Santri dan Budaya Literasi: Refleksi Hari Santri Nasional 22 Oktober 2022

0 0

Read Time:5 Minute, 8 Second

Oleh Ahmad Rusdiana

Peringatan Hari Santri Nasional Tahun ini, tepatnya hari Sabtu 22 Oktober 2022 menusung tema “Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan”. Tema ini mencerminkan peran santri dalam sejarah bangsa karena selalu ada di setiap fase perjalanan bangsa Indonesia”. Mengingatkan kita pada dua hal: pertama pemaknaan santri Nurcholish (1997), bahwa “kata santri berasal dari kata “sastri” sebuah kata dari sansekerta yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca al-Qur`an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang agama.

Kedua; Imam Ghazali, pengarang kitab Ihya Ulumuddin. “Bila kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah,”. Seorang tokoh besar tak mungkin lepas dari buku bacaannya, setiap aktivitas harinya tak mungkin berjauhan dengan buku. Sebagaimana lakon santri yang dididik di pesantren oleh kiainya untuk selalu mengaji. Tak selalu melulu untuk mengaji saja, namun juga diajarkan untuk menjadi unggah-ungguh santri yang baik. Pun sebaliknya, seorang santri tak mungkin lepas dari kontrol kiainya sebagai tumpuan transformasi ilmu.

Dari kacamata kiainya, seorang santri harus berani untuk apapun itu. Berani dalam belajar, berani istikamah, berani prihatin/mandiri untuk menuntut ilmu atau menjadi khadimul ilmi. Sejatinya santri mendekat dengan kiai. karena setinggi apapun jabatan dan mahkota seorang santri ketika sudah sukses dia secara nalurinya otomatis akan taqdim kepada murobbi ruhinya atau kyainya yang telah membimbing mengantarkan menuju kesuksesan.

Lalu bagaimana Pesantren dan santri? santri dan pesantren analogi seperti pohon dan daun yang tak bisa dilepaskan begitu saja. Pesantren memiliki makna secara global adalah, lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari ilmu agama (tafaqquh fi al-dîn) dengan penekanan pada pembentukan moral santri agar bisa mengamalkannya dengan bimbingan kiai dan menjadikan kitab kuning sebagai sumber primer serta masjid sebagai pusat kegiatan, itulah kemudian disebut pemberdayaan. Biasanya seorang santri tak lepas dari kegiatan mengahafal. Entah itu mengahafal kitab suci Alquran atau nadzom yang berada dikitab kuning. Makna santri sendiri, menurut tokoh populer seperti sperti diungkapkan H. Syaifuddin Zuhri, “bahwa santri itu berasal dari rakyat dan akan kembali ke tanah rakyat”. Apalagi, di era millenial ini santri zaman sekarang dan dahulu bukan hanya berbeda, akan tetapi transformasi baik dari kondisi dan situasinya maupun perubahan perkembangan zaman yang tentunya sangatlah berbeda. Santri  milineal yang memiliki sifat empati gotong royong dan rasa ingin tahu banyak semestinya sebagai contoh untuk membangun adat budaya membaca dan menulis dan menjembatani budaya literasi.

Lantas bagaimana Budaya literasi pesantren dan Para Santri?

Buku tentang kewawasan ilmu ilmu umum memang sangat jarang ditemukan di pesantren. Perpustakaan pun sama halnya sangat jarang ditemukan di kalangan pesantren. pada satu sisi memang terbatasnya tempat juga pendanaan Tradisi kegiatan membaca dan menulis sebenarnya sudah berjalan lama di pesantren dengan adanya kitab kuning yang dikaji oleh ustaz atau kiainya kemudian santri mencatatnya diselembaran kitab yang belum dia maknai atau dalam bahasa lain mengabsahi kitab dengan huruf pegon Jawa.

Secara arti budaya literasi merupakan kebiasaan berpikir yang diikuti proses membaca menulis, yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam proses kegiatan tersebut menciptakan karya. Memang, di kalangan pesantren kitab kuning merupakan sebagai identitas dirinya yang mebedakan intansi pendidikan dari yang lain. Bahkan bisa dibilang jika suatu lembaga pendidikan tidak bisa disebut pesantren jika di dalamnya tidak mengkaji kitab kuning.

Secara kultural pengajaran kitab kuning telah menjadi ciri khusus di pesantren dan tetap berjalan sampai saat ini. Kitab kitab klasik yang dipelajarinya di pesantren sangatlah berguna untuk menyongsong kehidupan lebih terarah, apalagi untuk meneruskan tradisi keilmuan klasik ini mencermikan kultur keislaman yang khas yang berbeda dengan kultur keislaman yang lainnya.

Gerakan Santri Menulis dari kalangan santri; Mnjadi tradisi budaya menulis di kalangan ulama, kyai, santri di pondok pesantren, dan juga mahasiswa, semakin luntur tergerus oleh situasi, ini sebuah situasi yang memprihatinkan, mengatasi masalah tersebut sangat dibutuhkan untuk membangunkan kembali semangat menulis (Suara Merdeka Rabu (13/4/2022). Menulis terkadang menimbulkan multi persepsi bagi pembacanya, menulis membutuhkan pengetahuan dan keahlian yang memadai, terlebih penulisan jurnalistik.

Namun beberapa hal guna untuk pemberdayaan dan penguatan budaya literasi di pesantren, dibutuhkan seperti: (1) Perpustakaan tempat yang didalamnya terdapat perhimpunan segala macam informasi, baik yang tercetak maupun yang terekam dalam berbagai media yang dipergunakan untuk kepentingan belajar melalui kegiatan membaca dan mencari informasi. (2) Koleksi Buku atau Kitab; Terwujudnya budaya literasi di pondok pesantren tidak bisa luput dari adanya koleksi buku atau kitab. Dengan adanya koleksi buku atau kitab di pondok pesantren diharapkan dapat mencukupi kebutuhan bagi santri. Jika koleksi buku atau kitab lengkap maka akan memudahkan bagi kalangan santri untuk mencari referensi atau sekadar menambah wawasan sehingga meningkatkan minat baca bagi santri, sebaliknya jika koleksi buku atau kitab minim maka santri akan malas untuk berkunjung ke perpustakaan; dan (3) Pembiasaan Membaca dan Menulis; dengan Penggunaan kitab kuning di kalangan pesantren sudah lama diajarkan dan dibudayakan. Dengan menulis makna kitab dan membacakannya ketika dihadapan ustaz merupakan kegiatan yang umum dilakukan santri.

Tujuan pembiasaan ini adalah agar santri terlatih dalam hal pelafalan dan mempunyai mental ketika berhadapan berdialog dengan orang lain. Mengenai kegiatan ekstrakurikuler seperti membaca dan menulis sejatinya perlu banget nih turut disemarakkan lagi, guna melatih daya pikir yang ilmiah, kritis, dan sistematis. Wallahu A’alam Bishowab.

Selamat Hari Santri Nasional “Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan”

Penulis:

Ahmad Rusdiana, Guru Besar bidang Manajemen Pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Peneliti PerguruanTinggi Keagamaan Islam Swasta (PTKIS) sejak tahun 2010 sampai sekarang. Pendiri dan Pembina Yayasan Sosial Dana Pendidikan Al-Misbah Cipadung-Bandung yang mengem-bangkan pendidikan Diniah, RA, MI, dan MTs, sejak tahun 1984, serta garapan khusus Bina Desa, melalui Yayasan Pengembangan Swadaya Masyarakat Tresna Bhakti, yang didirikannya sejak tahun 1994 dan sekaligus sebagai Pendiri/Ketua Yayasan, kegiatannya pembinaan dan pengembangan asrama mahasiswa pada setiap tahunnya tidak kurang dari 50 mahasiswa di Asrama Tresna Bhakti Cibiru Bandung. Membina dan mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) TK-TPA-Paket A-B-C. Rumah Baca Masyarakat Tresna Bhakti sejak tahun 2007 di Desa Cinyasag Kecamatan. Panawangan Kabupaten Ciamis.

Karya Lengkap sd. Tahun 2022 dapat di akses melalui: http://digilib.uinsgd.ac.id/view/creators. https://play. google. com/store/books/author?id=Prof.+DR.+H.+A.+Rusdiana,+M.M

About Post Author

Masyhari

Founder rumahbaca.id, pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

Happy

Happy

0 0 %

Sad

Sad

0 0 %

Excited

Excited

0 0 %

Sleepy

Sleepy

0 0 %

Angry

Angry

0 0 %

Surprise

Surprise

0 0 %