Salah Sasaran: Stigmatisasi Santri Tutup Telinga

Keterangan foto tidak tersedia.
Oleh Muhammad Jawy, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo)

Saya sebelumnya menulis tentang betapa mudahnya orang nyinyir ketika melihat video prosesi Rambu Solo masyarakat Toraja, demikian juga tergesanya stigmatisasi terhadap para santri yang menutup telinga ketika musik disetel di tengah antri vaksin. Keduanya peristiwa yang berbeda dan tidak berkaitan, namun ada benang merah yang hampir sama, yaitu fenomena mudahnya orang berkomentar negatif atas sebuah peristiwa yang menurutnya asing, ini menjadi PR besar bagi dunia etika digital di tengah belum meratanya tingkat literasi digital masyarakat kita.

Dalam tulisan saya tentang video santri, banyak pendapat pro kontra, dan itu menurut saya sah-sah saja karena setiap orang punya perspektif yang berbeda. Namun melihat dinamika percakapan di media sosial, saya merasa perlu untuk ikut menyeimbangkan informasi, karena saya merasa bahwa stigmatisasi terhadap para santri itu kemungkinan besar salah sasaran, dan ini yang menjadi masalah penting.

Kita semua pasti khawatir kalau gerakan radikal bahkan terorisme seperti ISIS, Al Qaeda ataupun seperti JAD tumbuh di negeri ini. Kita tidak ingin memberikan ruang bagi mereka, karena mereka jelas punya misi untuk meruntuhkan legitimasi republik ini. Namun kekhawatiran ini tidak seharusnya membuat orang menjadi tidak rasional, dan justru malah bisa jadi santri moderat yang jadi korbannya.

Meskipun kita sendiri belum mengetahui video itu kejadian di mana, dan santrinya dari pesantren apa, namun saya menduga kuat bahwa para santri itu sebenarnya berasal dari pesantren moderat, apalagi para santri itu sedang mengikuti program vaksinasi, artinya mereka taat dengan anjuran pemerintah.

Aroma salah sasaran ini yang bisa saya tangkap setelah melihat banyak respon dari tokoh masyarakat, penulis, dan aktivis yang akan saya kutip dalam tulisan ini.

Mbak Yenny Wahid putri Gus Dur, menulis dalam akun instagramnya, “Jadi kalau anak-anak ini oleh gurunya diprioritaskan untuk fokus pada penghafalan Quran dan diminta untuk tidak mendengar musik, itu bukanlah indikator bahwa mereka radikal. Yuk kita lebih proporsional dalam menilai orang lain. Janganlah kita dengan gampang memberi cap seseorang itu radikal, seseorang itu kafir dll. Menyematkan label pada orang lain hanya akan membuat masyarakat terbelah. “

Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) Abdul Ghofarrozin meminta tak terburu-buru memberi cap radikal terhadap para santri yang menutup kuping saat terdengar musik.

Menurutnya, banyak pesantren di seluruh Indonesia memiliki karakternya masing-masing, salah satunya berkaitan dengan musik. Rozin menjelaskan terdapat pesantren yang tak menutup diri terhadap musik. Para santrinya, kata dia, diperbolehkan untuk memainkan dan mendengarkan musik. Namun, di sisi lain terdapat pesantren yang memiliki kebijakan sangat ketat bahkan melarang musik. Dia mencontohkan bahwa banyak pesantren yang berfokus mendidik santri tahfiz Alquran memiliki kebijakan yang ketat terkait musik.

Kiai Nahdlatul Ulama (NU) Mukti Ali Qusyairi mengatakan viralnya video santri yang menutup telinganya saat menunggu vaksinasi harus dilihat dari dua aspek atau cara pandang yang berbeda. Bagi yang tidak pernah punya pengalaman di pesantren, maka itu menjadi fenomena yang mengagetkan dan janggal.

Bahkan, lanjut Kiai Mukti, menimbulkan kesan radikal. Namun, bagi sebagian kalangan yang punya pengalaman di kehidupan pesantren, maka sebetulnya yang dilakukan santri-santri tersebut adalah hal yang normal untuk menjaga hafalan Qur’an.

Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta, KH Taufik Damas, mengatakan masyarakat tidak perlu berasumsi secara berlebihan terkait sikap santri pada video tersebut. Apalagi, mencap para santri sebagai radikal.

Rais Syuriah PCI (Pengurus Cabang Istimewa) Nahdlatul Ulama Australia dan Selandia Baru, Nadirsyah Hosen dalam twitnya, “Karena hafalan memang mesti dijaga dan diulang-ulang terus. Jadi belum tentu semua santri yang gak mau dengar musik karena sedang menghafal Quran itu akibat menganggap musik haram. Sikap para santri di video yang menutup telinganya itu bagus. Mereka tdk ngamuk atau memaksa musik dimatikan”

Rijal Mumazziq Z, Rektor Institut Agama Islam al-Falah Assunniyyah Kencong Jember, menulis,
“Ketika para remaja ini melakukannya, saya hargai sebagai bentuk pilihan mereka, walaupun diarahkan gurunya. Sebagai bentuk pilihan, mereka tentu siap dengan konsekuensinya. Lain halnya jika kemudian gurunya mengajak para remaja ini mengamuk dan merusak fasilitas sound system. Ini wilayah berbeda. Yang terakhir, saya tidak mentolelirnya. Ini bagian dari vandalisme.

Oke. Begini, menghafal Al-Qur’an itu sulit. Penghafalnya punya kedudukan istimewa. Para raksasa ilmu Islam mayoritas penghafal Al-Qur’an sejak dini. Itu menjadi bekal utama dalam menjejak keilmuan Islam. Sebagaimana calon hakim dan pengacara yang menghafal undang-undang dan peraturan sebagai langkah awal memahami jerohan hukum, maka demikian pula para penghafal wahyu ini.

Jika kita bisa memaklumi dan mentolerir seorang pecatur yang menghendaki keheningan dalam konsentrasi memainkan bidaknya, mengapa kita harus kaget dengan tindakan adik-adik santri. Sama-sama berhak. Itu telinga mereka. Juga tangan mereka sendiri. Kadang sebagian dari kita bersikap toleran tidak dalam waktu yang tepat.”

Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Sunanto, meminta para pejabat negara tidak mudah memberi cap atau stereotip radikal terhadap perbedaan pandangan kelompok lain, termasuk terhadap santri menutup kuping saat mendengar musik. “Saya berharap pemimpin-pemimpin kita jangan langsung mencap radikal tanpa memahami hal-hal lainnya terlebih dulu.” Kesediaan santri-santri tersebut untuk melakukan vaksin sudah merupakan tindakan luar biasa. Pemuda Muhammadiyah mengimbau agar tidak melakukan justifikasi terhadap perbedaan pandangan dan keyakinan kelompok lain.

Direktur Pendidikan Diniyah Dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono, ikut menanggapi bahwa para santri yang menutup telinga karena enggan mendengarkan musik bukan tanda-tanda menganut paham ekstremisme.

Waryono menjelaskan ada pandangan dan respons yang berbeda satu sama lain di pesantren terkait musik. Ia menjelaskan ada kiai pengasuh pesantren yang memperbolehkan santrinya mendengarkan musik. Di sisi lain, juga ada yang tak memperbolehkannya.
“Boleh dan tak boleh ini tergantung pada mahzab kiai,” kata dia.

Waryono menjelaskan pertimbangan umum pengasuh pesantren tak memperbolehkan santrinya mendengar musik karena santri masih kecil dan perlu banyak belajar. “Itu harus hafal semua. Itu butuh konsentrasi. Makanya kalau butuh konsentrasi kiai melarang jangan mendengarkan musik. Bahkan ada di pesantren-pesantren enggak boleh main HP, enggak boleh nonton TV. Itu bukan fenomena baru.”

Sekretaris Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Achmad Uzair Fauzan, meminta seluruh pihak tidak cepat melabeli ustaz dan para santri yang menutup telinga saat mendengar musik sebagai kelompok radikal. Uzair berpendapat poin penting dari video tersebut adalah upaya pesantren memfasilitasi santri melakukan vaksinasi. Ia menilai isu soal radikalisme justru mengalihkan pesan utama tersebut.

Dia berpendapat kegiatan pesantren memfasilitasi vaksinasi meruntuhkan argumen soal radikalisme. Menurut Uzair, vaksinasi dilakukan oleh orang-orang yang peduli kesehatan diri dan lingkungannya. “Kalau orang radikal, dia enggak mungkin berpikir soal kesehatan publik.”

Bagikan tulisan ke: