Pesantren Al-Qudsiyyah Kudus

Profil

Pondok Pesantren Qudsiyyah Kudus atau biasa dikenal dengansebutan Ma’had Qudsiyyah Kudus didirikan pada Senin Pon, 24 DzulQo’dah 1431 H. bertepatan dengan 1 November 2010 M. Pondok pesantren ini dirikan oleh Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyyah (YAPIQ) Menara Kudus dan diresmikan oleh Nadhir Madrasah Qudsiyyah, KH. M. Sya’roni Ahmadi.

Yayasan ini telah mengelola lembaga pendidikan salaf, yakni Madrasah Qudsiyyah yang terdiri atas tingkat Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah serta Aliyah. Latar belakang pendirian pesantren ini, karena pesantren tetap menjadi warisan sekaligus kekayaaan budaya dan intelektual Nusantara. Bahkan, dalam beberapa aspek tertentu, pesantren dapat dipahami sebagai benteng pertahanan terhadap kebudayaan itu sendiri, karena peran sejarah
yang dibuktikannya.

Harapan dimaksud, tentunya sangat mendorong pada penguatan dan konstruk budaya yang telah digariskan oleh para pendirinya. Hal pokok yang menjadi konsen pesantren adalah sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi relijius dan motor penggerak transformasi bagi masyarakat dan bangsanya.

KH. Raden Asnawi, Ulama’ besar kota Kudus yang pernah mukim di Makkah, telah menggagas berdirinya madrasah Qudsiyah pada tahun1917M. Bersama para kiai di Kudus, seperti KH. Abdullah Faqih, KH. Shofwan Duri, KH. Kamal Hambali, RH. Dahlan,
RH. Abdul Hamid, R. Sujono, KH. Jazri Tanggulangin, HM. Zuhri Asnawi dan lain-lain.

Mereka menjadi ulama besar yang benar-benar produktif dalam berkarya serta tetap tidak kehilangan orientasi praksis mereka. Mereka mampu memadukan antara iman dan amal soleh, serta antara rasionalitas dan spiritualitas. Lebih dari itu, mereka tetap tidak kehilangan kesederhanaan dan kerendahatian mereka

Ma’had Qudsiyyah Menara Kudus dilahirkan oleh Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyyah (YAPIQ) Menara Kudus. Ma’had Qudsiyyah Menara Qudsiyyah diresmikan oleh Nadhir Madrasah Qudsiyyah, KH. Sya’roni Achmadi pada Senin Pon, 24 Dzul Qo’dah 1431 H bertepatan dengan 1 November 2010 TU. Yayasan ini telah mengelola lembaga pendidikan salaf, yakni Madrasah Qudsiyyah yang terdiri atas tingkat Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah serta Aliyah.

Sejarah
Pendirian Pondok Pesantren Qudsiyyah Kudus tidak lepas dari sejarah panjang Madrasah Qudsiyyah. Sekolah ini merupakan sekolah tertua di Kudus, didirikan oleh salah satu pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama, yaitu KH. R. (Kiai Haji Raden) Asnawi pada tahun 1919 M.

Sebagai salah satu sekolah berbasis pendidikan Islam, kurikulum yang diajarkan pada sekolah ini 80% berbasis salaf dengan menggunakan kitab klasik, atau yang lebih sering disebut dengan Kitab Kuning.

Pertama kali didirikan sekolah ini murni menggunakan kurikulum lokal berbasis Islam seperti Nahwu, Shorof, I’lal, I’rob, Tauhid, Fiqih, Ushul Fiqih, Manthiq, Balaghoh, Qiro’ah Sab’ah, Tafsir, Hadits, dan lain-lain.
Sejarah Perkembangan

Berikut sejarah perkembangan Qudsiyyah, yang bersumber lama resmi di Qudsiyyah.com, dari masa ke masa:

1. Masa Formulasi (1917 M-1943) M.
Madrasah Qudsiyyah, sebagai salah satu madrasah tertua di Kudus, mempunyai sejarah yang cukup panjang. Madrasah Qudsiyyah tidak serta-merta hadir dan menjadi besar, melainkan mengalami proses jatuh bangun yang cukup melelahkan.

Sebelum Budi Utomo menggelorakan Kebangkitan Nasional pada 1920 M, Madrasah Qudsiyyah telah berdiri tegak mengembangkan sayap-sayap pendidikan agama yang antipenjajah. Tercatat sejak 1917 M, kegiatan belajar mengajar telah dimulai, walaupun saat itu belum memiliki nama dan tempat belajar yang pasti. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1919 M, yang bertepatan dengan tahun 1337 H, Madrasah Qudsiyyah resmi didirikan oleh KH. R. Asnawi.

Kiai Asnawi adalah keturunan dari Sunan Kudus yang ke XIV dan keturunan ke lima dari KH. A. Mutamakin. Wali pada zaman Sultan Agung Mataram di Kajen Margoyoso Pati. Wajar saja apabila yang dilaksanakan dia tidak jauh beda dari para pendahulunya. Baik dari pola pendidikan dan dimensi penegakan reputasi agama Islam.

Nama asli KH. R. Asnawi adalah Ahmad Syamsi, kemudian berganti nama lagi menjadi Ilyas. Gelar raden yang juga disebut sebelum nama Asnawi mempunyai arti sendiri. Raden sebagaimana ditentukan oleh keluarga adalah sebutan dari anak turun (dzurriyah) Nabi Muhammad yang sudah terpotong oleh nasab puteri. Berbeda dengan sayyid, kalau sayyid semuanya sambung dari nabi hingga yang bersangkutan dari anak laki-laki.

Sedangkan panggilan kiai yang disematkan kepada dia lebih karena partisipasi dia dalam masyarakat. Ini setidaknya tampak dari dua sisi. Pertama, KH. R. Asnawi memang seorang yang faqih dan benar-benar ahli dalam bidang agama. Kedua, KH. R. Asnawi adalah pemangku dan pengasuh pondok pesantren sebagai pemimpin agama. KH. R. Asnawi tidak mau menjauh dari kebutuhan umat. Bahkan dia terkenal sangat memiliki sifat marhamah. Wibawanya besar, galak, keras dalam menetukan hukum, lebih-lebih terhadap anak-anak seusia 4-6 tahun.

Dalam konteks mendidik ini pula Qudsiyyah didirikan. Gedung Madrasah Qudsiyyah yang didirikan KH. R. Asnawi saat itu berada di Kompleks Masjid Al-Aqsha, tepatnya di depan gapura masuk Menara Kudus.

Nama Qudsiyyah diambil dari kata Quds yang berarti suci dan sekaligus nama kota tempat kelahiran madrasah tersebut. Nama tersebut digunakan dengan maksud agar apa yang diajarkan serta diamalkan dalam madrasah menjadi benar-benar suci dan murni tidak dicampuradukkan dengan yang kurang baik.

Dalam perjalanan panjang tentang sejarah madrasah, kondisi madrasah pada masa penjajahan Belanda diurus oleh Departemen voor Inlandsche Zaken, sebuah departemen pengajaran agama di lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah).

Namun, Madrasah Qudsiyyah tetap bertahan dan tidak terpengaruh dengan lembaga pemerintah Belanda tersebut. Justru KH. R. Asnawi sering melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan Belanda.

Hal ini terjadi lantaran pada praktiknya fungsi lembaga Belanda tersebut tidak menangani masalah pendidikan Islam dalam arti memfasilitasi, melainkan lebih merupakan sarana untuk mengontrol dan mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Oleh karenanya, pesan-pesan perjuangan melawan kolonialisme pada setiap kali dia mengajar di madrasah senantiasa disampaikan kepada santri-santrinya.

Boleh dibilang, KH. R. Asnawi adalah benteng antipenjajah di semenanjung utara Jawa. Ketika dia melihat tekanan penjajah semakin kuat dalam membelenggu umat Islam, KH. R. Asnawi tampil dengan jiwa kritisnya menyatakan amar ma’ruf nahi munkar. Segala hal yang dianggap menyimpang dari pemerintah Belanda dia berani mengkritik.

Untuk menyatukan visi keislamannya, KH. R. Asnawi bergabung kembali dengan Serikat Islam Cabang Kudus. Jabatan komisaris bagi Asnawi sudah disandangnya ketika berdiri Serikat Islam Cabang Makkah tahun 1912 M. Aktivitasnya di Serikat Islam ini menjadikan dia akrab dengan Samaun dan H. Agus Salim serta HOS Cokroaminoto.

Hingga tahun 1929 M, Madrasah Qudsiyyah dipimpin langsung oleh KH. R. Asnawi sebagai kepala sekolah dan didampingi oleh KH. Shafwan Duri. Pada tahun 1929 M-1935 M Madrasah Qudsiyyah dipimpin oleh K. Tamyiz sebagai kepala sekolah. KH. R. Asnawi sendiri, memimpin pondok pesantren Raudlatuth Thalibin yang didirikan pada tahun 1927 M di Bendan, Kerjasan Kudus. Pada tahun 1935 M, K. R. Sujono memimpin Qudsiyyah sampai dengan tahun 1939 M. Setelah K.R. Sujono wafat, Madrasah Qudsiyyah kemudian dipimpin oleh KH. Abu Amar mulai tahun 1939 M sampai tahun 1943 M.

2. Masa Kemunduran (1943-1950)
Buntut dari pemerintahan Dai Nippon Jepang yang menguasai Indonesia pada tahun 1943 M, ternyata berpengaruh terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah Kudus. Madrasah mengalami kemunduran drastis, bahkan hingga dilakukan penutupan.

Awalnya ketika Jepang berkuasa, pemerintah Dai Nippon rupanya mencurigai umat Islam. Tidak hanya sekadar curiga, bahkan pemerintah dengan tegas melarang mengajarkan semua pelajaran agama di madrasah-madrasah dengan tulisan Arab. Jadi, saat itu semua pelajaran agama harus ditulis dengan huruf latin.

Kebijakan tersebut membuat Madrasah Qudsiyyah menjadi salah satu korban. Pasalnya, berbagai pelajaran agama yang dahulunya menggunakan bahasa Arab serta tulisan Arab, kini dalam pengajarannya harus dijalankan dengan menggunakan tulisan Latin.

Hal tersebut menyebabkan ketidaknyamanan di Madrasah Qudsiyyah. Alasannya, akan sangat berbeda tulisan dengan menggunakan tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin. Selain itu, dalam pelaksanaannya madrasah-madrasah yang ada juga sering didatangi serdadu Dai Nippon. Sehingga berakibat jalannya pendidikan di madrasah-madrasah sangat terganggu.

Hal ini kemudian membuat Madrasah Qudsiyyah merasa sangat terganggu. Dengan pertimbangan yang masak-masak oleh para guru Madrasah Qudsiyyah, akhirnya keputusan pahit pun diambil, dan untuk sementara waktu Madrasah Qudsiyyah ditutup.

Salah satu penyebab dari penutupan Madrasah Qudsiyyah Kudus adalah kekejaman tentara Jepang yang terus mencurigai serta tidak diperkenankannya mengajar dengan menggunakan bahasa Arab.

Namun, pendidikan yang dilakukan madrasah tidak berhenti begitu saja. Pendidikan di madrasah dialihkan dengan pengajian Alquran pada setiap setelah magrib yang diatur dengan kelas-kelas. Namun hal ini tidak bertahan lama, dan pada akhirnya berhenti juga. Praktis dalam masa ini pendidikan di madrasah lumpuh total.

3. Masa kebangkitan (1950-sekarang)
Masa penjajahan Jepang pun segera berakhir. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah didengungkan ke dunia pada 17 Agustus tahun 1945. Namun, di awal kemerdekaan tersebut Madrasah Qudsiyyyah belum juga bangkit dari tidur panjangnya. Dan ternyata, cukup lama juga Madrasah Qudsiyyah tertidur dan kosong dari segala aktivitas. Barulah sekitar tahun 1950 M, Madrasah Qudsiyyah kembali menemukan ruhnya untuk bangkit kembali.

Perkembangan pendidikan di Madrasah Qudsiyyah semakin hari semakin meningkat hingga pada tanggal 25 Mei 1952 terwujudlah tingkat lanjutan pertama yang dinamakan Sekolah Menengah Pertama Islam Qudsiyyah (SMPIQ) dan mendapat perhatian penuh dari masyarakat.

Semakin hari, sambutan dari masyarakat Kudus begitu besar terhadap pendidikan di Madrasah Qudsiyyah ini. Sehingga jumlah murid dari hari ke hari terus bertambah dan menyebabkan tingkat lanjutan dibagi menjadi dua, yaitu SMPI Qudsiyyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA) Qudsiyyah. Pada tahun 1957, PGA Qudsiyyah dihapuskan dan SMPI Qudsiyyah diubah namanya menjadi Madrasah Tsanawiyyah Qudsiyyah.

Pada tahun 1970-an, Madrasah Qudsiyyah juga pernah membuka Madrasah Diniyyah sore hari. Keberadaan diniyyah ini berlangsung selama lima tahunan. Pada akhir tahun 1973 M, Madrasah Qudsiyyah mendirikan jenjang Aliyah untuk menampung alumni Tsanawiyahnya.

Saat ini sudah terbentuk Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyyah (YAPIQ) yang menaungi MI Qudsiyyah, MTs Qudsiyyah, MA Qudsiyyah, Ma’had (Pesantren) Qudsiyyah Putra dan Putri.

Pendiri
KH. Raden Asnawi

Pengasuh
1. KH. R. Asnawi
2. KH. Sya’roni Achmadi
3. KH. Shafwan Duri
4. K. Tamyiz
5. K. R. Sujono 
6. KH. Abu Amar
7. KH. Fathur Rahman

Pendidikan

Pendidikan Formal
1. MI Qudsiyyah
2. MTs Qudsiyyah
3. MA Qudsiyyah
4. Ma’had (Pesantren) Qudsiyyah Putra dan Putri.
Pendidikan Non Formal:
1. Madrasah Diniyah
2. Tahfidzul Qur’an

Ekstrakurikuler

Pesantren Al-Qudsiyyah memiliki ekstrakurikuler sebagai berikut:
1. Nahwu
2. Shorof
3. Faroidh
4. Qiroatul Kitab
5. Falak
6. Zej
7. Arudl
8. Olimpiode Matematika
9. Pramuka
10. Balaghoh


Baca Al-Qur’an di pesantren Al-Qudsiyyah


Hadrah di pesantren Al-Qudsiyyah

Fasilitas

Pesantren Al-Qudsiyyah memiliki fasilitas sebagai berikut:
1. Masjid
2. Asrama Pesantren
3. Gedung Madrasah
4. Perpustakaan
5. Kantor
6. Laboratorium Komputer
7. Laboratorium Bahasa
8. Laboratorium IPA
9. Kopontren
10. Klinik Kesehatan
11. Aula
12. Lapangan
13. Sarana Olahraga
14. MCK/Sanitasi


Gedung pesantren di pesantren Al-Qudsiyyah


Gedung pesantren di pesantren Al-Qudsiyyah

Alamat

Jl. KH.R. Asnawi Gang Kerjasan, Kec. Kota, Kab. Kudus
Email: sekretariat@qudsiyyah.com
Telpon: (0291) 4250212
Fax. (0291) 439422
Kode Pos : 59315

KUNJUNGI JUGA

Untuk berpartisipasi memperbarui informasi ini, silakan mengirim email ke redaksi@laduni.id.

https://www.laduni.id/post/read/64121/pesantren-al-qudsiyyah-kudus.html