagai sarana dakwah,” pungkasnya.

Sementara itu Content Creator, Ahmad Mundzir mengungkapkan cara untuk menjadi subjek bagi para santri bisa diawali dengan cara yang kecil, seperti misalnya menulis di mading pesantren.

“Itu sangat penting karena untuk menumbuhkan karya yang besar, perlu dimulai dari karya yang kecil. Cara nulis di mading gimana? Gampang kalau ada pak kyai dawuh sampean tulis cepat nulisnya, nanti dirapikan ditulis ulang. Kalu video gimana? memvideokan cara baca kitab, cara sholat dzuhur, cara shalat maghrib,dan lain sebagainya,” ujarnya.

Baca juga:  Kolaborasi Dakwah dan Silaturahmi Digital MATAN

Menurutnya santri punya potensi semacam itu, tetapi dengan syarat harus mondok yang benar supaya bisa bermanfaat. Sehingga dengan mempunyai ilmu yang banyak, bisa membuat video dakwah yang menarik.

“Njenengan mempunyai kemampuan yang sama caranya gimana? Mulai sekarang teman-teman harus jadi fa’il, harus jadi pelaku. Jadi banyak sekali yang dapat kita lakukan di dunia internet,” pungkasnya.

Kemudian Muhammad Fatoni, Ustadz Pondok Pesantren Darussalam Meteseh Boja Kendal berpesan agar santri harus mampu mewarnai dunia digital.

“Kalau sekarang santri sedang memperkaya ilmu, kalau sudah saatnya, harus tampil ke depan. Terutama di dunia maya agar dunia maya tidak dikuasai oleh orang-orang yang tidak otoritatif,” ujarnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa literasi digital wajib untuk diketahui agar bisa memanfaatkan media sosial dengan sebaik-baiknya. Terutama kaitannya dengan al-hal yang sifatnya tidak pantas untuk diikuti, tidak pantas untuk dijadikan referensi.

“Tetapi kita benar-benar menemukan sumber informasi referensi yang benar otoritatif dari orang yang punya kemampuan di bidang itu,” pungkasnya.

https://alif.id/read/mizm/santri-harus-menjadi-fail-di-era-digital-b245219p/