Progresivisme Santri Kota dari Tahun 1990an hingga Sekarang: Sebuah Wawancara dengan Mochamad Sodik (2)

Dalam tahun-tahun terakhir, wacana Islam “moderat” sudah cukup ramai digalakkan oleh banyak pihak. Apakah wacana ini bisa dianggap sebagai warisan dari perjuangan pemikiran AMNU zaman dulu? Apakah wacana Islam moderat ini merupakan penafsiran yang mampu mengatasi “tantangan masyarakat” (hlm. 68) ataukah justru kadangkala termasuk penafsiran yang “melegitimasi penindasan” (hlm. 69), seperti kadangkala dikritisi? Antara wacana tentang “pembebasan” dan “moderasi”, apakah ini dua hal yang selaras?

Ide Gus Dur yang besar, yang kemudian bertemu dengan semangat anak-anak NU pada waktu itu, itu kemudian terpilihara. Ide-ide kreatif pada waktu itu mungkin belum berkembang sangat massif secara institutional karena lembaga-lembaga negara ini juga masih belajar, termasuk juga pemikiran agama. Pada titik tertentu, orang semakin menyadari bahwa berpikir secara moderat itu semakin penting, karena kalau tidak, Indonesia ini bisa rapuh.

Kemudian ide-ide dari masa lalu direvitalitis kembali, kemudian dipraktekkan dalam kancah yang lebih luas. Jadi menurut saya memang ada semacam gerak historis yang dulu belum mainstream. Kalau dulu ada banyak anak-anak muda, kemudian semakin ke sini menjadi semakin mainstream. Tapi istilah yang digunakan kemudian menjadi istilah yang lebih banyak diterima, misalnya istilah moderasi. Dulu lebih ke liberasi, tapi inti dari semua itu hampir sama. Bagaimana supaya proses-proses kehidupan kita lebih bisa menghargai kelompok-kelompok yang berbeda? Supaya cara beragama bisa jadi lebih lunak, tidak radikal?

Mengapa dulu istilah yang dominan itu liberasi? Karena memang anak muda tidak ingin terkungkung, sehingga mereka lebih membangun sistem kreasi. Masalah yang ada saat dulu kan sebagian sama dengan sekarang: ada penindasan, kekerasan dan seterusnya, sehingga istilah moderasi beragama menjadi lebih populer, karena ini mungkin istilah yang lebih bisa diterima oleh banyak pihak. Dan di dalamnya pasti ada semangat-semangat pembebasan dari hal-hal yang sifatnya ortodoksi, kungkungan, yang  menindas pemikiran dan praktek hidup.

Baca juga:  Pesan-Pesan Politik Al-Ghazali

Jadi ide-ide ini saya kira terus berkembang. Kemudian lahir generasi yang lebih muda, seperti mas Nur Khalik Ridwan. Artinya, ide-ide liberasi dan moderasi berkelindang saling menguatkan karena memiliki komitment yang sama untuk bagaimana masyarakat menjadi lebih terbebaskan, tercerahkan, dan punya banyak pilihan-pilihan cara hidup.

Selama 20 tahun terakhir, ada perkembangan pemikiran baru apa saja yang menarik dari generasi santri muda yang baru? Kalau aktivis-aktivis santri tahun 1990an dulu berhadapan dengan Orde Baru, tantangan-tantangan apa saja yang paling memotori pemikiran dan aktivisme kaum muda NU pada zaman sekarang? Ataukah mungkin kemiripan antara kasus Kedung Ombo dulu dan Wadas sekarang menunjukkan masih adanya benang merah antara permasalahan yang dihadapi masyarakat dulu dan sekarang?

Zaman dulu, Orde Baru itu kan keras. Artinya karena pendekan keras itu, anak2 muda jadi keras juga, bagaimana mereka berkonsolidasi, dalam konteks perlawanan. Kemudian ke belakang, ada dialektika antara kekuatan negara dengan kekuatan masyarakat sipil. Dari sinilah kemudian, proses-proses kebijakan negara sudah ada proses dialektis, maka perlawanan menjadi sangat lunak, tidak sekeras dulu.

Dalam kasus Wadas sebenarnya Mas Imam Aziz itu keterlibatannya tidak lansung terjun ke sana, tapi lebih kepada memberi jalan-jalan keluar, ide-ide kreatif dan seterusnya. Jadi memang dari perlawanan yang lebih empirik kemudian sifatnya menjadi konsolidatif, jadi lebih ke komunikasi yang bisa menenangkan semua pihak. Jadi posisinya menjadi moderat akhirnya.

Baca juga:  “Burung Kayu”, Novel Etnografis Karya Niduparas Berlatar Mentawai

Kalau kemarin itu seperti berhadap-hadapan, nah sekarang tampaknya sudah dengan cara-cara yang lebih lunak, karena negara juga sebenarnya tidak sekeras dulu. Orde Baru kan dengan rakyat sangat berhadap-hadapan. Kalau sekarang ini kan ada banyak titik kompromi, pemerintah dengan partai politik dengan banyak elemen, sehingga teman2 aktivis ini juga ada langkah-langkah yang sifatnya lebih komunikatif. Jadinya lebih akomodatif. Karena proses perlawanan sudah bergeser menjadi semacam konsolidasi.

Dalam “Gejolak Santri Kota” peran PMII  dalam sejarah perkembangan pemikiran Aswaja cukup menonjol. Apakah organisasi mahasiswa ini pada zaman sekarang masih punya semangat kritis yang sama dengan zamannya bapak?

PMII itu unik, dan ada dinamikanya juga. Kritisisme itu selalu dijaga, dari dulu sampai hari ini.

Saya sekarang termasuk majelis pembina PMII cabang Jogja. Saya amati memang kritisisme mereka tetap terjaga. Dan itu saya kira menarik juga. Memang tentu kritisisme mereka ada proses dialektisnya juga. Dulu kan seakan-akan PMII itu kan di luar sistem, hampir total. Nah ke belakangan ini sudah mulai terakomodasi lewat partai. Misalnya ada PKB, ada PPP, ada Golkar, dan macam-macam itu. Kan senior mereka ada di situ, sehingga model kritisisme sekarang agak berbeda.

Kalau dulu kan agak sedikit “face-to-face”. Sekarang ada proses-proses dialog juga, sehingga mereka punya banyak pilihan. Ada aktivis yang kembudian lebih dibina oleh partai-partai, sehingga mereka lebih akomodatif. Tapi juga ada sebagain yang masih lebih dekat dengan LSM, mereka itu yang kritis. Jadi kalau ada isu-isu tertentu, mereka juga turun demo juga, seperti di pertigaan UIN. Kalau di internal UIN, kalau ada UKT, sering demo juga, dan kebanyakan memang anak-anak PMII, meskipun berjaring dengan yang lain.

Baca juga:  Buku dan Faedah Penulisan/Pembacaan Bismillah

Artinya kritisime itu muncul mempertanyakan kebijakan selalu ada. Memang tidak semasif dulu, karena kalau dulu kira-kira sebagai satu kesatuan mereka berhadap-hadapan dengan pemerintah. Sekarang mereka sudah terpolarisasi atau terbagi-bagi dalam banyak cara, metode, atau komunitas. Ada yang sudah dekat dengan partai karena ingin membangun negara lewat partai. Ada yang mungkin ingin membangun negara lewat LSM sehingga tetap di luar negara dengan kritis. Ada yang kemudian menjadi aktivis kampus yang lebih bicara tentang pengembangan bakat minat. Jadi mereka sekarang terbagi-bagi dalam banyak forum.

Demo masa lalu dan masa sekarang agak berbeda. Kalau dulu seringkali tidak terkontrol, karena banyaknya orang. Kalau sekarang ada demo tapi terkontrol, karena aspirasi itu sudah sangat beragam. Meskipun dalam pelatihan-pelaihan tetap ada yang disebut analisis sosial; membangun kritisisme itu tetap dibangun. PMII saya kira terus bergerak dan mereka ingin menjadi bangian penting dari proses demokrasi. Mereka ingin menjadi bagian dari bagaimana bangsa ini menjadi lebih kuat. Sehingga PMII sudah mulai bergerak, kalau dulu hanya di UIN/IAIN, sekarang suda di perguruan tinggi umum juga.

https://alif.id/read/saw/progresivisme-santri-kota-dari-tahun-1990an-hingga-sekarang-sebuah-wawancara-dengan-mochamad-sodik-2-b243487p/