Rambu-rambu dalam Menyikapi Masalah Khilafiyah

Mungkin closeup 1 orang dan dalam ruangan
Oleh Abdullah Al-Jirani, Pengasuh Pengajian Fiqih Mazhab Syafi’i, Tinggal di Sukoharjo

RumahBaca.id – Masalah khilafiyyah ijtihadiyyah adalah masalah yang diperselisihkan oleh para ulama karena adanya ruang untuk melakukan ijtihad di dalamnya. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, di antaranya: karena dalilnya multi tafsir, atau tidak ada dalil yang secara spesifik menunjukkan kepadanya, atau perbedaan penilaian validitas suatu dalil, atau perbedaan dalam memahami maknanya, atau sebab yang lain. Dan perbedaan pendapat seperti ini, telah ada sejak zaman dulu (para ulama salaf), lalu zaman setelahnya, sampai zaman kita sekarang ini.

Dalam masalah seperti ini, hendaknya seorang muslim bisa menyikapinya dengan bijak, serta senantiasai berusaha berjalan di atas rel yang telah digariskan oleh para ulama kita, dan berupaya untuk senantiasa menapaki manhaj wasathiyyah (pertengahan/adil). Di antara rambu-rambunya adalah sebagai berikut:

(1) Tidak boleh memaksakan pendapat kepada orang lain

Dalam riwayat Al-Marudzi, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

لَا يَنْبَغِي لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ. وَلَا يُشَدِّدُ عَلَيْهِمْ

“Tidak seyogyanya seorang yang berilmu untuk memaksa manusia agar mengikuti pendapatnya dan menekan mereka (dengan hal itu). (Al-Adab Asy-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih Al-Hanbali ; 1/166)

(2) Tidak boleh dijadikan dasar untuk membangun wala’ (loyalitas) dan bara’ (permusuhan)

Syekh Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَأَمَّا الِاخْتِلَافُ فِي الْأَحْكَامِ فَأَكْثَرُ مِنْ أَنْ يَنْضَبِطَ وَلَوْ كَانَ كُلَّمَا اخْتَلَفَ مُسْلِمَانِ فِي شَيْءٍ تَهَاجَرَا لَمْ يَبْقَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ عِصْمَةٌ وَلَا أُخُوَّةٌ

“Adapun perbedaan pendapat dalam masalah hukum-hukum, maka terlalu banyak untuk dibatasi. Dan seandainya setiap dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah saling memboikot(karena bermusuhan), tidak akan tersisa penjagaan dan persaudaraan di antara kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah : 24/174)

(3) Tidak boleh dijadikan alasan untuk menyesatkan orang lain, dalam arti mengeluarkannya dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Imam Asy-Syathibi -rahimahullah- (wafat : 790 H) berkata:

وَذَلِكَ أَنَّ هَذِهِ الْفِرَقَ إِنَّمَا تَصِيرُ فِرَقًا بِخِلَافِهَا لِلْفِرْقَةِ النَّاجِيَةِ فِي مَعْنًى كُلِّيٍّ فِي الدِّينِ وَقَاعِدَةٍ مِنْ قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ، لَا فِي جُزْئِيٍّ مِنَ الْجُزْئِيَّاتِ، إِذِ الْجُزْئِيُّ وَالْفَرْعُ الشَّاذُّ لَا يَنْشَأُ عَنْهُ مُخَالَفَةٌ يَقَعُ بِسَبَبِهَا التَّفَرُّقُ شِيَعًا، وَإِنَّمَا يَنْشَأُ التَّفَرُّقُ عِنْدَ وُقُوعِ الْمُخَالَفَةِ فِي الْأُمُورِ الْكُلِّيَّةِ، لِأَنَّ الْكُلِّيَّاتِ تَقْتَضِي عَدَدًا مِنَ الْجُزْئِيَّاتِ غَيْرَ قَلِيلٍ

“Sesungguhnya kelompok-kelompok ini, hanyalah akan menjadi kelompok (yang keluar dari lingkup Ahlus Sunnah) dengan sebab menyelisihi Firqah Najiyah (Golongan yang selamat) secara kulli (umum/menyeluruh) di dalam agama dan kaidah dari kaidah-kaidah syara’, bukan secara parsial (sebagian saja). Karena masalah juz’i (bagian) dan masalah far’u (cabang agama) tidak akan menimulkan sebuah penyimpangan/penyelisihan yang menyebabkan sebuah perpecahan menjadi golongan-golongan (yang keluar dari lingkup Ahlus Sunnah). Perpecahan (yang mengeluarkan dari lingkup Ahlu Sunnah) hanya muncul ketika terjadi penyelisihan dalam perkara yang menyeluruh. Karena perkara yang menyeluruh, mengandung perkara-perkara juz’i yang tidak sedikit.”(Al-I’tisham : 2/712, Darul Affan KSA th 1412).

(4) Tidak berlaku pengingkaran atau pelarangan di dalamnya

Maksudnya, orang lain yang berbeda pendapat dengan kita, tidak boleh kita hakimi sebagai orang yang berbuat kemungkaran, lalu kita terapkan ingkarul mungkar kepadanya. Kata para ulama, “Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyyah.”

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

ثُمَّ الْعُلَمَاءُ إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَفُ فِيهِ فَلَا إِنْكَارَ فِيهِ

“Kemudian para ulama hanya mengingkari dalam masalah yang (hukumnya) disepakati atasnya. Adapun dalam masalah yang masih diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.”(Syarah Shahih Muslim: 2/105).
Imam Ibnu Muflih Al-Hambali rahimahullah berkata:

وَلَا إنْكَارَ فِيمَا يَسُوغُ فِيهِ خِلَافٌ مِنْ الْفُرُوعِ عَلَى مَنْ اجْتَهَدَ فِيهِ أَوْ قَلَّدَ مُجْتَهِدًا فِيهِ

“Tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang dibolehkan untuk berbeda pendapat di dalamnya berupa masalah-masalah cabang agama bagi ulama yang melakukan ijtihad di dalamnya ataupun bagi orang yang bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam masalah tersebut.” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah ; 1/166)

Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata : “Jika kamu melihat orang lain mengamalkan sesuatu yang (hukumnya) masih diperselisihkan, dan kamu berbeda pendapat dengannya, maka kamu jangan melarangnya.” (Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih ; 2/136)

Jikalau setiap dai secara khusus dan setiap muslim secara umum mematuhi empat rambu-rambu di atas, insya Allah kondisi akan baik. Kegaduhan dan fitnah yang sering terjadi dapat diminimalisir. Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan karena Islam) terlalu murah jika dikorbankan hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah yang seperti ini. Wallahu a’lam.[]